Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
“Sus, bagaimana keadaan Ibu saya? Apa ada perkembangan?” tanya Hanna ketika dirinya baru saja sampai di sebuah rumah sakit tempat ibunya dirawat.
“Bersyukur untuk saat ini ada sedikit perkembangan, Bu Hilda juga tidak mudah marah-marah dan sedikit bisa mengontrol emosinya. Tapi, itu tidak berlangsung lama, karena terkadang Bu Hilda sering menangis dan marah-marah tanpa sebab. Dan jika semakin lama dibiarkan ia membant*ng seluruh barang yang ada di sekitarnya,” jelas salah satu Suster yang menjaga ibu Hanna.
Hanna mengangguk dan tersenyum. “Boleh saya melihat keadaannya sekarang?”
“Boleh, Mbak, mari!”
Hanna masuk mengikuti suster di depan nya, baru beberapa langkah saja Hanna sudah melihat wajah sang ibu yang sedang terdiam dengan pandangan mata yang menerawang jauh entah kemana.
“Ibu, Hanna datang untuk menjenguk ibu,” ucap Hanna. Gadis itu mencoba mendekat.
“Mbak, saya permisi dulu ya. Kalau ada apa-apa hubungi saja,” ucap Suster dengan undur diri.
Hanna hanya mengangguk tanpa menoleh dan mengalihkan pandangannya dari Hilda— ibu kandung Hanna.
Hanna Septia Maharani, dia adalah gadis cantik dengan kulit berwarna kuning langsat. Umurnya baru genap 20 tahun pada bulan September lalu.
Setelah lulus sekolah, Hanna memutuskan untuk bekerja dan mencari uang sendiri. Ya, walaupun harta orang tuanya bergelimangan dan dia hanya anak semata wayangnya Hilda dengan Rama Bhaskoro, tapi tidak membuat Hanna menjadi anak yang manja. Apalagi setelah kondisi Bu Hilda seperti saat ini.
Hilda Maharahi, wanita paruh baya yang memiliki usia 43 tahun. Di umurnya yang sudah berkepala 4, Hilda masih terlihat sangat cantik, walaupun wajahnya pucat masa dan warna kulitnya kusam.
Namun, sangat disayangkan jiwanya terganggu setahun belakangan ini. Maka dari itu, agar tidak membahayakan Rama— Papa Hanna memutuskan untuk membawa Hilda ke salah satu RSJ di kota ini.
“Ibu sudah makan?” tanya Hanna dengan lembut, ia begitu perhatian kepada ibunya dan terus menatapnya dengan tatapan sendu.
Wajar saja, Hanna merasa kasihan kepada Hilda. Ibu yang dulu selalu menyambutnya dengan tersenyum lebar bahkan kini hampir tidak mengenalinya.
Hanya menggenggam tangan Hilda sehingga wanita paruh baya itu menoleh dan tersenyum simpul ke arahnya.
Senyuman yang tulus meski tatapannya terasa kosong, Hanna sangat yakin bahwa suatu saat nanti Hilda akan kembali kepada sediakala.
Ibu Hana menjawabnya dengan mengangguk. “Kamu?” tanya balik Hilda.
“Hanna juga sudah makan tadi … Emm, Ibu mau jalan-jalan?” tawar Hanna.
"Apa aku boleh pergi?"
"Tentu saja, aku akan membawa ibu kemanapun ibu mau," ujar Hanna.
"Kalau begitu bisakah kamu membawa aku keluar?"
"Aku ingin bertemu dengan anakku," sahut Hilda yang nampak linglung.
"Aku anak ibu ..." jelas Hanna.
"Tidak, anakku. Dia masih kecil meski kalian sama cantik, tapi kamu bukan anakku!" sangkal Hilda yang mulai mengamuk.
Jelas semua itu membuat Hanna merasa sakit saat melihatnya, siapa yang tidak merasakan sakit saat ibu kandungnya sendiri tidak bisa hidup normal bersamanya.
"Dengar Hanna ibu, Ibu bisa bertemu dengan anak ibu, jika ibu menuruti ucapanku dan suster.”
"Ibu paham, maksud Hanna'kan?" tanya Hana menatap pekat ibunya.
"Ya ..."
Mendengar jawaban Hilda, Hanna langsung membawa sang Ibu keluar dari kamar.
Rumah sakit ini begitu luas, bahkan di depannya terdapat taman yang begitu cantik. Maka dari itu, Hanna mengajak Hilda untuk menikmati suasana taman.
Di luar memang banyak sekali orang-orang dengan gangguan mental, tapi tidak membuat Hanna takut sedikitpun. Justru, Ia merasa sedih dan memikirkan bagaimana perasaan keluarga mereka.
“kita duduk di sini, Bu,” ucap Hanna, Ia menuntun ibunya untuk duduk.
Mereka berdua duduk di salah satu kursi taman, beberapa saat mereka sama-sama hening. Tapi, tatapan mata Hanna tidak pernah lepas dari wanita yang telah melahirkannya 20 tahun lalu.
“Ibu mau roti coklat?” Hanna menyodorkan satu bungkus roti coklat dari tasnya.
Ia tahu jika Hilda sangat menyukai roti coklat, apalagi roti coklat buatan tetangga mereka.
“Makasih,” ucap Hilda.
“Ibu cepet sembuh ya, biar nanti kita bisa sama-sama lagi makan roti coklat di rumah. Terus kita pesan yang banyak sama Mbak Mira dan kita makan hangat-hangat,”
Hilda hanya mengangguk, dia terus memakan roti coklat itu dengan lahap. Membuat Hanna tersenyum senang.
“Ibu suka?” tanya Hanna. Tangannya terulur untuk mengambil lelehan coklat di sudut bibir Hilda.
“Suka!” jawab Hilda bersemangat.
Walaupun hanya satu dua kata, tapi setidaknya Hilda selalu merespon ucapan Hanna. Dan itu membuat Hanna senang, karena artinya keadaan Hilda memang sedikit membaik.
Sebenarnya semenjak Hilda di bawa ke rumah sakit ini, keadaannya justru semakin parah. Tapi, melihat kondisinya sekarang Hanna yakin jika ibunya akan sembuh.