/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
Hujan malam itu turun deras, mengguyur halaman depan rumah megah keluarga Elmore di kawasan elit Zurich. Langit tampak seperti disobek petir, menggema berulang kali, seolah menandai datangnya kutukan bagi keluarga yang selama ini dianggap tak tersentuh hukum dan moral.
Mobil hitam berderet di jalanan basah, menyalakan lampu tembus hujan. Tubuh-tubuh berpakaian hitam keluar, langkah mereka tegas, bersenjata, dan tanpa suara. Di antara mereka, sosok tinggi dengan jas panjang berwarna arang berjalan paling depan-tatapannya tajam, dingin, dan penuh kebencian.
Rafael Von Ardent.
Wajahnya tak menampakkan emosi sedikit pun. Hanya kilatan samar di matanya yang menunjukkan bahwa malam ini bukan sekadar operasi biasa. Ini malam balas dendam-malam yang telah ia rencanakan selama dua tahun sejak kekasihnya, Elara, tertembak dan koma karena ulah keluarga Elmore.
"Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup," ucap Rafael datar tanpa menatap anak buahnya.
"Siap, Tuan," sahut lelaki di sampingnya, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh langit.
Rafael melangkah ke pintu utama rumah Elmore yang dijaga dua pria bersenjata. Namun sebelum mereka sempat bereaksi, dua peluru menembus dada mereka. Tubuh penjaga itu roboh, sementara Rafael hanya lewat begitu saja, menapaki lantai marmer putih yang kini berlumur darah.
Dendam yang ia simpan bukan sekadar ingin melihat keluarga itu menderita-ia ingin mereka merasakan kehilangan yang sama seperti dirinya. Kehilangan seseorang yang dicintai.
Ia sudah menunggu terlalu lama untuk malam ini.
Suara langkah kaki cepat terdengar dari lantai dua. Rafael mendongak, matanya bertemu dengan sosok perempuan bergaun sutra biru yang berdiri di tangga dengan tubuh gemetar.
Lyra Elmore.
Gadis itu tampak seperti lukisan yang dipaksa hidup di dunia yang kejam-kulitnya pucat, rambut cokelat muda menjuntai acak karena ketakutan. Namun di balik ketakutannya, Rafael bisa melihat sesuatu di mata Lyra: keberanian yang tidak seharusnya ada di situasi seperti ini.
"Siapa kau?" tanya Lyra dengan suara bergetar, namun ia tidak berlari. Tangannya memegang pegangan tangga erat-erat, berusaha menahan diri agar tidak pingsan.
Rafael menaikkan dagunya sedikit. "Orang yang keluargamu seharusnya tidak pernah ganggu."
"Kalau kau datang untuk uang, kau tidak akan dapatkannya. Ayahku tidak akan menyerah pada ancaman-"
"Ini bukan tentang uang." Rafael memotong dingin. "Ini tentang darah."
Nada suaranya membuat Lyra menelan ludah. Ia tahu persis apa maksudnya. Sebelum ia sempat berbalik, dua pria berpakaian hitam muncul dari belakangnya, menodongkan pistol.
"Jangan sentuh dia," perintah Rafael cepat. "Dia tidak boleh terluka."
Tatapan Lyra membulat, campuran bingung dan takut. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Rafael menatapnya lama. "Kau akan tahu nanti."
Dan malam itu, Lyra Elmore dibawa keluar rumah yang menjadi tempat masa kecilnya. Hujan menelan suara jeritannya, dan ketika mobil hitam melaju menjauh, rumah besar keluarga Elmore sudah mulai terbakar di belakang mereka.
Udara di The Black Fortress dingin dan berat, seperti tempat itu menolak kehangatan apa pun. Kastil modern itu berdiri di puncak tebing Swiss, jauh dari pemukiman, dikelilingi hutan pinus dan kabut yang tak pernah hilang. Tempat persembunyian, tempat penjara, dan tempat Rafael mengubur sisa-sisa nuraninya.
Lyra terbangun di ruangan gelap beraroma obat dan kayu. Tangannya terikat lembut dengan tali beludru di kursi. Saat matanya menyesuaikan diri, ia melihat sosok Rafael berdiri di dekat jendela besar, menatap badai salju di luar.
"Bangun cepat juga kau," ujarnya tanpa menoleh.
Lyra menelan ludah. "Kau menculikku."
"Kalau kau ingin menyebutnya begitu, silakan." Rafael berbalik perlahan, langkahnya tenang tapi mengancam. "Aku hanya meminjammu. Untuk sementara."
"Untuk apa?" suara Lyra pecah. "Kau pikir ini lucu? Kau membakar rumahku! Apa kau tahu ayahku-"
"-adalah alasan Elara sekarang terbaring di ranjang rumah sakit dengan peluru di tulang belakangnya," potong Rafael tajam. "Ya, aku tahu."
Nama itu membuat Lyra terdiam. Ia tak mengenal siapa Elara, tapi nada Rafael membuatnya mengerti: perempuan itu sangat berarti baginya.
"Kau akan membayarnya lewat aku?" Lyra menatapnya dengan amarah. "Kau pengecut."
Rafael tersenyum miring. "Mungkin. Tapi pengecut ini yang sekarang menentukan apakah kau makan, tidur, atau bernafas."
Lyra mengatupkan rahangnya, menahan air mata. "Kau monster."
"Sudah biasa aku dengar." Rafael berjalan mendekat, lalu melepaskan ikatan di tangannya. "Mulai malam ini, kau akan bekerja di sini. Sebagai pelayan."
Lyra menatapnya tak percaya. "Pelayan?"
"Untukku. Kau akan membersihkan ruanganku, menyiapkan pakaianku, dan memastikan semua kebutuhanku terpenuhi." Ia menatap tajam. "Dan setiap kali kau berpikir untuk melarikan diri, ingat: hanya aku yang tahu apakah keluargamu masih hidup."
"Kau-apa maksudmu mereka masih hidup?" Lyra menahan napas.
Rafael menatapnya dengan dingin. "Itu tergantung padamu."
Hari-hari pertama Lyra di The Black Fortress berjalan seperti mimpi buruk. Ia tidak tahu kapan siang dan malam berganti, karena jendela kamarnya selalu tertutup tirai hitam. Ia diberi pakaian pelayan-gaun hitam panjang dengan apron putih-dan jadwal kerja yang ketat dari kepala rumah tangga, seorang wanita tua bernama Marta yang lebih mirip bayangan daripada manusia.
Namun yang paling menakutkan bagi Lyra bukan aturan atau pengawasan-melainkan kehadiran Rafael. Pria itu seperti bayangan dingin yang selalu muncul tanpa suara. Tatapannya bisa membuat Lyra berhenti bernafas. Ia jarang bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya tajam dan berisi kekuasaan.
Pagi itu, Lyra membawa nampan berisi kopi hitam ke ruang kerja Rafael. Ia menatap pintu kayu besar di depannya, menarik napas, lalu mengetuk perlahan.
"Masuk," suara berat itu terdengar dari dalam.
Lyra mendorong pintu, mencoba menahan gemetar. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku tinggi, dan di tengahnya Rafael duduk di balik meja, membolak-balik berkas.
"Taruh di meja," ujarnya tanpa menatap.
Lyra meletakkan cangkir itu dengan hati-hati. "Ini kopi hitam tanpa gula, seperti yang Tuan minta."
"Bagus. Kau belajar cepat." Rafael mengangkat pandangannya. "Tapi jangan panggil aku 'Tuan'. Itu membuatku terdengar seperti pria baik."
Lyra mengerutkan kening. "Kalau begitu aku harus memanggilmu apa?"
"Rafael saja. Atau kalau kau takut, kau bisa memanggilku 'iblis' seperti semua orang."
Lyra menggigit bibirnya. "Aku tidak takut."
"Oh?" Rafael berdiri, berjalan mendekat hingga hanya berjarak satu langkah. "Jadi kau pikir aku tidak akan menyakitimu?"
Tatapan Lyra menantang, meski napasnya mulai tidak teratur. "Kalau kau mau menyakitiku, kau sudah melakukannya sejak awal."
Rafael menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Kau benar-benar anak Elmore."
Ia berbalik, duduk kembali di kursinya. "Pergi. Aku tidak butuh keberanianmu di sini."
Lyra menatapnya lama sebelum melangkah keluar, dan untuk pertama kalinya ia sadar-ia tidak hanya membenci Rafael, tapi juga penasaran padanya.
Ada sesuatu di balik tatapan dingin itu, sesuatu yang menyembunyikan luka dalam yang bahkan balas dendam tidak bisa sembuhkan.
Malam berikutnya, Lyra terbangun oleh suara keras dari koridor. Ia keluar kamar, mendapati dua anak buah Rafael berlari sambil membawa seseorang yang tampak berdarah di bahu.
"Rafael! Mereka menyerang pos luar!" salah satu dari mereka berteriak ketika masuk ke ruang utama.
Rafael muncul dari tangga dengan pistol di tangan. "Siapa yang berani?"
"Orang-orang Elmore, Tuan. Mereka mencari putri mereka."
Lyra terpaku di tempat, hatinya berdebar keras. Ia mendengar semua itu-ayahnya masih hidup, dan mereka mencari dirinya. Tapi sebelum ia bisa bersuara, Rafael menoleh, menatapnya tajam.
"Bawa dia ke ruang bawah tanah. Sekarang."
"Tidak! Lepaskan aku!" Lyra memberontak, tapi dua pria segera menahan lengannya.
Rafael mendekat, suaranya rendah tapi mematikan. "Kau tidak akan ke mana pun, Lyra. Belum saatnya."
"Kenapa? Karena kau takut aku akan bebas?" ia menantang dengan marah.
Rafael mendekat, menunduk tepat di depan wajahnya. "Karena jika mereka menemukanmu, perang ini akan berubah jadi pembantaian. Dan aku tidak akan biarkan kau jadi alat mereka."
Tatapan mereka bertemu-dua mata yang sama kerasnya, tapi di baliknya, ada sesuatu yang retak.
Dan di tengah kegaduhan itu, Rafael meraih bahu Lyra, suaranya nyaris berbisik, namun menggetarkan.
"Mulai malam ini, kau bukan lagi sekadar tawanan, Lyra Elmore. Kau bagian dari permainanku."
Ruang bawah tanah The Black Fortress dingin dan lembap. Lampu-lampu redup menerangi batu-batu tua yang menjadi saksi bagi ratusan rahasia kelam. Di sanalah Lyra dikurung-tapi bukan di dalam sel. Rafael menempatkannya di ruangan berisi tempat tidur dan tungku kecil.
Ia masuk membawa mantel tebal, meletakkannya di kursi.
"Kau akan tetap di sini sampai semuanya aman."
Lyra memelototinya. "Kau pikir aku akan percaya padamu setelah kau membakar rumahku?"
Rafael menatapnya dengan kelelahan yang aneh. "Kau tidak harus percaya. Tapi kalau aku ingin kau mati, aku sudah membiarkan mereka membawamu."
Hening menyelimuti ruangan. Lyra menunduk, menggenggam tangannya. Suaranya gemetar tapi jujur, "Kenapa aku?"
Rafael menatap nyala api di tungku, tidak menjawab lama. "Karena ayahmu menembak Elara. Karena aku ingin dia merasakan kehilangan yang sama. Tapi..." ia berhenti, menatap Lyra lagi. "Kau tidak seperti mereka."
Lyra terdiam. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan. Antara kebencian, rasa bersalah, dan sesuatu yang samar di dada masing-masing.
"Aku tidak akan menjadi alat balas dendammu," ucap Lyra pelan.
Rafael mendekat, menatapnya dalam. "Sayangnya, kau sudah jadi bagian dari itu sejak malam aku menculikmu."
Ia berbalik, hendak pergi. Tapi sebelum menutup pintu, ia berkata tanpa menoleh, "Dan mulai sekarang, jangan takut pada iblis, Lyra. Tak semua iblis lahir dari kegelapan-ada yang diciptakan oleh manusia seperti keluargamu."
Malam itu, Lyra duduk di ranjang batu, menatap api yang berkedip di tungku. Kata-kata Rafael berputar di kepalanya. Ia tak tahu mana yang lebih berbahaya-kebenciannya pada pria itu, atau rasa ingin tahunya pada sisi manusia yang tersembunyi di balik julukan Iblis Hitam.
Sementara di lantai atas, Rafael berdiri di balkon, menatap langit berbintang dengan mata lelah.
Ia menatap foto Elara di tangannya-wajah lembut perempuan yang tak pernah sadar dari koma.
"Maafkan aku," bisiknya lirih. "Aku berjanji akan menuntaskan ini. Tapi... kenapa rasanya aku mulai kehilangan arah?"
Hujan salju turun perlahan, menutupi jejak darah di halaman kastil.
Dan di dalam dinginnya malam Swiss, dua jiwa yang seharusnya saling menghancurkan justru mulai terikat oleh sesuatu yang lebih dalam dari dendam.
Suara langkah kaki berat bergema di lorong batu yang dingin, mendekat menuju ruang bawah tanah tempat Lyra disekap. Lampu gantung berayun pelan, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Hujan di luar belum berhenti sejak sore, dan dari suara badai di kejauhan, seolah seluruh dunia ikut menahan napas.
Lyra menatap pintu besi yang terbuka perlahan. Sosok tinggi itu masuk, mengenakan jas hitam yang kini ternoda darah di sisi bahu kirinya. Rafael.
Gadis itu langsung berdiri dari ranjang batu. “Kau terluka,” katanya refleks, nadanya campuran terkejut dan cemas. Tapi kemudian ia menyesali kata-katanya sendiri. Kenapa ia harus peduli pada pria yang menculiknya?
Rafael menatapnya sekilas, dingin seperti biasa. “Hanya goresan kecil.”
Namun Lyra melihat darah segar merembes di kain jas mahalnya. Ia menghela napas dalam, lalu melangkah maju, tangannya sedikit gemetar. “Kau butuh pertolongan medis.”
“Aku tidak butuh belas kasihan dari anak Elmore,” Rafael menjawab, suaranya serak dan lelah.
Lyra menatapnya tajam. “Ini bukan belas kasihan. Aku hanya tidak tahan melihat orang berdarah-darah di depanku.” Ia mendekat lebih jauh, tapi Rafael menahan gerakannya dengan tatapan tajam.
/0/28985/coverorgin.jpg?v=fc721434ce0a3ff81fe29e14403a93a6&imageMogr2/format/webp)
/0/3113/coverorgin.jpg?v=e760d12db1e35bdd078df92d01953442&imageMogr2/format/webp)
/0/17871/coverorgin.jpg?v=1acf33b1861ee87b8051d94eed9bb85c&imageMogr2/format/webp)
/0/2169/coverorgin.jpg?v=bc86ddb37015704947772ba8b283348d&imageMogr2/format/webp)
/0/10417/coverorgin.jpg?v=8155f48e04c97d07c0dc0f90cdce099a&imageMogr2/format/webp)
/0/23737/coverorgin.jpg?v=598e30d8e758d849123fa70fb1ffdd77&imageMogr2/format/webp)
/0/23823/coverorgin.jpg?v=cf6334aedc73a00bf42177cc58610778&imageMogr2/format/webp)
/0/19430/coverorgin.jpg?v=3bb9ee9327cc3ca3fceda12011ae3123&imageMogr2/format/webp)
/0/2676/coverorgin.jpg?v=ba61c0ba527ea42c26f3d2cffb98e973&imageMogr2/format/webp)
/0/25861/coverorgin.jpg?v=f80359e424c84652be19698828189ab3&imageMogr2/format/webp)
/0/4242/coverorgin.jpg?v=5f25fe6daa7952fe3d898b4ffd34f9b8&imageMogr2/format/webp)
/0/4075/coverorgin.jpg?v=2df383e5de97368743d1232b89fdde25&imageMogr2/format/webp)
/0/14411/coverorgin.jpg?v=bd738e8253e99222619299bc91fa7e0c&imageMogr2/format/webp)
/0/17354/coverorgin.jpg?v=1701ba2d9ce50a003aef5f2ec5d321b0&imageMogr2/format/webp)
/0/5358/coverorgin.jpg?v=6d4c9a2ab90be39e6bdaf94bf3cd580e&imageMogr2/format/webp)
/0/24606/coverorgin.jpg?v=994e4596e20ab94cb8758451e031c0e5&imageMogr2/format/webp)
/0/21638/coverorgin.jpg?v=93a4504fb4f119a1df890d35f8343a67&imageMogr2/format/webp)
/0/26814/coverorgin.jpg?v=332818c597bff80c037d224cf982e516&imageMogr2/format/webp)