Lara, perempuan berparas cantik, yang harus menyembunyikan luka yang ia alami dalam keseharianya. Mempunyai pacar yang tempramental, membuat Lara harus merasakan pukulan setiap ia melakukan kesalahan. Tapi ia harus kembali seperti seseorang yang memakai topeng, agar semua sahabatnya tidak tau apa yang ia alami. Sampai akhirnya, Lara stress, dan berniat mengakhiri hidupnya. Bagaimana kisah selengkapnya?
"Mulai hari ini, kita sebaiknya putus!! Aku ngga sanggup lagi untuk meneruskan hubungan ini! Kita udah kelewat bebas!" Teriak Lara, perempuan berusia 24 tahun, yang harus merasakan pahitnya kisah asmaranya dengan Rio.
Pria tampan, yang menjelma menjadi iblis, saat ia tengah mengkonsumsi alkohol. Lara dan Rio sudah 2 tahun menjalin hubungan. Tapi mereka sudah nekat hidup satu atap, tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah.
Lara tidak bisa meninggalkan Rio begitu saja, setelah kehormatanya di renggut begitu saja. Tapi ia juga harus terus menerus merasakan sakitnya pukulan pria sakit itu.
"Apa kamu bilang?! Kamu mau putus?!" Tangan pria itu sudah hampir saja mendarat di pipi Lara. Tapi dengan sigap, Lara menepisnya. Kali ini, Lara memberanikan diri melawan, meski ia tau, Rio akan terus memukulnya, sampai ia puas.
"Aku capek! Aku capek hubungan sama orang psyco kaya kamu!!" Teriakan Lara membuat Rio semakin terpancing emosi.
Kali ini, tangan Rio berhasil mendarat di pipi mulus Lara. Ia bahkan mencek*k leher Lara, sampai Lara hampir saja kehabisan nafas.
Lara terbatuk-batuk setelah Rio mencekik lehernya. Merah dan terasa sakit saat ia pegang, membuat Lara mundur perlahan dan menjauh dari pria itu.
"Kalau kamu berani minta putus lagi, kamu yang akan tanggung akibatnya!" Pria itu meludahi wajah Lara, lalu keluar dan membanting pintu kamarnya.
Lara harus terus menerus merasakan semua ini, hampir setiap hari. Ia benar-benar merasa tersiksa dan lelah. Ingin sekali ia menceritakan semua ini pada sahabatnya, tapi ia tau, mereka pasti akan marah kepadanya.
Setelah Rio pergi, Lara mengunci pintu kamarnya, dan naik ke atas tempat tidur. Tangisanya kembali pecah, saat ia menyadari, betapa bodoh dirinya selama ini, yang selalu menutupi kelakuan bejat Rio di depan semua orang.
----
Lara mengenal Rio dari seorang temanya, yang berprofesi sebagai disk jockey di salah satu club malam di jogja. Lara pergi merantau ke Jogja, hanya untuk mencari pekerjaan.
Ia bekerja sebagai wedding organiser bersama dengan sahabatnya Cecilia. Disaat ia jenuh dengan pekerjaanya, Lara selalu pergi ke club malam, untuk sekedar melepas penat.
Dan disanalah ia bertemu pria bernama Rio, yang di kenalkan oleh Bela, teman satu kos nya dulu.
Rio adalah lelaki yang baik, saat pertama kenal. Ia perhatian dan lembut, bahkan marah pun tidak pernah. Tapi setelah Rio ketahuan masih mempunyai istri, ia berubah. Ia menjadi tempramental, dan bahkan tidak memperbolehkan Lara untuk bekerja lagi.
"Beb, aku kerja dulu ya. Kamu jangan kemana-mana. Kalau mau keluar kabarin aku dulu." Dengan manis, Rio mencium kening Lara, lalu membawa tas miliknya dan keluar dari kamar.
Ia seolah lupa dengan apa yang sudah ia lakukan pada Lara tadi malam. Ini bukan kali pertama Rio melakukan hal itu, tapi sudah berulang kali.
Setiap mempunyai kesempatan untuk kabur, Lara selalu teringat akan kesucianya yang sudah di renggut oleh Rio. Ia selalu berpikir, bahwa tidak akan pernah ada yang mau menerimanya lagi, setelah ia tidak suci lagi.
Hari-harinya hanya ia habiskan dengan meroko, dan menulis di buku diary. Ia sama sekali tidak boleh keluar rumah, saat Rio tengah pergi bekerja. Bahkan untuk sekedar menelpon teman-temanya saja, tidak di perbolehkan. Seluruh pesan dan nomor ponselnya, sudah di sadap oleh Rio.
----
Sudah pukul 7 malam, tapi Rio masih belum pulang. Tidak biasanya ia pulang selarut ini. Lara yang terlihat gelisah, menunggu sang kekasih pulang, terus mondar mandi di ruang tamu.
Ia terus mencoba menghubungi Rio, namun ponselnya tidak aktif. Ia mulai khawatir, jika Rio akan kembali selingkuh, seperti yang sudah ia lakukan berulang kali.
Meski tidak menyimpan nomor handphone Cecilia dan juga Bela, tapi ia hafal di luar kepala. Tanpa menunggu lama, ia mulai menghubungi dua orang sahabatnya itu. Namun sayang, tidak ada yang menjawab panggilanya satu pun.
Lara mulai gelisah, hingga akhirnya ia pergi ke kamarnya, dan membawa tas miliknya. Namun saat ia akan pergi keluar, tiba-tiba lampu rumahnya mati. Ia benat-benar ketakutan.
"Aduh, kenapa harus mati lampu segala sih." Gumam Lara sambil merogoh ponsel dalam tasnya.
Ia buru-buru menghidupkan lampu, dan berjalan keluar dari kamarnya. Saat membuka pintu rumahnya, ia kaget melihat Rio, Bela dan Cecilia berdiri di ambang pintu, dengan membawa kue ulang tahun.
"Happy birthday Lara!!" Teriakan ketiga orang terdekatnya itu, membuat tangisnya tak tertahankan lagi.
Sedih, senang, bercampur menjadi satu. Ia tidak pernah menyangka, jika Rio masih ingat hari ulang tahunya, setelah apa yang ia lakukan semalam kepadanya.
"Selamat ulang tahun sayang. Semoga panjang umur, kita di segerakan menikah ya."
"Kamu ko inget ulang tahun aku?"
"Ya inget lah. Masa pacar sendiri ngga inget." Pelukan dan ciuman kening Rio, mendarat begitu saja. Ia akan berubah menjadi pria paling romantis, di saat ada Cecilia dan juga Bela.
"Udah giliran gue!" Rutuk Bela lalu melepaskan pelukan Rio dari Lara.
"Gue juga mau peluk!" Teriak perempuan bertubuh mungil, yang tak kalah cantik dari Lara itu, menerobos masuk di tengah-tengah Bela dan juga Lara.
"Makasih ya. Kalian selalu inget sama ulang tahun aku." Dengan menahan air matanya, Lara memeluk kedua sahabatnya dengan erat.
"Sama-sama. Kamu jangan sedih lagi ya. Besok kita kerja lagi." Cecilia mengembangkan senyumnya lalu menghapus air matanya. Sejenak ia menghentikan aktifitasnya, dan melihat leher Lara yang memar. Bekas cekikan Rio tadi malam, masih berbekas di leher Lara. Kini warnanya sudah berubah menjadi biru.
"Ra, ini kenapa?" Dengan tangan mungilnya, Cecilia mengusap luka memar di leher Lara, sampai ia meringis kesakitan.
"Aww sakit!" Lara berusaha menjauh sari Cecilia dan juga Bela. Ia tidak ingin kedua sahabatnya curiga dengan luka yang ia alami saat ini.
"Ada apa sih? Coba liat luka apa?"
"Ngga ada. Ini bukan luka, gue tadi malam salah tidur. Makanya memar."
"Ngga mungkin, itu memar kaya bekas di cekik Ra. Gue tau. Lo jangan bohongin gue!"
"Ngga ada siapa juga yang mau nyekik gue." Lara berusaha berkilah dan menutupi lehernya dengan kedua tanganya.
Tapi kedua sahabatnya tidak percaya begitu saja. Kini pandanganya beralih pada Rio, yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya. Bahkan di hari specia Lara saja, Rio masih bisa sibuk dengan ponselnya, yang tidak tau tengah berkirim pesan dengan siapa.
"Rio, siapa yang cekik Lara?" Suara Cecilia terdengar sangat lantang. Ia memang paling berani berhadapan dengan Rio. Walaupun tubuhnya paling kecil di antara yang lainya.
"Hah? Siapa yang nyekik? Lo nuduh gue?"