Pupus
sana, berkelap-kelip bagai perempuan mengerlingkan mata. Serupa perempuan yang ia lihat di pekan siang tadi, sungguh seri wajahnya setanding dengan kejora. Siapakah gerangan dia? Ri
Untuk perempuan tak tahu nama siapa. Biarlah, ditulisnya saja untuk perempuan berkebaya encim cokelat muda. Sampai berlembar-lembar sajak ditulis, tapi hatinya bukan tenteram malah bertambah gundah-gulana. Hafiz t
idur tak tentu, makan apalagi. Lebih sering ia menghabiskan bercangkir-cangkir kopi dan beberapa jumput tembakau. Kenyang? Sindir ibunya selalu. Hafiz cuma tersengih, ketawa kuda, tapi bila ia sudah kelaparan, nasi sepiring tak cukup baginya. Tak tahulah ibunya mengatakan betapa aneh perangai anaknya itu. Hidup bagai tak punya cita-cita, tak ada
k tahu ia kegundahan hati orangtua, tapi memang ia teringin jadi penyair. Hidup tak berlaku aturan yang patut. Berjalan sesuka hati, pulang ke rumah kalau ada perlunya. Pernah ia tak pulang seminggu. Tidur di emperan toko, duduk merenung, memandang lalu-lalang orang tiada jemu. Agaknya apa yang terlihat, ingin ia pinda
erempuan berkebaya encim cokelat muda masih menari-nari di dalam kepala. Sudah berpuluh sajak ia tuliskan tadi malam, untuk perempuan itu yang ia sendiri tak tahu entah siapa. Res
fii
Hafiz menggerutu dalam hati. Kalau tak berpikir tembakau sudah habis tentulah ia tak akan menyahuti
, I
ilihkan yang sudah tua,
at kela
kan kau cabut pula?"
tarlah
mkan matanya kembali lalu terbayang wajah si perempuan berkebaya encim cokelat muda. Paras gemila
fiiiz!" suara
m sendiri di d
apa kel
kau bilang? Ibu mau
kan kira-kiranya. Oh, alangkah nikmatnya mengisap tembakau setelah makan siang dengan gulai ikan kakap, pikir hatinya sambil jalan keluar kamar. Sampai
etapi,
meninggi suara ibunya m
," Hafiz menggaruk ke
kau jadikan tembaka
jatuhkan lima atau en
ng tua," sahut ibunya kem
tuk gulai ikan satu bu
tuhkan sampai lima-enam biji k
nggulai ikan, sisanya itu dijual
eng-geleng ke
u Abu Nawas,
di pekan. Alahai! Kalau sudah sampai pada tahap semacam itu, alangkah mudahnya menuliskan syair-syair sajak! Hafiz akan sangat merasa kaya, hatinya dipenuhi oleh bahagia tak terhingga bila berhasil menuliskan bait-bait sajak yang mengena di hatinya. Lalu untuk apa? Ya, seringkali ibunya bertanya hal seperti itu-untuk apalah syair-syair tak tentu makna itu?-menyoal waktu yang terbuang percuma, hasil pun tak ada. Ibu Hafiz selalu berkata geram pada anaknya y
ik buah kelapa itu?" teria
i baru mau H
mbat bergerak seperti itu, sudah matilah
ujar Hafiz sambil memacakkan kakinya pada batang kelapa yang sud