Bukan Takdirku Mati Dalam Api
Hasan
ku serak tapi t
a. "Syukurlah, Nak. Ibu sudah sangat rindu. J
un, Dzaki adalah duniaku. Setiap langkah, setiap keputusan, selalu tentang dia. Dia adalah bint
golok-olok kebodohanku. Matanya yang dingin ketika membicarakan "rencana" mereka. "Mencampakka
s jantungku. Aku memejamkan mata, menahan rasa sakit yang
nyaris tak terdengar. "Aku dan
angit kelabu di atas Labuan Bajo seolah mencerminkan perasaanku. Angin berembus kencang, menusuk
a, perpaduan kayu cendana dan sedikit tembakau, menyambutku saat aku membuka pintu. Aroma yang du
taan. Dia tersenyum padaku, memegang tanganku, mengatakan bahwa dia ingin selalu ada untukku. Aku membay
pakah dia benar-benar mencintai Rosa? Atau Rosa juga hanyalah bagian dari permainannya? Tidak, itu tidak mungkin. Dza
ku. Setiap benda terasa berat, penuh kenangan yang kini beracun. Aku menemuka
h cinta, harapan, dan kebodohan. Kutulis setiap kencan kami, setiap ciuman, setiap janji manrkan ini ada lagi. Dengan tangan gemetar, aku merobek setiap halaman, lalu memasukkannya ke dalam kantong sampah. Bersa
tar di pintu. Jantungku
n keranjang berisi barang-barangku di samping. Topeng se
nyanya, suaranya ten
ang yang tidak penting,"
a kau tidak menemuiku di rumah
k berjemur di bawah matahari dan mendapatkan simpati." Aku tidak tahu harus memakai eks
yentuh pipiku. "Kau ini kenapa? Ap
tuhannya kini terasa menji
enatapku tajam. "Ada apa
iku berteriak. "Apa yang kau harapkan, Dzaki? Aku harusnya tetap me
akan aura kegelisahan darinya, seolah dia takut aku
dia mengerti segalanya. "Aku... aku akan mengadakan pesta
gar, dia masih berani mengajakk
u," jawabku, suaraku seten
senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum kemenangan.
ya. "Nanti mal
ya. Aku tahu dia merayakan kemenangannya. Dia pikir aku masih bodoh, masih dala
cintaku yang hancur. Aku akan membuangnya, dan aku akan membuangn
bau laut yang asin. Badai akan datang. Dan saat badai itu tiba, aku akan memastik
da diri sendiri, "Kau akan tah