"Selama tiga bulan, aku terperangkap dalam permainan ini, Kieran. Apa kau memang berniat menghancurkan segalanya? Apa semua ini hanya permainan bagimu?" teriak Nara dengan mata yang hampir meneteskan air mata, suaranya bergetar penuh kebingungan dan kekecewaan. Di hadapannya, pria dengan sosok tinggi dan tampan berdiri tegak, wajahnya datar dan matanya tajam seperti pisau. "Apakah kau benar-benar tidak peduli dengan pernikahan ini?" tanya Nara, suaranya menjadi lirih, hampir seperti bisikan angin di tengah hutan yang sunyi. Kieran menghela napas, mengalihkan pandangannya sejenak, kemudian menatap Nara dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Dengarkan aku baik-baik, Nara. Aku menikahimu karena itulah yang diinginkan ayahku. Bukan karena aku mencintaimu. Jangan pernah berharap itu, meskipun aku harus menanggung rasa malu menjadi suami dari seorang gadis yang hanya dikenal sebagai putri petani desa," jawabnya dengan nada dingin, nada suara yang membuat daging di tubuh Nara menggigil. Nara terpaku, lidahnya terasa kaku di mulut, matanya membulat lebar saat kata-kata Kieran menyusup ke dalam hatinya seperti jarum yang menusuk perlahan. Perasaan itu, yang selama ini dia pendam, seolah-olah mencair, berubah menjadi sepasang mata yang berisi air mata yang sudah tak mampu ia tahan lagi. Kieran menatapnya, terlihat sejenak ragu, namun segera mengalihkan pandangannya. Pernikahan ini adalah hasil dari utang yang ditinggalkan oleh ayah Nara, utang yang tidak sempat dibayar hingga akhir hayatnya. Kieran, pewaris dari keluarga terkaya di kota, diikat oleh perjanjian yang mengharuskannya menikahi Nara, mengikat hidup mereka dalam kontrak pernikahan selama sembilan puluh hari. Di dalam rumah tua yang kini jadi rumah mereka, Nara merasa semakin terperangkap. Hatinya bergejolak dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab-apakah selama tiga bulan ini mereka hanya akan terus hidup dalam kebencian, ataukah ada secercah harapan di balik semuanya?
Matahari terbenam dengan sinar jingga yang memancar lewat celah-celah jendela rumah tua itu, menebarkan warna keemasan pada lantai kayu yang sudah lama tak tersentuh. Nara memandang dinding yang retak, dinding yang seakan menyimpan segala rahasia dan penderitaan. Sebuah rumah yang dulu dipenuhi tawa, kini hanya tinggal sepi dan sunyi, mirip dengan hatinya yang terluka.
Tiga bulan sudah berlalu sejak malam itu-malam di mana Kieran, pria yang tak pernah sekalipun memandangnya dengan penuh kasih, berdiri di hadapan altar dan mengucapkan janji yang kini terasa seperti kenangan pahit. Pernikahan mereka bukanlah pilihan, melainkan akibat dari keputusan yang diambil oleh ayahnya, yang terjerat utang pada keluarga Kieran. Utang yang kini bersemayam di antara mereka, seolah-olah menjadi bayangan gelap yang tak bisa dihindari.
Nara menghela napas panjang, merasakan perasaan terhimpit oleh ketidakpastian. Beberapa bulan terakhir, Kieran lebih sering menghilang, entah ke mana. Jika pun ia berada di rumah, mereka hanya berbagi ruang dalam keheningan yang mencekik. Nara tidak pernah berani untuk memulai percakapan. Setiap kali dia mencoba, tatapan tajam Kieran membuat lidahnya kelu, seolah kata-kata yang ingin diucapkannya dipatahkan oleh rasa takut.
"Apa yang harus kulakukan?" bisik Nara pada bayangannya yang terpantul di cermin retak di samping tempat tidurnya. Rambutnya yang panjang terurai, berkilau di bawah sinar temaram. Ia masih mengenakan gaun tidur lusuh yang semakin hari semakin tak layak dikenakan. Ia tahu, dalam sekejap, kebahagiaan yang pernah ia impikan seperti habis disapu angin.
Tiba-tiba, suara langkah kaki di luar pintu menarik perhatian Nara. Dengan jantung yang berdebar keras, ia melangkah menuju pintu. Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan sosok Kieran dengan pakaian hitam yang rapi. Matanya yang gelap menatapnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangan. Ia masuk tanpa sepatah kata pun, meninggalkan jejak aroma anggur dan parfum mahal yang masih menempel di jasnya.
"Selamat datang," kata Nara, suara yang dipaksakan ceria, meskipun di dalam hatinya hanya ada kehancuran. Kieran hanya mengangguk, lalu duduk di kursi kayu di dekat jendela. Ia menatap keluar, seolah-olah mencari sesuatu di luar sana yang tidak bisa dilihat oleh Nara.
Nara berdiri diam, mencuri pandang dari balik tirai. Melihat Kieran dalam diam membuatnya merasa seolah-olah ada dinding kaca yang memisahkan mereka. Kieran, pria yang penuh misteri dan keangkuhan, pria yang tidak pernah menunjukkan perasaan apapun. Satu-satunya bukti kasihnya adalah pernikahan ini, yang dilakukannya demi memenuhi kewajiban. Tapi cinta, cinta itu tidak pernah ada di antara mereka.
Malam itu, Nara memutuskan untuk tidak membiarkan kesunyian menghancurkannya. Ia mendekat dan duduk di kursi di seberang Kieran, mencoba untuk mengatur napasnya yang mulai tidak teratur. "Kieran," ia memulai, suaranya bergetar, "kenapa kau menikah denganku?"
Kieran menoleh, alisnya sedikit terangkat, seakan-akan pertanyaan itu adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Ia tertawa kecil, tapi tawanya itu lebih terdengar seperti gemerisik angin yang tidak menyenangkan. "Kau sudah tahu jawabannya, Nara. Aku tidak menikahimu karena ingin. Ini bukan tentang aku. Ini tentang kewajiban, tentang menepati janji yang telah dibuat ayah kita."
Tiga bulan pernikahan, dan itu adalah pertama kalinya Kieran mengakuinya. Kata-kata itu menyusup seperti racun, mengalir dalam pembuluh darahnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat, lebih nyeri. Perasaan terluka itu menahan napasnya. "Tapi, bagaimana dengan kita? Dengan hidup kita?"
Kieran mengalihkan pandangan, menatap bintang-bintang di luar sana. Sejenak, ada keheningan yang memadati ruang di antara mereka. Nara ingin sekali mendekat, tapi rasa takut yang mencekam membuatnya terhenti di tempat.
"Tidak ada 'kita', Nara," katanya, suara keras dan tegas, membuat Nara hampir terjatuh dari kursi. "Ini hanya perjanjian, sebuah kewajiban. Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu."
Nara merasa duniannya runtuh, seolah-olah langit di atasnya terbelah, dan kegelapan merayap ke seluruh jiwanya. Namun, ia tetap bertahan, menggenggam harapan yang semakin menipis. "Tapi... jika kau terus seperti ini, bagaimana kita bisa bertahan? Aku tidak bisa terus hidup dalam kebencian ini."
Kieran menoleh ke arahnya, ekspresinya masih sama, tapi matanya menyimpan sesuatu-sesuatu yang sulit diungkapkan. "Itulah masalahnya, Nara. Kau terlalu berharap."
Nara tidak tahu harus berkata apa. Kieran benar, ia terlalu berharap. Harapan itu seperti api yang perlahan menyala, hanya untuk ditiup angin dan mati dalam sekejap. Semua kenangan tentang tawa dan impian yang pernah ia miliki seakan-akan lenyap begitu saja, ditelan oleh kegelapan yang menyelimuti hati mereka.
Namun, malam itu, Nara membuat keputusan. Ia tidak akan membiarkan harapan itu mati begitu saja. Jika Kieran tidak akan bertarung untuk mereka, maka ia sendiri yang harus mencari cara untuk memperbaiki semuanya.
Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Kieran yang masih tidak mengalihkan pandangan dari jendela, seolah-olah bintang-bintang di langit dapat memberi jawaban yang dia cari. Dan dalam kesendirian malam itu, Nara tahu, jalan yang harus ia tempuh tidak akan mudah. Tapi, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa ada sesuatu yang harus diperjuangkan.
Bab 1 Tiga bulan sudah berlalu
10/12/2024
Bab 2 Kieran meninggalkan rumah dengan ekspresi yang sama
10/12/2024
Bab 3 menyapu pandangan ke seluruh ruangan
10/12/2024
Bab 4 perbedaan dalam hubungan
10/12/2024
Bab 5 Perpisahan yang Mempatahkan
10/12/2024
Bab 6 berharap untuk menemukan ketenangan
10/12/2024
Bab 7 kemarahan dan rasa sakit
10/12/2024
Bab 8 Malam itu begitu sunyi di rumah Kieran
10/12/2024
Bab 9 Nara berjuang keras menjaga Kieran tetap sadar
10/12/2024
Bab 10 Suara tembakan menggema di udara
10/12/2024
Bab 11 Pagi datang dengan lambat
10/12/2024
Bab 12 memancarkan kepanikan yang jarang terlihat
10/12/2024
Bab 13 memikirkan banyak hal
10/12/2024
Bab 14 harapan baru yang perlahan mulai tumbuh
10/12/2024
Bab 15 Seminggu telah berlalu sejak kepergian Kieran
10/12/2024
Bab 16 hatinya jauh lebih terluka
10/12/2024
Bab 17 Debu dan darah masih menempel di tanah
10/12/2024
Bab 18 melakukannya sendirian
10/12/2024
Bab 19 tidak harus melawan sendirian
10/12/2024
Bab 20 Bagaimana jika kita tidak siap
10/12/2024
Bab 21 Jeritan pertama terdengar dari arah utara desa
10/12/2024
Bab 22 bersumpah untuk melawan sampai akhir
10/12/2024
Bab 23 Angin malam menusuk tajam hingga ke tulang
10/12/2024
Bab 24 Kieran akan menghilang
10/12/2024
Bab 25 bergabung dengan Nara
10/12/2024
Bab 26 Pertarungan itu berlangsung dalam keheningan
10/12/2024
Bab 27 Teriakan dan dentingan logam yang bertubrukan di luar
10/12/2024
Bab 28 Kedua pihak bertarung dengan semangat yang hampir habis
10/12/2024
Bab 29 Keduanya terengah-engah
10/12/2024
Bab 30 menyinari sepertiga dunia yang masih menderita
10/12/2024
Buku lain oleh Dannisa Cahya
Selebihnya