/0/3490/coverorgin.jpg?v=b5edca869de86ef256eadbf2aab416b7&imageMogr2/format/webp)
Pagi itu, suasana di rumah Dinda terasa tenang. Burung-burung berkicau riang di halaman, dan matahari mengintip malu-malu dari balik awan tipis. Leo berdiri di depan pintu rumah calon istrinya, merasa sedikit gugup. Hari itu adalah kesempatan terakhirnya untuk bertemu dengan keluarga Dinda sebelum pernikahan mereka yang tinggal menghitung hari.
Setelah beberapa saat, pintu terbuka, dan Bu Mela menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Oh, Leo. Silakan masuk. Dinda masih di kamar mandi, tapi sebentar lagi selesai," ujar Bu Mela sambil mempersilakan Leo duduk di ruang tamu.
Leo merasa sedikit canggung, tapi dia berusaha menjaga sikapnya. Setelah beberapa menit, mereka mulai berbicara ringan, membahas persiapan pernikahan yang semakin dekat. Leo merasa lega karena semuanya tampak berjalan lancar.
Namun, suasana berubah saat Bu Mela tiba-tiba berhenti berbicara dan menatap Leo dengan sorot mata yang tajam.
"Leo," ucap bu Mela dengan suara yang lebih serius.
"Ada satu hal yang ingin Ibu bicarakan denganmu sebelum kalian menikah," tambahnya.
Leo merasa ada sesuatu yang ganjil, tapi dia mengangguk, menunggu Bu Mela melanjutkan.
"Sebenarnya, Ibu ingin meminta sesuatu darimu," ujar Bu Mela, suaranya sedikit bergetar, namun tetap tegas.
"Ibu tahu ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi Ibu butuh kasih sayang, Leo. Ibu ini kan seorang janda, dan setelah ibu bercerai, Ibu merasa sangat kesepian," imbuhnya, sorot matanya penuh harap.
Leo menelan ludah, tidak yakin dengan arah pembicaraan ini.
Bu Mela melanjutkan,"Ibu ingin kamu berbagi jatah malam nanti setelah pernikahan kalian. Ibu butuh kepuasan yang hanya bisa diberikan oleh seorang lelaki. Kalau kamu menolak, Ibu tidak akan merestui pernikahanmu dengan Dinda sampai kapanpun!"
Kalimat itu menghantam Leo seperti petir di siang bolong. Dia terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdegup kencang, dan pikirannya berputar-putar mencari cara untuk mengatasi situasi ini. Bagaimana mungkin Bu Mela, ibu dari calon istrinya, bisa meminta hal seperti itu?
Leo memandang Bu Mela, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Tapi yang dia lihat hanyalah keseriusan yang tidak bisa dia abaikan. Dia tahu bahwa menolak berarti membahayakan pernikahannya dengan Dinda, tetapi menyetujui permintaan itu terasa seperti sebuah pengkhianatan besar.
Setelah beberapa saat, Leo akhirnya mengangguk perlahan, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.
"Tapi, Bu. Bagaimana mungkin aku harus melakukan itu?" Leo menatap dengan raut wajah kebingungan.
"Iya itu syarat jika kamu benar-benar ingin menikah dengan Dinda. Jika tidak, maka jangan harap kamu bisa menikahinya!" Bu Mela sedikit tegas.
Leo terdiam sejenak memikirkan.
"Baik lah, Bu," ucap Leo pelan dengan suara yang bergetar.
"Aku akan menyetujui itu," imbuhnya, meski hatinya berkata lain.
Bu Mela tersenyum, tampak puas dengan jawaban Leo.
"Bagus, Leo. Ibu tahu ini tidak mudah, tapi Ibu percaya kamu adalah lelaki yang bertanggung jawab," ujar Bu Mela, sorot matanya berbinar-binar.
Leo hanya bisa tersenyum kaku, hatinya berteriak menentang keputusannya sendiri. Tapi dia tahu, demi Dinda, dia harus menjalani apa yang telah dia setujui, meskipun dengan hati yang penuh kebingungan dan ketidakpastian.
Leo duduk dengan perasaan campur aduk setelah percakapan yang baru saja terjadi. Dia merasa berat dengan apa yang baru saja disepakatinya, namun di sisi lain, bayangan tentang Bu Mela, yang meski usianya sudah mencapai 40 tahunan, masih terlihat cantik dan memiliki tubuh yang montok, terus menghantui pikirannya. Bu Mela memang merawat dirinya dengan baik, dan Leo tidak bisa menyangkal bahwa ada daya tarik fisik yang kuat pada wanita itu. Namun, meskipun begitu, gagasan untuk melakukan hal seperti itu dengan ibu dari calon istrinya terasa sangat salah.
Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa merusak rencana pernikahannya dengan Dinda. Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, langkah kaki terdengar dari arah tangga. Dinda turun dengan senyum manis di wajahnya, mengenakan pakaian sederhana yang membuatnya tampak semakin cantik di mata Leo.
"Dinda, sayang, kamu sudah selesai?" Bu Mela menyapa putrinya dengan senyuman yang tampak sama sekali tidak mencerminkan percakapan mereka sebelumnya.
"Iya, Mah" jawab Dinda sambil melirik Leo.
"Sayang, sudah lama nunggu, ya?" Dinda kemudian berjalan mendekat dan duduk di samping Leo.
Leo segera menanggapi dengan senyum yang dipaksakan agar tampak senatural mungkin.
"Nggak, kok. Baru aja kok, sayang," jawab Leo dengan nada ceria yang berusaha menutupi kegelisahannya. Dia mencoba menghindari tatapan Bu Mela yang seakan-akan masih bisa merasuki pikirannya.
Leo tahu dia harus segera keluar dari situasi ini sebelum pikirannya terjerat lebih jauh dalam kekacauan yang baru saja terjadi.
"Sayang, gimana kalau kita jalan-jalan sekarang? Ada tempat yang pengen aku tunjukin ke kamu," ucap Leo berharap bisa mengalihkan perhatian Dinda dari rumah dan dari ibunya.
Dinda terlihat sedikit terkejut tapi senang,"Boleh. Kemana kita?"
/0/19871/coverorgin.jpg?v=650f278950747ebb8b51638628ad7b20&imageMogr2/format/webp)
/0/26438/coverorgin.jpg?v=a62374ef56376f88395da900a2247285&imageMogr2/format/webp)
/0/2537/coverorgin.jpg?v=8d6c7bd2c5e38486d959121ebebe2a89&imageMogr2/format/webp)
/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
/0/17140/coverorgin.jpg?v=9116f11934ba3241336420f79b9c0f06&imageMogr2/format/webp)
/0/4383/coverorgin.jpg?v=f8992cfee7dd0fd8f7f126b008b47a08&imageMogr2/format/webp)
/0/3905/coverorgin.jpg?v=80685fced6d4403a026d3d4bb7660cff&imageMogr2/format/webp)
/0/5325/coverorgin.jpg?v=a9836def2a9e7aa6ec6273032028da59&imageMogr2/format/webp)