Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Aku Jadikan Kau Ratu

Aku Jadikan Kau Ratu

Suci Komala

5.0
Komentar
500
Penayangan
61
Bab

Masuk sel tahanan, bahkan hampir meregang nyawa. Darren Gerald lalui saat membantu orang terkasihnya. Menyerah, satu kata yang berhasil singgah dalam benak Darren. Namun, kata itu berhasil Darren kubur dalam-dalam. Ia pertahankan cintanya dan tetap setia walau kekasih hati sudah berstatus janda dan mengalami gangguan mental. Disaat restu datang dari orang tua sang pujaan hati, justru penolakan datang dari Rossi --ibunda Darren. Apakah yang menjadi alasan Rossi tidak memberi restu? Dan siapakah yang Darren pilih. Rossi atau sang kekasih?

Bab 1 Bagai Bumi dan Langit

Seorang pria tampan duduk termangu menatap ponsel. Foto seorang wanita paruh baya tampak memenuhi layar. Jarinya mengusap seolah-olah mengelus pipi. Ya, dialah Darren Gerald atau yang senang dipanggil 'Ge' --pria berusia dua puluh lima tahun itu tengah dirundung rindu kepada wanita cantik yang telah melahirkannya. Bagaimana tidak? Sembilan tahun yang lalu, Darren pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu meninggalkan ibunya seorang diri. Seharusnya ia pulang satu tahun yang lalu, tetapi terhalang oleh ongkos yang terbilang mahal.

Bekerja sebagai montir ternyata tidak cukup dimana uang yang didapat ia gunakan untuk keperluan sehari-hari dan dikirim kepada ibunya.

Nomor kontak yang bertuliskan 'My Mom' pun ia tekan.

Terhubung.

Saling menyapa satu sama lain mengawali percakapan antara ibu dan anak itu.

"Maaf, Bu, Ge belum bisa pulang. Nanti kalau uangnya sudah cukup, Ge cepet-cepet pulang, kok," kata Darren pada sambungan telepon.

"Iya, Nak, tidak apa-apa. Lebih baik uangmu simpan, jangan kirim ke Ibu terus. Ibu, kan, bisa kerja di sini," ungkap Rossi Sawitri --ibu Darren.

"Ge mohon, Ibu jangan kerja jadi buruh cuci lagi atau apalah. Sudah kewajiban Ge untuk nafkahin Ibu. Kalau uang yang Ge kirim kurang, Ibu harus bilang, ya?"

"Cukup, Nak. Sangat cukup. Dan soal pekerjaan, kamu tau sendiri kalo Ibu diam di rumah saja, badan Ibu suka pegel-pegel, Ge."

Darren hanya pasrah mendengar alasan Rossi, karena ia sangat tahu bagaimana sifat sang ibu. Obrolan berlangsung lama.

Darren menepuk kening saat melihat jam di dinding sambil berkata, "Mati!"

"Mati? Siapa yang mati, Ge?" tanya Rossi cemas.

"Anu ... itu, Bu. Ge ada janji dengan seseorang."

"Siapa? Pacarmu, ya?" goda Rossi.

Darren tersenyum. "Hehe ... iya, Bu."

Rossi mengatakan, ia sangat senang karena Darren sudah memiliki kekasih. Pun wanita paruh baya berusia empat puluh delapan tahun itu mengingatkan jika Darren harus tetap menjaga etika, jangan terpengaruh budaya barat. Darren pun menyanggupi dan berjanji akan menjaga amanat sang ibu.

Obrolan pun mereka akhiri dan sambungan telepon terputus.

"Aarrrgggh! Ya, ampun, telat lagi. Bagaimana ini?" ucap Darren sambil memilih baju yang pantas ia kenakan.

Setelah mengenakan baju yang pas, Darren bergegas pergi ke sebuah kafe yang tak jauh dari tempat tinggalnya dengan menggunakan sepeda. Ya, pria bertubuh jangkung itu menempati sebuah bengkel dimana ia bekerja yang berada di pusat kota.

***

Tiba di kafe, matanya menyisir setiap meja. Bibirnya tersungging saat melihat sang kekasih duduk di meja pojok yang tengah fokus menatap laptop.

"Maaf, Sayang. Sudah nunggu lama, ya?" sesalnya sambil menarik kursi untuk ia duduki.

Bukannya marah, si wanita menyambutnya dengan senyuman, kemudian berkata, "Tidak apa-apa, Kak. Aku juga sambil ngerjain tugas."

"Oh, iya. Katanya ada yang diomongin, apa itu?" tanya Darren.

"Ish! Gak pesen minum atau makan dulu gitu?"

Darren tersenyum, kemudian dia memanggil seorang pelayan. Mereka memilih menu makan malam. Sambil menunggu pesanan datang, Darren meminta kekasihnya untuk bercerita.

"Sebelumnya aku minta maaf, Kak. Bukan maksud aku membohongi Kakak. Sebenarnya ... aku udah dijodohin," ungkap si wanita yang bernama Thalita.

"Apa?!"

Thalita menenangkan Darren. Ia pun mulai bercerita. Sedari kecil, dirinya dijodohkan dengan anak sahabat ayahnya, yang tentu saja rekan bisnis dimana membuat gadis bernama lengkap Thalita Abimanyu merasa terkekang. Bagaimana tidak? Laki-laki yang bernama Bagas itu memiliki sifat over posesif tidak mengizinkan Thalita jauh darinya. Rasa cinta yang tulus untuk Bagas membuat Thalita bertahan. Namun, cinta itu tidak bertahan lama. Hatinya hancur berkeping setelah ia mengetahui jika ternyata Bagas adalah seorang playboy. Gadis berparas cantik, putri dari seorang pengusaha itu pun berontak. Ia memohon kepada sang ayah untuk melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri. Sang ayah pun mengizinkan.

Darren tersenyum kecut. "Ya, sesama orang kaya itu tidak heran kalau soal jodoh menjodohkan. Lalu, kenapa di sini kamu gak cari orang kaya saja?"

"Yang perlu kamu tahu juga tentang Kakak ... Kakak itu orang miskin yang datang ke sini hanya mengandalkan beasiswa, pun dengan pendidikan S2, S3, sama ... semua mengandalkan beasiswa," lanjut Darren.

Thalita menggeleng. "Aku butuh laki-laki yang tulus sama aku. Aku butuh Kakak. Bukan pria seperti Bagas."

"Kalian sudah putus?"

Thalita menunduk. "Untuk kata putus belum terucap. Tapi, kan, yang terpenting adalah aku sudah tidak cinta lagi sama Bagas. Tapi ..."

"Apa?"

Thalita mendongak. "Sepertinya Bagas gak mau putus sama aku."

Darren terdiam. Ia menyelami hati dan pikirannya. Berpacaran dengan wanita yang sudah dijodohkan itu sudah jelas salah. Orang ketiga, itu adalah titel yang tepat untuk dirinya.

"Kak, kenapa diam? Kakak gak sayang sama aku? Kakak gak cinta sama aku? Kakak nyesel pacaran sam-"

Jari telunjuk Darren mendarat di bibir ranum Thalita membuat gadis itu terdiam. "Bisa mendapatkan cintamu saja Kakak beruntung. Sayang dan cinta ini tulus untukmu. Kamu satu-satunya wanita yang mampu membuat Kakak jatuh cinta pada pandangan pertama."

Thalita meraih tangan Darren dan mendaratkannya di pipi. "Terima kasih. Aku sayaaaang banget sama Kakak. Yang perlu Kakak tau, aku dan Bagas belum bertunangan, kok."

"Iya, sekarang belum. Tapi, besok?"

Thalita tersenyum. Ia sangat mengerti apa yang Darren takutkan. "Tidak akan pernah terjadi, Kak. Dulu, papa memang berniat menggelar pesta pertunangan, tetapi Bagas menolak."

Darren mengernyit. "Kenapa?"

"Bagas mengatakan jika dirinya tidak mau terikat. Dan sekarang sudah terjawab mengapa demikian. Yahh, mana mungkin seorang playboy, senang main perempuan terikat sama satu wanita saja."

Darren menarik napas dalam dan mengeluarkan kasar, kemudian mengangguk-anggukan kepala.

"Apa kamu yakin kita akan direstui orang tuamu?"

"Kakak ragu?"

Darren mencoba tersenyum, lalu menjawab, "Kamu bagaikan langit dan aku bumi. Duniamu sulit aku sentuh. Kita bukan hidup di dunia film atau novel yang dimana si miskin dan si kaya bisa bersatu hanya dalam sekian episode saja."

"Helooowww, Kakak ... Papa pasti melihat laki-laki mana yang baik buat aku. Papa gak mungkin biarin aku bersatu sama Bagas yang jelas-jelas dia itu suka mainin cewek. Aku yakin orang tuaku tidak memandang hal seperti itu."

Darren tersenyum, kemudian mengacak pucuk kepala kekasihnya. "Semoga kita berjodoh, ya? Apa pun yang terjadi nanti, kita hadapi bersama dan harus saling percaya."

Thalita mengangguk diiringi senyum yang mengambang dari bibirnya.

Pesanan pun datang. Mereka menikmati hidangan selagi hangat. Mulut terlihat menikmati setiap suapan yang masuk, tetapi tidak dengan isi kepala Darren. Ia merasakan sesuatu yang entah, setelah mendengar jika Thalita putri dari seorang pengusaha dan sudah dijodohkan pula. Namun, ia meyakinkan hatinya jika tidak ada yang tidak mungkin.

"Kakak hebat, ya, masih muda tapi sudah lulus S3. Cumlaude pula," puji Thalita.

Darren tersenyum. "Kebetulan."

"Iya, kebetulan Tuhan memberi otak Kakak yang sangat cerdas. Dari sekolah dasar sudah masuk kelas akselerasi dan mendapat beasiswa juga. Amazing! Pasti mama dan papa Kakak sangat bangga."

Darren berhenti menyuap. Helaan napasnya begitu jelas terdengar oleh Thalita.

"A-aku salah ngomong, ya? Ma-"

"Tidak. Ibu memang selalu bilang bangga sama Kakak," jawab Darren memotong ucapan Thalita sambil mengaduk makanan yang ada di mangkuk. "Dan untuk ayah ... ah, sudahlah, tidak usah dibahas," lanjutnya.

Melihat mimik wajah Darren, Thalita tidak berani bertanya. Dirinya sangat yakin jika sang kekasih tidak ingin disinggung perkara keluarga.

"Ya, udah, kita habiskan makanannya, Kak. Sepertinya enak semua. Kakak mau coba punyaku?" Thalita mencoba mengalihkan perhatian Darren. Tangannya terulur memegang sendok tepat di depan mulut Darren.

Darren tersenyum dan menerima suapan. Perlakuan manis seperti itu sering mereka lakukan. Bukan untuk sekadar kata romantis saja, melainkan menghibur pasangan disaat salah satu dari mereka dilanda sedih ataupun bad mood. Kedekatan selama satu tahun, rupanya membuat mereka cukup mengenal sifat, kebiasaan, bahkan segala sesuatu yang disukai dan tidak.

Jam yang melingkar di pergelangan Darren sudah menunjuk pada angka sembilan. Gegas ia mengajak Thalita pulang, tepatnya ke asrama kampus.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku