Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
440
Penayangan
51
Bab

Hafiz dan Aina, sepasang kekasih yang saling mencintai. Sayangnya, cinta mereka kandas karena perjodohan yang dilakukan orang tua. Keduanya menolak perjodohan tersebut. Setelah takdir memisahkan, siapa sangka nasib seakan masih ingin mempermainkan kisah mereka lagi. Tiga puluh tahun berlalu, anak-anak mereka bertemu dan jatuh cinta. Gwen dan Arsakha saling jatuh hati dan menjalin hubungan, tapi ketika Arsakha bertemu dengan orangtua Gwen, barulah masa lalu terbongkar. Dulu mama Gwen berpacaran dengan ayah Arsakha dan hubungan itu pupus di tengah jalan. Mengetahui bahwa Arsakha adalah anak lelaki mantan pacarnya dulu, mama Gwen langsung mengusir Arsakha dan tak merestui hubungan Gwen dengan Arsakha. Bagaimanakah kisah cinta Gwen dan Arsakha selanjutnya? Akankah cinta mereka mengikuti jejak orang tuanya atau justru dapat bersatu? Setiap hati yang jatuh cinta, tak ingin kisahnya pupus dan menjadi kenangan belaka ....

Bab 1 Satu

Medan, 1950

***

Sebuah mobil Plymouth hitam bergerak pelan menyusuri jalan, memasuki sebuah kampung bernama Sungai Agul, pada ketika itu sedang Hari Pekan, di mulut kampung ramai sekali orang berjual-beli, di pinggir jalan atau di halaman rumah. Meskipun ada satu-dua toko kelontong, kedai kopi dan kedai pangkas berada di jalan utama memasuki kampung, tapi tidak seramai kalau sedang hari pekan. Orang-orang yang berada di dalam mobil Plymouth hitam memperhatikan dengan tiada jemu-jemunya. Suasana kampung yang berada di pinggiran kota Medan ini, membuat mereka seperti sedang bertamasya saja layaknya.

Tuan Hanafi berkali-kali memberi tahu arah jalan kepada Pak Amat yang menyetir mobil. Sementara itu di bangku belakang duduk dua orang perempuan, Puan Yusra dan Aina-istri dan anak perempuan Tuan Hanafi-mereka terus saja melempar pandang keluar jendela mobil, tapi hanya Tuan Hanafi dan istrinya saja yang asyik berbincang, seperti burung murai sedang berkicau. Sedangkan anak mereka, Aina hanya diam memperhatikan suasana di luar. Sejak semula ia memang enggan untuk mengikut kedua orang tuanya itu-berkunjung ke rumah kawan lama Tuan Hanafi-karena sejak awal, Aina telah menangkap gelagat yang tak biasa dari makna kunjungan itu. Sedikit banyak ia sempat juga mendengar soal perjodohan. Ayah dan ibunya membincangkan keluarga Pak Bachtiar yang katanya punya anak lelaki. Mendengarkan perbincangan kedua orangtuanya, sejak semula Aina sudah menampik usul perjodohan itu.

"Apa kata kau, Aina?" ujar Tuan Hanafi sambil menoleh sedikit ke belakang.

Aina yang sejak tadi asyik melihat-lihat keluar tak segera menjawab pertanyaan ayahnya-ia pura-pura tak mendengar-dan masih saja melempar pandangan keluar jendela mobil.

"Aina, kau dengar Ayahmu tidak?" Puan Yusra-ibunya Aina-menyikut lengan anaknya.

Aina menoleh kepada ibunya dengan air muka seperti orang bodoh. Mulutnya terbuka sedikit. Kemudian daripada itu, ia melempar pandang ke arah Tuan Hanafi yang duduk di depan, di samping Pak Sopir.

"Jawablah Ayah kau itu, Aina," ujar Puan Yusra lagi.

"Apa yang hendak dijawab, Ibu?" Aina mengerutkan keningnya.

"Janganlah seperti kura-kura dalam perahu."

Tuan Hanafi menyindir putrinya. Ia masih terus saja memandang ke depan. Sekarang mobil berjalan agak perlahan karena memasuki Pekan¹ yang sedang ramai-ramainya orang berjual-beli hingga hampir saja menutup jalan.

"Soal usul Ayah kau tentang anak lelaki sahabatnya itu, anak Pak Bachtiar. Apa kata kau, Aina?" terang Puan Yusra. Ia berharap Aina tak bisa berkilah lagi dengan pura-pura tak mendengar.

"Ayah harap kau tak menampiknya. Bukan begitu, Yusra?" ujar Tuan Hanafi kepada istrinya sambil memiringkan sedikit kepalanya seperti hendak menoleh ke belakang, tapi urung dilakukan.

"Iyalah, dulu Abang berkawan dengan Pak Bachtiar, tentu saja Abang sudah tahu seluk-beluk keluarganya. Lazimnya buah jatuh tak jauh dari pohon, begitu jugalah pasti Pak Bachtiar dan anaknya itu," Puan Yusra mengibas-ngibaskan kipas dari anyaman daun pandan--serupa tikar--yang dipegangnya.

"Oh, kalau masalah itu, kau tak usah ragu, Yusra. Bachtiar itu kawan sepermainan Abang, satu sekolah pula dan rumah kami dulu pun berhampiran. Aku dan dia itu seperti lepat dengan daun, macam saudara sudah. Kalau ditanya paras-rupanya? Amboii ... gagah benar ia pada masa mudanya dulu," Tuan Hanafi mengurai kata. Kalau sudah membicarakan kawan lamanya itu, bukan main berapi-apinya ia.

"Anaknya pula bagaimana?" susul Puan Yusra.

Tuan Hanafi terdiam sejenak. Aina berdehem-batuk yang dibuat-buat-mengejek ayahnya yang terdiam. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di tengah jalan, ketika seorang pedagang kambing menyeret kambing-kambingnya menyeberang jalan kecil di tengah Pekan. Kesempatan itu dipergunakan Tuan Hanafi untuk mengomel-pura-pura-menyalahkan penjual kambing yang serampangan menyeberang jalan. Aina berdehem-dehem lagi. Menggoda ayahnya.

"Ibu sudah bertanya, sekarang apa kata Ayah?" ujar Aina melepas geramnya melihat Tuan Hanafi yang tadi begitu berapi-api memuja-muja sahabat lamanya itu.

"Mmm ... memang sudah lama Ayah tak berkunjung ke rumah mereka, dan seingat Ayah, kali terakhir melihat anaknya, si Hafiz waktu ia baru berumur dua atau tiga tahun."

Aina tertawa. Gelak-gelak. Lalu katanya:

"Amboiii ... sudah berpuluh tahun tak bersua, masih ingatkah mereka kepada, Ayah?"

Tuan Hanafi menoleh ke belakang. Memandang putrinya-Aina-dengan saksama.

"Baru sepekan yang lalu, Ayah bertemu dengannya."

"Betul itu, Aina. Hari ahad yang baru lalu, Ayahmu bersua dengan kawannya itu, di Kantor Jawatan Perkebunan," Puan Yusra menguatkan kata-kata suaminya.

Lalu Tuan Hanafi bercerita lagi, tentang kawan lamanya itu dan juga anak lelakinya yang bernama Hafiz. Entah dari siapa asal mulanya, di tengah pertemuan kedua kawan lama itu Tuan Hanafi dan Pak Bachtiar bersepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka. Kemudian diaturlah pertemuan awal untuk saling memperkenalkan Aina dan Hafiz. Maka hari ini diputuskan keluarga Tuan Hanafi yang datang berkunjung lebih dulu.

Mendengar penjelasan ayahnya, bukan main geramnya hati Aina.

"Oh, kita pula yang datang ke rumah mereka, macam sumur mencari timba!" ujar Aina dengan nada suara yang tinggi.

"Tak ada salahnya itu, Aina. Pak Bachtiar yang menganjurkan Ayah untuk datang berkunjung," Tuan Hanafi pula coba menyabarkan Aina.

"Kenapa Ayah mau?!" Aina meradang.

"Kalau kalian jadi menikah, hubungan baik Ayah dan Pak Bachtiar akan berlanjut sampai ke anak cucu. Lagi pula sejak dulu pun kami sudah seperti saudara, tapi alangkah bagusnya kalau hubungan itu dikekalkan dengan pernikahan kalian."

"Alangkah mudahnya Ayah menjodoh-jodohkanku dengan orang yang belum dikenal perangainya?" Aina menampik ucapan Tuan Hanafi.

"Ayah tahulah bagimana perangai kawan Ayah itu."

Aina tersenyum sinis memandangkan Tuan Hanafi.

"Iya, kawan Ayah. Bagaimana pula dengan anaknya?!"

"Kan Ibu sudah katakan tadi, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Aina," Puan Yusra pula berusaha membela-Tuan Hanafi-suaminya.

"Buah tak sama dengan manusia, Bu. Aku tak ingin disangkut-pautkan dengan urusan perjodohan ini. Baiklah aku turun di sini saja," Aina sudah tak bisa menahan geram di hatinya.

Mendengar ucapan Aina, terkejutlah Tuan Hanafi dan Puan Yusra. Serempak mereka memandang Aina. Pak Amat sopir mereka hanya melirik dari kaca spion mobil. Sejak tadi ia sudah banyak mendengar pembicaraan keluarga majikannya itu. Pak Amat pura-pura tak mendengar dan sibuk menyetir mobil.

"Turunkan aku di sini saja, Pak Amat!" perintah Aina.

"Mau apa kau buat di tengah Pekan ini, Aina?" Puan Yusra tahu betul tabiat putrinya itu. Tak bisa dikerasi sedikit pun, kalau sampai hal semacam itu terjadi, alamat Aina akan menentang bukan alang-kepalang.

"Banyak yang bisa dibuat, Ibu. Lihatlah sekarang hari Pekan, ramai orang berjual-beli. Mungkin ada satu-dua barang yang kuperlukan, tak payah lagi besok-besok Pak Amat mengantarkanku berbelanja di Kesawan,²" ujar Aina berkilah.

Tuan Hanafi pula lebih mafhum akan tabiat putri tunggalnya itu. Sudahlah perajuk, ia juga tak sungkan menentang kalau ada sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan hatinya. Maklum saja, Aina itu anak satu-satunya. Selalu dimanja dan diperturutkan apa pun kehendaknya. Sekarang mati kutu-lah Tuan Hanafi dan Puan Yusra menghadapi Aina. Pak Amat pula jadi tak tentu apa yang hendak dilakukan. Mau mengikuti perintah Aina, ia segan kepada Tuan Hanafi.

"Berhenti di sini saja, Pak Amat!" ujar Aina sekali lagi.

Pak Amat menoleh kepada Tuan Hanafi yang duduk di sampingnya. Ia tak berani bertanya-mobil masih saja berjalan pelan, sebentar lagi mereka akan melewati Pekan yang ramai-dan hanya menunggu perintah majikannya saja untuk menghentikan laju mobil.

"Turunkan aku di sini, Pak Amaaat!" Aina menyergah. Ia semakin meradang.

Pak Amat terkejut bukan kepalang. Ia menoleh sekali lagi kepada majikannya-Tuan Hanafi-seolah meminta persetujuan untuk mengikuti perintah Aina. Bukannya Tuan Hanafi menangkap maksud sopir pribadinya itu, melainkan ia berusaha menyabarkan putrinya.

"Tak baik dilihat orang, anak perempuan berjalan seorang diri, Aina," Tuan Hanafi membujuk putrinya.

"Apa peduliku, Ayah. Lagi pula ini kan masih siang hari, bukannya malam!"

Puan Yusra tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Aina.

"Kalau kau tak ingin bersua, baiklah menunggu di dalam mobil saja. Tak usah masuk ke rumah kawan Ayah kau itu, tapi jangan minta turun di sini, Aina."

"Tidak, Ibu. Apa kata mereka seandainya tahu aku bersembunyi di dalam mobil? Sudahlah tak perlu kita berpanjang kata lagi. Pak Amat, apa harus aku sendiri yang melompat dari mobil ini?!" Aina menggertak.

Karena takutnya ia, Pak Amat pun langsung menepikan mobil tanpa meminta persetujuan majikannya lagi-kini mobil mereka sudah keluar sedikit dari hiruk-pikuk orang berjual-beli, di sekitar Pekan tadi. Lalu dengan cepatnya Aina membuka pintu, kemudian turun di pinggir jalan. Sebelum menutupkan pintu mobil ia pun berkata:

"Ayah dan Ibu, tak usah risaukan Aina. Nanti setelah selesai berkunjung ke rumah kawan lama Ayah itu, jemputlah aku di Pekan ini," Aina terdiam sejenak. Ia memalingkan kepala ke kiri dan kanan. Melihat-lihat sekitarnya.

"Oh, di sana. Di depan kedai dobi³ atau di kedai kelontong⁴ itu."

Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Tuan Hanafi dan Puan Yusra. Kalau sudah anak mereka punya mau, muskil rasanya untuk menolak. Kemudian Tuan Hanafi menggerakkan kepalanya sebagai isyarat kepada Pak Amat untuk menjalankan mobil kembali. Aina tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah mobil Plymouth hitam yang bergerak menjauh. *

*keterangan:

1.Pasar

2. Pusat Kota

3. Laundry

4. Barang pecah belah

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku