Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Konselor Pernikahan

Konselor Pernikahan

Djiwa Moeda

5.0
Komentar
21
Penayangan
7
Bab

"Cinta kita ibaratkan sebuah pohon, kalau daun-daunnya gugur dan hancur, apa kamu bisa menjamin mereka bahagia sekalipun masih berdiri kokoh?" Pernikahan terasa lebih sempurna jika seorang anak hadir di antara mereka, Karenina juga memikirkan hal yang sama, tapi saat kehamilan membuat orang-orang di sekitarnya senang-justru kebahagiaan yang ia nanti sejak lama direbut paksa, dan Denial selalu dianggap Karenina sebagai dalang utama atas luka yang lagi-lagi mengguncangnya. Mampukah mereka mempertahankan pernikahan tersebut saat krisis kepercayaan berhasil mengoyak Karenina?

Bab 1 1. Rekam jejak.

***

Slide 1.

Tawa yang mengalahkan berjuta panorama indah di muka bumi terlihat berkali-kali mematahkan setiap ragu dari pemilik handycam yang kini merekam perempuan berambut panjang tengah bermain di ayunan besi seperti anak kecil.

"Matiin dong matiin! Masa yang beginian aja kamu rekam. Matiin, Denial!!!" Meski kamera terus mengarah padanya-ia tetap terkekeh seraya menutupi wajah menggunakan sepasang telempap.

Slide 2.

"Selamat pagi, Sayang. Gimana? Nyenyak bobonya?" Lengan kirinya menjadi bantalan leher seseorang yang masih terpejam seraya menggenggam erat telempap kiri sang suami yang selalu menyapa kala pagi sebelum arunika mendahului, meski terlelap, tapi ia tak benar-benar tidur, buktinya senyum itu.

"Apa, sih? Ini masih pagi? Kamu kenapa, sih?"

Denial terkekeh, meski diprotes tetap saja ia enggan mematikan kamera yang merekam aktivitas pagi mereka sebelum turun dari ranjang. "Coba buka mata, terus say hi dulu, Sayang." Ia mengecup pelipis kanan sang istri seraya terus menatap kamera.

Slide 3.

"Masa kamu masih aja nggak bisa bedain mana cabai merah besar sama cabai merah kriting. Nanti kalau aku lagi enggak bisa masak, gimana?" Perempuan itu terus saja mengomel meski sibuk memotong cabai merah besar pada talenan di permukaan panel, ia tak peduli pada kamera yang terus merekamnya meski penampilan tengah acak-acakan. Lagipula Denial selalu memvideo adegan candid Karenina yang sama sekali tak pernah membosankan di matanya.

"Muka kusutnya nggak beda sama apron yang dipakai, ya?" ledek Denial sebelum tertawa lebar tatkala Karenina menoleh dengan tatapan sadis seraya melempar cabai ke arah kamera.

Slide 4.

Kamera tampak merekam anak tangga saat pemiliknya terus mengarahkan benda itu di sepanjang jalan menuju kamar seseorang, terlihat tangan kanannya mengetuk pintu sebelum benda bercat cokelat vertikal di depannya terbuka perlahan-lantas memperlihatkan seseorang yang hanya memakai kemeja polos kebesaran dengan rambut acak-acakan, perempuannya menggucak mata seraya tersenyum menatap pemilik kamera.

"Kamu udah pulang? Aku kira besok."

Slide 5.

"Ciara mau ke mana, Sayang? Sini sama tante, nanti sebentar lagi bunda kamu pulang, Nak." Ia berlari mengitari halaman rumah saat keponakannya justru terkekeh tanpa peduli rasa lelah yang hinggap saat sang tante baru pulang bekerja, gadis cilik itu berhenti sejenak seraya menjulurkan lidah pada perempuan yang terus mengejarnya.

"Ciara jangan kalah sama Tante Karenina, ya!"

***

"Kamu nggak bosan lihat begitu terus?" Ia meletakan piring ceper berisi kentang goreng yang baru dibuatnya sendiri sebelum duduk di sofa-tepatnya di sisi laki-laki yang bersila seraya memangku laptop, Denial menonton untuk kesekian kalinya beragam video yang sempat ia rekam beberapa bulan silam, entah mengapa baginya setiap hal perlu diabadikan. Katanya, agar ia masih bisa mengenang semua jika sudah tua atau lupa suatu hari.

"Enggak." Denial menggeleng, ia meraih potongan kentang goreng tanpa mencelupkannya pada saus yang tersedia. "Besok, kamu jadi ke rumahnya Salma?"

"Jadi, saya udah beli kado kok. Besok tinggal berangkat aja."

"Yah, maaf ya, Sayang. Aku nggak bisa ikut, besok pagi udah harus pergi lagi sama papa terus rekan yang lain."

"Nggak apa-apa, nanti saya sampaikan salam dari kamu ke Rega sama Salma."

"Sepi sendirian pasti, kan." Denial menutup laptop dan meletakannya di permukaan meja, ia merangkul bahu sang istri menggunakan tangan kiri sebelum mengecup sisi kepala perempuannya. "Kalau aja kamu mau dengerin aku buat cari ART, kamu nggak akan sendirian kalau aku tinggal ke luar kota. Kamu nggak akan terlalu capek ngurus rumah setelah pulang kerja, Sayang."

"Kita masih berdua, jadi semua nggak terasa berat. Berhenti kasih saran itu terus ya, Denial." Karenina beranjak. "Saya capek, saya mau tidur. Kamu jangan lupa tidur." Ia melenggang meninggalkan Denial di ruang televisi, meski baru pukul delapan Karenina sudah bersiap mengistirahatkan isi kepala serta raganya sebab lelah juga harus segera lesap. Denial tak pernah protes meski sang istri membiarkannya sendiri saat mengerjakan lemburan dari kantor atau sekadar ngopi di depan televisi, ia tahu seperti apa lelahnya menjadi Karenina.

Perempuan itu cukup keras kepala, setiap hari melakukan segalanya sendiri meski ia juga masih melangsungkan bisnis foodtruck yang hampir dua tahun belakangan beroperasi. Pekerjaan rumah, belanja kebutuhan bulanan atau bahan makanan untuk menu foodtruck-semua dibabat habis Karenina sendiri. Bagi Denial, perempuannya adalah jelmaan Wonder Woman tercantik di muka bumi.

Denial meraih piring ceper di meja sebelum menelan habis semua kentang goreng yang dibuatkan sang istri, semua camilan di rumah adalah hand made olahan Karenina langsung, entah dari beberapa potong kue yang tersisa di kulkas atau nastar di toples kecil yang sengaja disediakan untuk tamu di rumah. Karenina memang multitasking, cekatan dan enerjik meski seringkali Denial menegur sebab takut istrinya bisa tumbang karena aktivitas fisik yang berlebihan.

Denial meneguk habis kopi di meja sebelum membawa perkakas makannya ke wastafel di dapur dan mencucinya sendiri, hanya hal-hal kecil yang bisa ia lakukan untuk mengurangi beban sang istri. Perempuan itu selalu menolak jika Denial memintanya berhenti sejenak dari urusan foodtruck, Karenina selalu menolak dengan alasan klasik: "Mumpung masih berdua".

Pertanyaannya, kapan si ketiga datang?

Denial meninggalkan dapur usai urusan mencuci piring kelar, ia melangkah menapaki satu per satu anak tangga sebelum tiba di depan pintu yang belum tertutup rapat. Ia membukanya lebih lebar seraya menatap perempuannya justru belum terlelap, Karenina terlihat bersila di sisi ranjang seraya memegang note berisi beberapa hal yang harus ia beli esok hari.

"Kok belum tidur, tadi katanya-"

"Habis ini." Karenina menggaruk kepala seraya berdecak. "Oh, iya. Itu kan kosong."

"Besok Minggu, lho. Kamu masih aja sibuk, istirahat yang banyak, Sayang." Laki-laki itu duduk di sisi Karenina sebelum memeluk lengannya seraya menyandarkan kepala di bahu kiri sang istri. "Kamu capek? Aku lebih capek ngelihat kamu yang capek."

"Lebay. Besok kan Minggu, jadi setelah pulang dari rumah Salma-saya bisa langsung belanja, kan? Jangan buang-buang waktu, kata orangtua itu kebiasaan yang nggak bagus."

"Besok Minggu kita nggak ada quality time karena aku pergi, gimana kalau-"

"Selamat tidur." Karenina meletakan note di permukaan nakas sebelum melepaskan tangan Denial yang masih menggelayut manja di lengannya, kadang laki-laki itu seperti anak kecil yang haus kasih sayang.

"Besok aku pergi." Rengekan Denial mengartikan sesuatu yang membuat Karenina mendorongnya hingga tubuh laki-laki tersungkur di permadani, ia buru-buru menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya guna melindungi diri. "Hey, ini nggak cocok."

"Good Night, Denial. Have a nice dream," ucap Karenina di balik selimut saat Denial beranjak seraya menyentuh pantat yang terasa sakit, ia seringkali diperlakukan sesuka hati Karenina entah mendorongnya hingga jatuh dari ranjang atau menjambak rambutnya saat Karenina terlalu gemas.

"Argh! Sakit banget pinggangku! Pasti efek didorong tadi!" pekik Denial setelah duduk di tepi ranjang, ekor matanya memperhatikan gerak-gerik perempuan dalam dekapan selimut yang tak kunjung keluar dari persembunyian. "Argh! Istriku tukang KDRT, besok mau ngadu sama Ciara."

"Kenapa harus Ciara? Kamu mau citra saya jelek di mata dia?" Karenina terpancing keluar dari selimut, sepasang alisnya bertaut kala menatap Denial.

"Karena Ciara itu kan bom atom bagi kamu, ya. Jadi, kalau dia tahu tantenya jahat itu bakal gimana, ya."

"Saya nggak jahat!" Tanpa aba-aba Karenina melempar bantal ke wajah suaminya, Denial sontak terkekeh menanggapi kekesalan Karenina hanya karena Ciara, gadis cilik itu selalu efektif untuk mengancam sang istri jika Denial merasa keadaannya terdesak seperti sekarang.

"Aku mau telepon Ciara, dia pasti jam segini belum tidur." Denial semakin menjengkelkan saat mengeluarkan ponsel dari saku celana pendeknya seraya tersenyum miring menatap sang istri yang justru terlihat mengerikan dengan ekspresi katatonik khasnya. Apa atmosfer di kamar mulai mencekam sekarang?

Denial beranjak seraya mendekatkan ponsel ke telinga kiri. "Hallo, hall-argh!" Mungkin saja sang istri tak sekadar Wonder Woman, tapi juga Tarzan yang tiba-tiba bergelantungan di pohon dalam hutan, hanya saja yang satu ini bergelantungan di punggung Denial seraya menarik telinga laki-laki itu hingga rona merah padam menghiasi rupa kuarsa sang suami.

Karenina, yang kamu lakukan itu ... JAHAT!!!

"Sakit, Sayang! Sumpah sakit. Aku nggak akan telepon Ciara," rintih Denial sebelum melempar ponselnya ke permadani, ia sudah tak tahan dengan penderitaan yang kini masih berlangsung.

Tangan kanan Denial menyentuh telinga yang terlihat kemerahan itu setelah sang istri penuh keikhlasan melepasnya sebelum berdiri di belakang Denial dengan posisi lebih tinggi sebab berada di permukaan ranjang. Karenina menarik napas panjang sekadar melepaskan kekesalannya agar pergi menjauh, jika saja Denial tak mengusik waktu istirahat yang sudah terlewat beberapa menit-pasti tiada KDRT berlangsung seperti tadi.

"I just want to sleep, and you can't interfere. A scratch might appear on your face," ancam Karenina sebelum turun dari ranjang dan duduk di sana, tangannya meraba gelas berisi air mineral di dekat note pada permukaan nakas sebelum ia teguk isinya hingga habis, emosi pada Denial memang menghabiskan tenaga, waktu Karenina bisa terbuang sia-sia.

Baru saja perempuan itu hendak membaringkan tubuh, tapi Denial menarik selimutnya hingga terjun menyentuh lantai. Karenina mendelik kebingungan, tapi Denial sudah bosan bermain-main dengan keinginan tanpa kepastian. "If you were tired higher, you'd sleep better."

Karenina mengerti apa maksudnya seperti saat semua dimulai dari dorongan pelan menyentuh permukaan ranjang, mengawali skinship melalui pagutan tanpa jeda yang membuat Karenina frustrasi dan menyiksa laki-lakinya lagi saat sepasang tangan sibuk mencengkram mahkota pendek Denial. Lantas, lusuh di segala tempat hingga satu per satu kain tercecer di lantai tanpa dipedulikan pemiliknya yang sibuk bergelut ria untuk aktivitas erotis di sepanjang malam.

Katanya lelah, tapi malah memenuhi jatah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Djiwa Moeda

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku