Dalam usia yang masih sangat belia, Adelia Nastiti merasa telah menemukan cinta pertamanya. Perjumpaan dengan seorang lelaki dewasa bernama Tommy, dengan tanpa sadar telah saja mengguncang kesucian nuraninya yang tak bercela oleh noda pamrih asmara. Namun sayang, cinta suci itu tiada berbalas. Karena setelah tahun demi tahun berlalu, ternyata tak pernah lagi ia temukan jejak sang mentari paginya. Pemuda itu pergi tanpa pesan, membuat Adelia patah hati dan juga tertekan. Seiring kedewasaan yang datang menyongsong, pengalaman pahit akan cinta pertama telah merubah Adelia si gadis manis penuh tawa, menjadi sesosok gadis berhati dingin tanpa canda. Sampai suatu saat, takdir telah kembali mempertemukan dua insan yang terpisah setelah bertahun lamanya, dalam situasi dan kondisi yang menuntut mereka untuk selalu dekat. Hati Adelia yang membeku, perlahan kembali mencair saat cahaya mentari paginya telah kembali intens mengorbit mengitari semestanya. Saat hati kembali percaya akan datangnya kesempatan kedua, saat itu pula Adelia sadar bahwa Tommy telah memiliki Julia sebagai calon tunangannya. Dalam situasi pelik yang melanda, akankah takdir berpihak pada Adelia? Atau justru akan datang matahari lain yang mampu membahagiakannya?
Permukiman itu terletak di sebuah komplek yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan. Tapi meskipun tepat berada di tengah Ibu Kota Kabupaten, deretan puluhan bangunan tersebut terlihat begitu lengang dan damai. Bahkan layaknya sebuah hunian dalam kawasan perumahan elite, lingkungan di sekitar tempat itu terlihat begitu eksklusif dan terpisah dari hingar bingarnya lalu-lalang kendaraan yang tak berkepentingan langsung dengan penghuninya.
Keluarga Sadewo tinggal di sebuah rumah dengan model sederhana namun sangat asri. Meskipun merupakan arsitektur peninggalan beberapa dekade silam, bangunan tersebut malah menunjukkan sisa-sisa yang mencerminkan masa kejayaan keluarganya di era 80-an. Dimana, hal itu bisa terlihat jelas jika menilik dari sudut kualitas bangunan kokoh yang terbuat dari tembok batu berlantaikan granit khas masa lalu.
Belum lagi bila menghitung luasnya halaman yang ditanami dengan berbagai tanaman pepohonan buah yang tumbuh subur menghantarkan kesejukan. Terlepas dari berapa jumlah harga jual dalam hitungan meter persegi, tentu saja kesemuanya itu dengan serta merta akan membuat siapapun langsung merasakan atmosfer kenyamanan saat melihatnya.
---
Hari Minggu masih sangat pagi, hingga kesejukan udara pegunungan di kota tersebut terasa begitu mendukung untuk bermalas selagi libur akhir pekan. Namun, suasana damai rumah tersebut telah saja menjadi terusik dengan kehebohan kesibukan seorang dara belia yang baru juga beranjak remaja.
"Papaaa ... Mamaaa ... aku berangkat." Demikian teriak si gadis cantik yang terlihat begitu energik dan nampak centil dalam balutan celana pendek selutut dan T-shirt khas olah raga sepeda.
"E-eehhh ... susunya diminum dulu. Kamu juga harus sarapan," teriak seorang wanita cantik berusia empat puluhan yang tengah sibuk membuat minuman di dapur.
"Telat, Ma. Nggak sempat lagi," teriak kembali si gadis centil sambil terburu-buru mengenakan sepatu sport berwarna putih bersih.
"Nggak sempat apa, ihhh ... nih anak, kalau udah ada maunya memang jadi bandel!" Sambil juga berteriak, sang wanita cantik berdaster langsung saja tergopoh keluar dari dapur sambil membawa segelas susu sapi segar yang baru saja dimasaknya.
"Ayo, dihabisin dulu minumnya,"tukas sang wanita yang merupakan sang ibu dari si gadis centil.
"Uh, Mama ... di alun-alun juga banyak yang jual, Dea bisa beli di sana nanti," keluh sang anak yang nampaknya merasa terhambat waktu akibat paksaan dari sang ibu.
"Udah, nggak usah cerewet. Diminum susunya, terus makan roti itu. Baru setelah selesai itu, kamu pergi gowes kemanapun seharian ini." Dengan tegas, ibu yang sangat menyayangi anaknya itu langsung saja memberi sebuah garis aturan mainnya.
Mendengarkan kata sang ibu, gadis kecil itu sejenak terlihat cemberut. Tapi pada detik berikutnya, langsung saja wajahnya kembali terlihat sumringah. Lalu, ia pun menanggapi perintah ibunya dengan nada bicara yang terdengar sangat ceria,
"Bener, boleh pergi seharian? Ih, asiikkk ... kalau begitu, aku mau pulang sampai sore, atau malah pulang malam saja. Hihihi ... pokoknya, seharian ini aku mau genjot sepeda terus kemanapun suka. Hihihi." Usil dan bandel, si anak langsung saja menggoda sang ibu dengan wacana yang tak masuk akal.
"Halah, gombaalll! Paling-paling, jam sepuluh juga sudah pulang. Hihihi ... lapar, Ma. Ah, kulitku jadi hitam kalau main sepeda siang-siang. Terus kamu ngeluh lagi, capeekkk ... hihihi ... mana keringetnya udah bau asem juga." Tak mau kalah dengan si anak, langsung saja sang ibu menggoda dengan keusilan yang sama.
"Hik hik hik ... Mama bisa aja. Kan aku bisa jajan di warung makan kalau laper." Belum juga mau mengalah, Dea langsung saja menukas.
"Jajan? Ih, nggak malu ... mosok tubuh keringetan bau kambing gitu mau jajan di warung? Malu, doongg...."
"Hahaha ... ya mandi dulu. Eh, iya ... jadi lupa belum bawa deodoran."
"Mandi di WC umum? Ih, jorok ... atau mau pakai deodoran tanpa mandi? Hik hik hik ... emang enggak risih?"
"Mandi di sungai, dong ... segeeerrr...."terus saja menggoda sang Mama, gadis cantik berkulit putih dan hidung bangir itu tak mau berhenti bicara.
"Bareng sama kebo? Hehe. Udah, ih ... kamu berisik aja. Ayo dimaem rotinya. Sini, biar Mama kuncir dulu rambutnya. Mau sepedaan, kok rambut malah diurai gitu." Selesai berkata demikian, dengan penuh rasa sayang sang ibu langsung saja meraih kepala anak gadisnya untuk ia cium dengan begitu gemasnya. Kemudian, langsung saja diraihnya rambut hitam tebal panjang sebahu itu untuk disisirnya dengan jemari.
---
Tengah asyik saling bercanda sembari sang ibu membantu menata rambut gadis kecilnya, muncullah seseorang lagi untuk bergabung. Sesosok laki-laki paruh baya bertubuh cukup gempal, dengan setengah kantuk nampak berjalan melintas sebuah pintu kamar yang sudah terbuka.
Sadewo yang sebelumnya masih asyik bermalasan diatas kasur empuknya, nampaknya jadi sedikit terusik dengan kemeriahan pagi di hari minggu itu. Karena belum juga duduk, ia sudah saja mulai bicara pada kedua orang yang tengah duduk di ruang makan.
"Pagi-pagi udah pada ribut saja ... ah, sukanya pada ganggu kalau ada orang lagi nikmatin weekend," gerutu sang ayah yang langsung saja bergabung ke arah meja makan.
"Hik hik ... Mama itu, Pa. Bawel aja kerjaannya. Orang anaknya mau sepedaan aja, harus pakai seremoni macem-macem." Dengan manja, langsung saja si gadis mengeluh pada lelaki kesayangannya.
"Hmmm ... Mama emang gitu. Kamu nggak tahu, keributan dengan kamu itu memang disengaja oleh Mama kamu."
"Kenapa emangnya?" dengan santai, si gadis menanggap sang ayah sambil mengunyah roti tawar menteganya.
"Ya biar Papa cepet-cepet bangun, biar Papa nggak betah di kamar ... hahaha ..." langsung saja, pria paruh baya itu menjawab sambil mendekati kedua kecintaannya.
"Bener begitu, Ma?" langsung saja si anak menyahuti. Sifat iseng dan bandelnya, mendadak saja meronta untuk seketika melakukan perbuatan adu domba di antara ayah dan ibunya.
Namun ia kecele. Karena sepertinya, pagi itu sang Mama sedang ingin bermesra dalam damai tanpa mau terprovokasi oleh si gadis centil.
"Ya iya lah ... Papa emang paling tahu tabiat Mama, Hi hi hi. Mama juga apal sama Papamu itu. Pura-pura marah, tapi sebenarnya seneng dibangunin begini."
"Lah, bukannya sebel kalau dibangunin selagi asyik bermimpi?" tak menyerah, Dea masih saja berusaha memanasi hati sang ayah.
"Enggak juga, dong," jawab sang Papa yang kini sudah kompak dengan istrinya.
"Lah, kok gitu? Kok seneng?" dengan ekspresi melongo yang tak dibuat-buat, wajah imut yang sangat cantik itu bertanya dengan heran.
"Ya seneng, doongg ... kan kamu mau pergi main sampe sore. Jadinya, Papa seneng bisa berduaan aja pacaran dengan Mama. Hhhmmm ... iya kan, Ma?" tak cukup hanya menunjukkan dengan kata, lelaki itu langsung saja pamer kemesraan dengan mencium pipi sang istri yang kini sudah selesai menguncir rambut anaknya.
"Idih, genitnyaaaaa ... ih, udah tua kok pacaran? Kalian kan udah suami istri!" menyaksikan sikap sang ayah yang berusaha memanasi hatinya, langsung saja Dea cemberut.
"Loh, emang enggak boleh? Meskipun suami istri, kan masih tetep bisa mesra pacaran. Apalagi, sebentar lagi hanya duaan aja di rumah. Kita bebaaasss ... hik hik, nggak ada yang gangguin kan, Pa?" dengan kejam, sang ibu langsung saja tambah memanasi hati putrinya sembari menirukan ketawa nakal Dea yang menonjolkan intonasi 'ihik-ihik' itu.
Kemudian seakan agar lebih menegaskan lagi, iapun berdiri untuk merangkul sang suami dan balas mendaratkan sebuah kecupan di pipinya. Sementara sang suami yang medapatkan perlakuan penuh cinta seperti itu, dengan spontan langsung saja balas merangkul sambil merem-merem.
"Uh, kalian kejam! Sebenernya, aku ini anak kalian apa bukan, sih?" sontak saja, si anak langsung cemberut ngambek.
"Loh, kenapa tanya begitu?" sang ayah bertanya setelah selesai menerima ciuman balasan dari istrinya.
"Umumnya, tuhhh ... pantesnya si ayah itu cium-cium sayang anak gadisnya, bukannya terus cium istri. Apa enggak bosen? Sekian lama udah nikah juga. Uhh ... dasar nasib, punya orangtua kok pada genit begitu." Layaknya tengah protes demi memperjuangkan satu hal yang paling rumit, gadis itu bersungut-sungut untuk mengungkapkan ketidak-puasan hatinya.
Mendengar gerutuan si anak gadis, langsung saja kedua orangtuanya tertawa. Bagaimana mereka tak akan selalu tertawa bahagia bila sedang bersama si anak? Karena gadis bernama lengkap Adelia Nastiti itu adalah merupakan gadis satu-satunya kesayangan keluarga.
Namun setelah mentertawakan kelucuan putri bungsu mereka, sang Mama memutuskan untuk mulai berbicara dengan serius. Hal itu mesti ia lakukan, agar anak gadisnya tak salah mengartikan kemesraan yang ia lakukan bersama sang suami di hadapan anaknya.
"Loh, kok bosen? No! no! no! nggak ada kata bosen buat suami-istri yang menikah berdasarkan cinta dan janji sehidup semati." Langsung saja, sang Mama memberikan pengertian yang baik, agar semua yang dilakukannya bisa dipahami dengan benar oleh sang anak.
"Benar, Sayang ... menikah itu adalah sebuah janji yang akan tetap dipegang sampai mati. Bagaimanapun keadaannya, cinta itu harus tetap ada. Dan meskipun sudah menjadi tua bersama, cinta dan kemesraan tak juga boleh hilang dengan berlalunya usia." Demikian sang ayah menambahkan sembari menarik lengan Dea untuk ia masukkan dalam pelukannya bersama sang ibundanya.
***
Bab 1 Keriuhan Di Pagi Hari
15/12/2022
Bab 2 Gadis Manis; Adelia Nastiti
15/12/2022
Bab 3 Perjumpaan Pertama
15/12/2022
Bab 4 Tapi, Ada Syaratnya ...
15/12/2022
Bab 5 Getaran Asing Yang Menyapa
15/12/2022
Bab 6 Di Luar Ekspektasi
16/12/2022
Bab 7 Menang Telak
16/12/2022
Bab 8 Dilanda Frustrasi
16/12/2022
Bab 9 Kepergok Si Tommy
16/12/2022
Bab 10 Serba Salah
16/12/2022