Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menikah dengan Mantan Badboy

Menikah dengan Mantan Badboy

ciciratu

5.0
Komentar
142
Penayangan
5
Bab

Kanaya Cantika Putri, si cantik yang jatuh hari pada Satya. Sayang sekali karena keterbatasan ekonomi, Satya ditolak mentah-mentah oleh ibunya Naya. Malahan, di saat Satya berkunjung ke rumah orang tua Naya, seorang lelaki bernama Alden Dewantara tiba-tiba datang, diakui sebagai calon suaminya Naya.

Bab 1 Permulaan

Kanaya Putri Cantika atau yang akrab disapa Naya, gadis cantik yang menjadi incaran banyak lelaki. Namun, ia sama sekali tidak pernah berpacaran. Bukan karena prinsip atau apa, tetapi sulit baginya untuk tertarik dengan laki-laki dan satu-satunya kaum adam yang mampu menarik perhatiannya ialah Satya Kumara, teman seperjuangannya mulai masa pengenalan lingkungan kampus hingga menempuh gelar magister. Bagi Naya, Satya ialah segalanya, begitupula menurut Satya.

Naya dan Satya mengikat hubungan mereka dalam suatu hal yang diberi nama komitmen, komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk cincin dari emas imitasi yang melingkar di jari telunjuk Naya. Meski imitasi dan tidak memiliki harga tinggi, tetapi Naya sangat menghargai. Ya, namanya juga cinta.

"Besok aku balik ke Jakarta dulu, rencanamu setelah ini apa?"

Satya mengangkat bahunya. "Nggak tahu juga, tapi pastinya cari kerja. Kamu tahu sendiri 'kan, tanggunganku masih banyak," ucapnya dengan nada lesu.

Satya ialah anak pertama dari lima bersaudara, semua adiknya masih bersekolah. Bahkan, yang bungsu baru duduk di kelas tiga sekolah dasar, sementara ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ibunya bekerja hanya sebagai asisten rumah tangga, sesekali berjualan kue basah di pasar dengan pendapatan tidak seberapa. Ayahnya meninggal dengan meninggalkan hutang ratusan juta, itulah yang membuat sang ibu rela banting tulang bekerja siang malam agar bebas dari lilitan hutang. Lelah rasanya tiap hari dihantui rasa takut jika rumah yang disinggahi kini harus ditarik paksa oleh debtcollector.

"Tawaran untuk menjadi dosen, nggak kamu terima?" tanya Naya.

Satya menggeleng. "Demi Tuhan, aku juga mau jadi dosen di kampus ini. Malahan, hal itu merupakan impianku sejak dulu, tapi aku disuruh mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah," ungkapnya.

Naya pun mengerti apa alasan di balik itu semua. Ibunya Satya semakin renta, sementara adik pertamanya baru memasuki SMA di tahun depan, sifatnya pun manja. Yang bisa diandalkan hanyalah Satya. Maka dari itu, dia tidak bisa bersikap egois. Toh, jika mereka berjodoh, Tuhan pasti akan mempersatukan mereka berdua, pikirnya.

"Terus kita gimana?" ceplos Naya. "Eh?!" Dia mendelik. Padahal, hal tersebut harusnya diam di pikirannya, yang keluar dari mulut rencananya ialah; "Terus di sana kerja apa?"

Naya mengalihkan pandangan, menghindari tatapan terheran yang terpancar jelas dari kedua netra hitam Satya.

"Kita gimana maksudnya? Memangnya kamu mau kita gimana?"

Sungguh, hal tersebut bukanlah jawaban yang diharapkan oleh Naya. Bahkan, sangat amat jauh dari ekspektasi yang ia miliki. Menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan, dia pun menatap Satya diiringi senyuman lebar, berharap senyum itu mampu menyampaikan maksud atas ucapannya tadi.

Satya tertawa kecil. "Kenapa malah senyum?" Tangannya bergerak mengacak-acak rambut Naya. "Kamu lucu. Sekarang jangan senyum, coba bilang ke aku, kamu mau apa," titahnya.

Naya menggeleng, kesal dapat terlihat jelas dari raut wajah gadis itu. Bukannya berkaca ataupun introspeksi diri, tetapi tawa Satya semakin menjadi.

"Ngambek? Astaga, Naya. Dari dulu kan aku udah pernah bilang, aku ini orangnya emang nggak pekaan. Jadi, bilang aja langsung, nggak usah pake kode-kodean. Aku nggak bakalan marah, tenang aja."

"Aku nggak ngasih kamu kode, Satya. Aku rasa juga, pertanyaanku tadi sudah cukup jelas, kejelasan apa lagi yang kamu minta?"

Satya terdiam. Sesungguhnya, dia pun mengerti apa maksud dari Naya. Ia paham betul gadis itu meminta kejelasan dari hubungan merek berdua. Usia dua puluh empat tahun memanglah usia yang sesuai untuk menikah bagi kaum hawa. Jujur saja, Satya menyayangi Naya, sangat sayang, kasih yang dipunya bahkan lebih dari untuk dirinya sendiri. Namun, Naya berasal dari keluarga berada, mana mungkin ia mengajak gadis itu terjun dalam jurang kemiskinan bersamanya?

"Kenapa sekarang diam?"

Kedua ujung bibir Satya membentuk lekuk indah. Dengan perlahan, dia mengelus puncak kepala gadis yang ia cinta. "Tunggu dulu, ya, aku masih belum siap mengikatmu."

"Setidaknya, kasih aku kejelasan. Kamu memang mau denganku atau tidak?"

"Aku mau, tapi aku nggak bisa memulai hubungan yang lebih dari sekadar teman. Kita 'kan sudah komitmen, memangnya masih kurang?" tanya Satya. Lelaki itu menatap kedua mata Naya berharap ketulusan yang ia punya dapat diartikan sedemikian rupa. "Aku sayang kamu, aku juga mau menikah saka kamu, tapi tunggu aku sukses, ya?"

Perlahan dan seakan memiliki banyak beban, Naya mengangguk samar meski berbagai hal berkecambuk di pikirannya. Memangnya kapan kamu akan sukses?

-

Hari ini menjadi hari terakhir bagi Satya untuk berada di Kota dingin, Malang, yang menjadi saksi perjuangannya meraih gelar sarjana hingga magister. Jujur saja, Satya enggan melanjutkan pendidikan hingga S2, tetapi karena memeroleh beasiswa serta dia mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup akibat bekerja paruh waktu, dia pun mengambil kesempatan itu.

Satya juga sebetulnya enggan meninggalkan kota indah yang banyak menyimpan kenangan pahit serta manis ini. Namun, dia telah mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan dengan bayaran pokok delapan juta. Jumlah yang lebih dari cukup untuk fresh graduate minim pengalaman seperti dia.

Satya belum memberitahu soal pekerjaannya kepada Naya. Ia takut membuat gadis itu terlalu berharap. Toh, Satya juga sebetulnya sudah ikhlas jika nanti Naya harus bersanding dengan laki-laki yang bukan dirinya. Satya merupakan sosok yang cukup tahu diri.

"Besok kamu ke rumah, aku mau ngenalin kamu ke orang tuaku."

Enggan sebenarnya, Satya tidak ingin memberi harapan lebih yang nanti bisa jadi pupus. Akan tetapi, atas segala jasa serta bantuan yang pernah diberikan Naya kepadanya, dia pun menyanggupi.

Di sinilah Satya sekarang, di depan rumah megah berwarna putih gading dengan dua buah pilar berbentuk bulat yang gagah. Lelaki itu menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Ini adalah kali pertama dia berkunjung ke rumahnya Naya, pasti bertemu kedua orang tua gadis itu sebab ini hari Minggu. Hal paling bodoh yang ia lakukan adalah datang dengan tangan hampa. Astaga, jika orang tuanya galak pasti dia dicap tak punya etika.

"Satya!"

Masih melamun mempertimbangkan bagaimana cara sopannya untuk memanggil Naya, pintu gerbang langsung terbuka lebar menampilkan sosok cantik yang mengenakan pakaian rumahan. Satya mengembangkan senyuman lebar. Kikuk, dirinya merasa sangat kikuk.

"Ayo, masuk!"

"Langsung, nih?"

Naya mendecak gemas. "Memangnya kamu mau nunggu sampe kapan? Tahun depan?" tanyanya.

"Ya enggak, sih, kelamaan. Nay, tapi aku nggak bawa apa-apa."

"Ada aku suruh kamu bawa apa-apa?" tanya Naya. Setelah mendapat gelengan dari Satya, dia pun melanjutkan, "Kamu datang aja aku udah senang. Ayo masuk, mamaku sudah nungguin dari tadi."

Hendak mengelak pun susah, Satya akhirnya mengikuti langkah kaki Naya. Gadus itu tampak begitu bahagia hendak mengenalkan pujaan hatinya kepada kedua orang tua, walau akhirnya tak mendapatkan respons yang diharapkan.

-

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh ciciratu

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku