Pupus
datang semula, tapi sampai di dekat kedai-penjual tembakau-Babah Liong, ia berhenti. Agaknya ada sesuatu yang ingin dicarinya. Sosok lel
an di hatinya. Lain sekali dengan lelaki yang tadi menyapanya dari kedai kopi. Lagak dan gayanya sangatlah sopan dan tak ada sedikit pun terkesan hendak menggoda. Aina terpesona juga dengan lelaki itu, tapi apa ia punya nama? Aih! Bersemu merah wajahnya, malu hati pada diri sendiri. Mengangankan lelaki yang belum ia kenal, tak tahu pula asal-muasalnya. Aina masih berdiri di dep
mpat ini jadi ramai. Bagus juga untuk mencuci mata, itulah sebab ia singgah di kedai kopi Pak Badrun. Memang rumahnya tak berapa jauh dari Pekan. Ia cukup berjalan kaki saja, tak sampai tiga puluh menit. Lagi pula untuk apa pulang cepat, di rumah pun pening kepala. Ayah dan ibunya selalu menegur, menasihati, bahkan menunjuk-nunjuk mukanya, supaya hidup l
u. Satu-dua pedati melintas di jalan yang masih berupa tanah, warna kuning kecokelatan. Ada juga bebera
lelaki itu berkata seraya du
las es doger dengan tapai berwarna putih yang rasanya enak. Baginya hidup itu diselenggarakan dengan cara sederhana saja. Tak perlu risau pada kedudukan dan harta. Jiwa dapat bebas berkelana sesuka hati. Tidak pernah takut akan hilang-kehilangan dan punya tak b
rsedia menjadi kacung, pesuruh di jawatan negara. Apalagi perusahaan milik perseorangan. Baginya kalau kita sudah bekerja pada satu jawatan negara atau perusahaan perseorangan, itu namanya sudah teken mati. Tak ada kebebasan lagi. Dari pagi sampai petang habis tersita waktu untuk bekerja. Waktu kita sudah dibeli! Ia lebih suka menulis syair-syair-membacakan sajak-sajaknya pada acara-acara kesenian. Saban hari kerjanya hanya berjalan sesuka hati, sekali waktu ia numpang tidur di rumah kawan, lain waktu tertidur pulas di e
emikirkan perempuan. Memang aku tak boleh luput dari makhluk yang bernama perempuan, tapi bila harus menaklukkan diri pada pekerjaan, karena itulah syarat untuk bisa menghidupi anak-bini, sangatlah risau
" ujar Si Lelaki mengalihkan ris
aya lim
gan seorang bini, hanya berjualan es doge
g mengatur, Tuan. Asa
doger itu membangkitkan rasa malu di hati. Ia tersen
Rejeki sudah ada yang mengatur," ujar
ah pohon ketapang. Sambil melayani kedua anak kecil itu, penjual e
eorang pegawai. Beke
dalam cangkirnya, lalu meletakkan ua
potongan jadi pegawai?"
jut. Ia memandangi Si
nya
u menoleh
," jawabnya
ar?" seru penjual es
belum lagi seperti beliau
tapi Tuan adalah p
m pernah masuk surat kabar," lelaki itu menyeringai sedikit