Karena kejadian memilukan yang menimpa ibunya, Puti Bungo Satangkai terlahir prematur, bisu, dan hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja. Meski demikian, berkat ketelatenan Inyiak Mudo yang menemukannya di lembah Ngarai Sianok dan merawatnya, dia tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan menguasai silat serta kesaktian. Bungo besar dan mendapat pengajaran Inyiak Mudo di sebuah pulau kecil, di lepas pantai barat Andalas, bernama Pulau Sinaka. Setelah kematian Inyiak Mudo dalam pertarungannya dengan Inyiak Gadih, Bungo akhirnya meninggalkan Pulau Sinaka menuju daratan utama Andalas melalui pelabuhan Bandar Bangkahulu. Berbekal sebuah liontin berbentuk satu kelopak teratai pemberian Inyiak Mudo, Bungo memulai pencarian atas jati dirinya. Langkah membawa pertemuannya dengan si Kumbang Janti, salah satu Hulubalang Kerajaan Minangatamvan. Dari si Kumbang Janti, Bungo mengetahui bahwa liontinnya itu adalah satu bagian dari tujuh kelopak Teratai Abadi, pusaka Kerajaan Minanga yang telah lama menghilang. Petunjuk-petunjuk yang didapat Bungo mengarah ke kerajaan yang sama. Maka, dia memutuskan untuk pergi bersama si Kumbang Janti menuju Istana Minanga di Batang Kuantan. Di Istana Minanga, Bungo justru terseret kasus asusila bersama si Kumbang Janti yang dituduhkan oleh si Balam Putiah kepada mereka. Meski demikian, Bungo tetap tenang dan mampu menyelesaikan permasalahan itu, meski harus mengalahkan Halimunan, pasukan rahasia penjaga Raja Minanga, Rajo Mudo. Di sini pula terungkap bahwa Bungo ternyata adalah keturunan Sialang Babega bersama Zuraya, dan dia memiliki seorang abang yang sakti bernama Mantiko Sati. Semua itu bersangkut-paut dengan liontin miliknya yang sejatinya adalah milik Sialang Babega, dan Sialang Babega mendapatkan kelopak Teratai Abadi itu dari tangan Datuak Rajo Tuo, Raja Minanga dua generasi sebelumnya. Dengan kata lain, Bungo adalah keturunan seorang yang terpandang dan dekat dengan istana. Terlebih lagi, Ratu Nan Sabatang adalah tetangga keluarganya semasa dahulu. Dari sinilah pertualangan Bungo memasuki masa yang lebih kejam dan menyakitkan. Demi memenuhi keinginan Rajo Mudo, mengumpulkan semua kelopak Teratai Abadi, Bungo harus berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti Tanah Andalas, bahkan hingga ke Selat Malaka. Dalam perjalanannya menemani Bungo, si Kumbang Janti yang mencintai Bungo justru tewas. Namun cinta Bungo bukanlah kepada si Kumbang Janti, melainkan kepada Antaguna, seorang pimpinan Penjahat Berbaju Hitam. Sebab Antaguna juga mencintai Bungo, maka ia rela meninggalkan dunia hitamnya dan berjuang bersama sang gadis demi berbakti pada kerajaan. Di akhir perjalanannya mengumpulkan kelopak Teratai Abadi, Bungo akhirnya bertemu dengan satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki, Mantiko Sati. Dan kala itu, Mantiko Sati yang beristrikan Ratu Mudo, pemimpin Minangatamvan sebelum Rajo Mudo, hidup dengan mengasingkan diri dari keramaian. Selesai dengan urusan istana, Bungo dan Antaguna menikah di Pulau Sinaka.
Inyiak Mudo harus menghentikan semadinya. Suara-suara halus yang berbisik ke dalam hati dan pikirannya cukup mengganggu meditasi yang telah ia mulai semenjak beberapa purnama yang lalu. Meditasi yang sesungguhnya tidak akan mungkin diganggu oleh orang lain sebab ia tinggal nun di sebuah pulau kecil nan terpencil.
Pulau Sinaka, sebuah pulau yang berada di lepas pantai sebelah barat Pulau Swarnadwipa yang bermakna Pulau Emas. Atau setidaknya, begitulah kata para pedagang dari Gujarat dan Tiongkok Selatan.
Namun, penduduk yang mendiami pulau besar itu lebih mengenal daratan tersebut dengan nama Andalas-kelak, nama itu akan berganti menjadi Sumatra.
"Ada apakah gerangan?" gumam Inyiak Mudo setelah ia membuka matanya."Mengapa suara-suara tak berwujud itu mengiang-ngiang dalam pikiranku?"
Dan ketika ia memutuskan untuk berdiri, barulah terlihat bahwa pria yang berperawakan seperti seorang yang sudah berusia 70 tahun itu cukup pendek, hanya memiliki tinggi sekitar satu tombak saja, ukuran kira-kira 1,5 meter.
Hanya saja, wajah itu memiliki kulit seperti kulit bayi, halus dan kemerah-merahan meski kumis dan jenggot menyatu menjadi cambang yang lebat berwarna keabu-abuan, begitu juga dengan rambutnya yang sebahu itu.
Tidak ada yang tahu usia pria tersebut yang sebenarnya, itu juga alasannya orang-orang lebih mengenal dia dengan julukan Inyiak Mudo.
Inyiak Mudo berdiri hening dengan kedua tangan berada di belakang pinggangnya. Wajah yang menengadah itu terlihat tidak terlalu tenang, dengan mata terpejam, di tepian pantai. Cambang dan rambutnya riap-riapan dipermainkan angin malam.
'Duhai para Dewa dan Dewi si Suwarga,' bisik hati kecilnya, 'gerangan apakah yang Kalian pertandakan padaku?'
Ia membuka matanya, memandangi cakrawala malam yang bertabur bintang gemintang laksana butiran-butiran berlian di pasir hitam. Sesaat, Inyiak Mudo menghela napas lebih dalam sebelum tatapannya tertuju ke seberang lautan. Bayangan tipis dari Pulau Andalas sedikit memberi petunjuk pada dirinya, tentang bisikan-bisikan tak berwujud yang mengganggu semadinya tadi.
Tidak mungkin untuk mengulang semadi yang telah terganggu itu, akan membutuhkan sesuatu prosesi untuk memulainya lagi. Jadi, Inyiak Mudo memutuskan untuk tidur-tidur ayam[2] saja sembari menunggu fajar menyingsing.
Akan tetapi, Inyiak Mudo justru benar-benar tertidur dengan posisi miring ke kanan. Dan kembali suara-suara gaib itu menggoda mimpinya. Dan kembali ia terjaga.
Pria tua sama sekali tidak paham dengan suara-suara dalam mimpinya itu. Masalahnya, tidak ada kata-kata yang jelas yang bisa ia ingat. Hanya suara-suara berbisik halus yang lebih sering terdengar seperti suara tawa seorang bayi, atau rintihan kesakitan dari seorang wanita.
"Rasian macam apa pula ini?" gumam Inyiak Mudo setelah bangun dari tidurnya.
Di awal pagi itu, Inyiak Mudo akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Pulau Sinaka. Dengan menaiki sebuah sampan kecil, ia mendayung menuju daratan utama Andalas.
Meski pria tua dan pendek itu mendayung dengan begitu santai tanpa terlihat terburu-buru, namun sampan itu justru meluncur sangat cepat di permukaan laut yang cukup berangin di pagi ini.
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Inyiak Mudo untuk bisa mencapai daratan utama Andalas meski hanya dengan sebuah sampan kecil. Ia sudah melihat keramaian dari sebuah bandar di tepi laut, namun ia memilih untuk melabuhkan sampannya di sisi kanan dari bandar tersebut.
Bandar itu bernama Bangkahulu, kelak akan menjadi sebuah ibukota penting bagi Provinsi Bengkulu.
Setelah berlabuh dan menambatkan perahunya di satu titik di antara kelebatan tanaman di tepi laut, Inyiak Mudo meneruskan tujuannya dengan berjalan kaki.
Yah, meskipun tidak bisa disebut sebagai berjalan sebab kenyataannya, pria tua seolah seekor burung yang terbang dengan sangat ringannya, melesat ke arah utara. Ia sengaja mengambil jalur di antara kerapatan pepohonan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Menjelang tengah hari, Inyiak Mudo telah sampai di kawasan Bukik Siriah, secara harfiah berarti Bukit Sirih. Kawasan itu berada di ujung utara sisi barat Ngarai Sianok. Di sana, terdapat sebuah goa alami yang tidak terlalu besar.
Hanya ada satu orang saja yang mendiami goa itu, dan orang itulah yang sekarang akan ditemui oleh Inyiak Mudo.
Dia adalah seorang wanita sepuh yang sama tuanya seperti Inyiak Mudo sendiri, bernama Sabai Nan Manih. Hanya saja, sebagaimana dengan Inyiak Mudo, wanita itu pun memiliki kulit wajah selayaknya kulit bayi yang halus dan kemerah-merahan. Rambutnya pun telah hampir memutih keseluruhannya.
Di dalam goa itu Sabai Nan Manih yang kecantikan masa mudanya masih membayang jelas di wajahnya itu dalam kondisi bersemadi. Duduk bersila dengan tenang di atas sebuah bongkahan batu.
Inyiak Mudo berhenti sejenak di depan mulut goa, ia menghela napas lebih dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk memasuki goa tersebut. Ia sedikit tersenyum ketika melihat wanita sepuh itu duduk dengan sangat tenang.
Bab 1 Rasian
26/02/2024
Bab 2 Makna yang Lebih Dalam
26/02/2024
Bab 3 Suami-istri yang Selalu Berseteru
26/02/2024
Bab 4 Takdir Pertemuan
26/02/2024
Bab 5 Bayi yang Menolak Mati
26/02/2024
Bab 6 Puti Bungo Satangkai
26/02/2024
Bab 7 Alasan yang Tepat
26/02/2024
Bab 8 Rahasia di Balik Liontin
26/02/2024
Bab 9 Setipis Kulit Ari
26/02/2024
Bab 10 Kedatangan yang Mengejutkan
26/02/2024
Bab 11 Tak Lagi Terhindari
26/02/2024
Bab 12 Api dan Air
27/02/2024
Bab 13 Menjadi Wadah
27/02/2024
Bab 14 Satu Kesatuan
27/02/2024
Bab 15 Sehidup Semati
27/02/2024
Bab 16 Perpaduan yang Menguntungkan
27/02/2024
Bab 17 Si Cantik yang Bisu
27/02/2024
Bab 18 Menuju Singkarak
27/02/2024
Bab 19 Bukan Hantu Bukan Manusia
27/02/2024
Bab 20 Penjahat-Penjahat Rendahan
27/02/2024
Bab 21 Gelagat Aneh
27/02/2024
Bab 22 Sedikit Kecurigaan
27/02/2024
Bab 23 Hubungan yang Pelik
27/02/2024
Bab 24 Ayah dan Anak yang Konyol
27/02/2024
Bab 25 Dusun yang Damai
27/02/2024
Bab 26 Kebaikan yang Tulus
27/02/2024
Bab 27 Kawanan Berbaju Hitam
27/02/2024
Bab 28 Penyerang Misterius
12/03/2024
Bab 29 Caping dan Jubah
12/03/2024
Bab 30 Pendekar Wanita
13/03/2024
Bab 31 Aroma Menggiurkan
13/03/2024
Bab 32 Kesempatan Kedua yang Disia-siakan
14/03/2024
Bab 33 Mengolah Raga
14/03/2024
Bab 34 Lawan Sepadan
15/03/2024
Bab 35 Jaring Jerat Naga
15/03/2024
Bab 36 Tangkapan Besar
16/03/2024
Bab 37 Pelampiasan
16/03/2024
Bab 38 Hal yang Berbeda
17/03/2024
Bab 39 Rumah di Dalam Tebing
17/03/2024
Bab 40 Sifat yang Aneh
18/03/2024
Buku lain oleh Minang KW
Selebihnya