Pupus
tak bisa melihat Jali, tapi ia utarakan juga ma
es potong! Berapa sudah cangkir dan piring yang kau pecah
api pelit!" Hafiz tertawa sambil
api hemat!" ujar Pak B
t," Hafiz mengembuskan asap tembaka
ar dari warung, entah mencari apa, tapi sempat ia berpesan kepada Jali untuk menjaga kedai dan melayani orang-orang yang hendak minum di kedainya itu. S
rempuan yang kem
i. Berbeda kalau hari pekan, banyak pedagang dari jauh datang ke tempat ini. Menggelar barang dagangannya-dari pakaian sampai alat dapur
uan. Tak mungkin kalau peremp
n semangatku, Jal
semangat Tuan, tapi lihatlah
tiannya siang ini. Angin kering bertiup memasuki kedai membawa debu yang berputar-putar bagai puting beliung. Hafiz memicingkan mata sambil menutup mulut dan hidung dengan telapak tangan, agar terhindar dari debu yang m
eriaknya
sahutan dari balik dindi
pat ini juga?" Hafiz bertanya seperti itu hanya untuk meringankan beban
li. Hafiz bertanya sekali
ta kau,
h kaki Jali, keluar da
ambah air untuk
ngerutka
ertanyaanku tadi? Sambil
kembali duduk berha
puan itu bukan berasal dari kampung ini. Bukanka
ana kau
anya saja aku sudah yakin kalau
rtanya pada diri sendiri-dan bingung memikirkan ada keperluan apa per
Tuaaan ... Untuk apalag
keningnya-tanda ia heran-m
rempuan itu orang dari kota, untuk apa ia berbelanja ke
sul. Hanya tersengih saja yang ia bisa. Kemu
u melihat air yang dijerang
tu," ujar Hafiz melepa
bil kertas dan pena dari dalam saku celana yang selalu saja dibawa ke mana pun ia pergi. Kemudian daripada itu, Hafiz tenggelam di dunia khayali. Berbait-bait kata ya
k yang mem
h rindu-de
mpuan berwa
encim co
gi kan kuc
ai,
a pada la
arus
'kan kuc
ilang seb
asmara in
kita sa
an pertama? Entahlah, Hafiz menjadi pening sendiri. Ke mana ia akan mencari perempuan yang telah menambat hatinya itu. Bisakah mereka bersua kembali, atau selamanyakah ia akan selalu merindu bagai seekor pungguk? Kopi ia reguk lagi meskipun sudah agak dingin, kemudia
an, Tuan?" Jali pul
iba. Siapa yang tak geram? Meradang pun bisa, tapi untunglah Hafiz bisa menyabarka
?" Jali senyum-senyum. Sukalah ia men
gkut-pautnya dengan engka
ut sekali ini. Memang ia tak suka kalau dipanggil
kupanggil saj
u Jali
air panas ke dalam cangkir kopiku ini," Haf
glah duduk di kedai," Jali merepet sa
harus kubayarkan!" gerutu Hafiz mendeng
ah air hangat, lima sen!" terdengar suar
rupiah pun aku bayarkan!