Pupus
rnya biarlah dulu menanak nasi, setelah itu barulah menggulai ikan, tapi nasi sudah tanak, kelapa untuk menggulai ikan pun belum turun juga. Hafiz yang disuruh m
, Pangeran!" sindir pere
gang di ambang pintu. Bukan main geram hati Hafiz, sudah naik setinggi ini pun masih juga dibilang lambat? Sambi
iz bukan beruk si
au kalah sama be
engar suara berdebum di tanah-sebutir, dua butir, hinga enam butir bahkan kurang merasa cukup, Hafiz menjatuhkan sebutir kelapa lagi. Mendengar suara berdebum-debum dari belakang rumah berupa tanah luas yang merupakan kebun, ibu Hafiz melongok dari jende
rlambat Ibu menggulai ikan, Pulang pula Ayahmu.
santannya bikin gulai ikan kakap nanti jadi nikmat tak terkira," Haf
u nanti yang memarut," t
" ujarnya sambil berjalan menuju kelapa yang tadi ia lempa
nya Hafiz ingin bersegera pergi meninggalkannya, tapi perempuan berbaju kurung itu terlanjur mengajaknya berbincang. Membicarakan kelakuan Hafiz yang sudah berusia 25 ta
ah kemukakan. Kawinlah, cari ker
mendelik mata Nurima mend
kuk, itu barulah tua na
kerja dan kawin? Terlambat sudah, Hafiz. Itu hal yang m
z te
h sampai bungkuk mau mencari jodoh. Maksud Ha
Cepatlah kau tentuk
maksu
ang cucu," Nurima menyudahi memeras santan kelapa. Ia m
da di sana, melintas sebentar saja. Amboooi! Cantiknya dia, Ibu
Hafiz?" Nurima me
g perempuan berkebaya encim cokelat mud
indir Nurima-ibunya Hafiz-de
ang Hafiz lihat itu memanglah manusi
dadari?" sindir ibunya de
tapi tak mengapa. Semua itu tiada menghilangkan rasa riang gembir
dia, maulah
tapi nanti dulu. Siapa pula perempuan yang dimaksudkannya itu? Baguslah kalau hati Si Hafiz sudah terketuk untuk menikah, alamat bergiatlah anaknya itu mencari pekerjaan kemudian
rempuan i
un tak t
an yang katanya bagai bidadari itu pun, ia tak tahu? Apakah Hafiz hanya bermimpi saja? Atau hanya mengarang cerita
ana rumahnya, anak siapa, lalu apa mau dibuat? Kaw
pasti bertemu lagi
pasti, Fiz. Apa kau tahu
nakut-nakuti Hafi
ut-takuti, kau buk
pergi ke Pekan," Ha
untuk pembeli temba
udah diparut untuk mengambil santannya. Dari dapur ia mendengar suara langkah Hafiz di halaman belakang. Sebenarnya ingin ia mengintip tingkah-polah anaknya ketika memanggu
knya sambil terus meremas-remas dagi
ahutan dari
pergi dulu. As
ah rumah tak akan sesunyi ini. Bolehlah ia mendapatkan kawan-menantu serta cucu-bila Pak Bachtiar dan Hafiz tak ada di rumah. Sayang seribu kali sayang, semua itu hanya angan-angannya saja. Belum tahu kapan semua itu akan menjelma menjadi kenyataan. Hafiz belum lagi ada kemauan untuk menikah. Sekalinya ia berceri