Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
"Jika kau ingin dihargai, maka kau harus bisa menghargai orang lain." [Ray. R. R.]
______
Sinar mentari pagi mulai mengintip malu-malu di balik tirai kamar seorang anak remaja laki-laki yang masih setia bergelut dengan selimut tebal nan hangatnya.
Saking nyamannya bergelut dengan selimut, dia bahkan tidak menyadari ketukan pintu kamarnya yang awalnya diketuk dengan pelan berubah menjadi terbukanya pintu dengan lebar.
"Tuan muda, bangun!"
Mendengar suara berisik serta goncangan di tubuhnya membuat Ray mau tak mau membuka matanya yang masih berat.
Ray melihat seorang wanita berbaju kemeja rapi dengan logo psikiater membuat Ray mendengus kesal. Pasalnya, wanita itu sangat cerewet dan menyebalkan.
Mariam, psikiater pribadi Ray yang sudah mengurus Ray selama 10 tahun ini. Umurnya sudah tidak muda lagi yakni 35 tahun tapi tentu saja cantiknya tidak memudar.
"Bangun Tuan muda, ini sudah pagi!" seru Mariam.
Bukannya menjawab, Ray malah memilih mengambil creepy doll yang berada di sampingnya.
Ray tersenyum sembari mengelus kepala creppy doll tersebut sembari bergumam, "Good morning, Rey."
Tentu saja hanya dirinya yang dapat mendengar gumamnya sendiri. Setelah puas menatap creppy dollnya, Ray beranjak dari king size miliknya dan pergi masuk ke dalam kamar mandi, tak lupa pula creppy doll yang selalu setia menemaninya kemana pun dan kapan saja.
Melihat hal itu Mariam hanya bisa mendengus kesal dan menggelengkan kepalanya pusing. Pasalnya, Ray selalu mengacuhkannya seolah-olah dirinya tidak hadir di sampingnya.
Itu sudah biasa bagi Mariam, makanan sehari-harinya. Mengurus seorang Tuan muda dari keluarga terpandang yang memiliki penyakit jiwa cukup membuatnya merasa ikutan gila juga.
Tentu saja karena Ray selalu mengacuhkannya, jangankan berbicara bahkan menatapnya saja tidak pernah. Padahal sudah 10 tahun lamanya dirinya mengurus Ray dari Ray berumur 5 tahun.
Setelah mengatur kesabarannya, Mariam segera membersihkan dan merapikan kamar Ray yang tentu saja lebih besar dari pada kamar apartemennya.
Ceklek.
Pintu kamar mandi terbuka dan nampaklah Ray dengan balutan handuk dipinggangnya, jangan lupa creppy doll dipelukannya menatap datar ke arah Mariam.
"Bajunya sudah saya siapkan, Tuan muda."
Pandangan Ray beralih di atas tempat tidur menampilkan kemeja putih serta celana hitam pendek yang dipilih oleh Mariam, psikiaternya.
"Hn."
Sekali lagi, Mariam hanya bisa mendenguskan napasnya kesal karena Ray selalu membalas ucapannya dengan bergumam tapi hey lihatlah dia bahkan bergumam sambil tersenyum.
Mariam beranjak pergi meninggalkan Ray seorang diri yang saat ini sedang memakai pakaiannya. Mata tajamnya terus melihat ke arah kaca besar yang menampilkan dirinya di sana tanpa berkedip sedikit pun sehingga matanya memerah.
Setelah selesai memakai pakaiannya, pandangan elang Ray beralih menatap creppy doll yang duduk manis di atas tempat tidur miliknya.
"Berhenti menatapku seperti itu Rey, itu menjijikan." ujar Ray sembari berkacak pinggang menatap lurus ke arah creppy doll yang dinamainya Rey.
"Tentu saja aku selalu menatapmu karena aku benci kepadamu, pecundang!" balas Rey.
Ray membelalakkan kedua bola matanya tak percaya mendengar ejekan Rey. Pecundang? Ya, Rey selalu mengatainya pecundang. Ray akui itu karena Ray selalu menghindar dari kehidupan sosial.
"Jaga ucapanmu sialan!" geram Ray.
Karena kesal, dengan cepat Ray meraih Rey dan memeluknya dengan sangat erat. "Aku hancurkan kau Rey jadi jangan macam-macam denganku."
Tiba-tiba pelukan Ray melonggar beralih memeluk Rey dengan pelukan hangatnya.
"Tidak jadi. Karena kau satu-satunya keluarga yang menerimaku." lirih Ray.
Setelah puas berpelukan dengan creepy dollnya alias Rey, Ray pergi keluar kamar menuju meja makan dimana seluruh keluarga besar Robertson berkumpul. Tentu saja Rey selalu setia berada di dalam pelukan Ray.
Dari atas tangga, Ray dapat melihat suasana hangat di meja makan membuatnya ingin segera pergi ke sana tapi setibanya di meja makan suasana mendadak berubah menjadi dingin membuat wajah datar kembali terlukis di wajah putih pucat Ray.
"Kamu sudah bangun? Kemari, duduklah."
Rey melihat kakak, Roy menarik kursi di sampingnya mempersilahkankan dirinya untuk duduk di sebelahnya.
Tak menghiraukan tatapan tajam dari Ibunya, Nisa. Ray duduk di sebelah Roy dan kembali menikmati acara sarapan keluarga Robertson.
Baru saja sampai disuapan ketiga, telinga Ray mendengar ucapan yang berhasil membuat kepalanya mendidih.
"Ray, kau seharusnya belajar untuk berinteraksi dengan orang lain. Jangan sendirian terus. Itu tidak baik." ujar Wilda, Neneknya.
"Biarkan saja dia seperti itu. Dia akan sendirian selamanya." timpal Nisa sembari menatap sinis ke arah Ray.
"Ibu, sudahlah."
Roy melirik ke arah Ray yang menatap lurus ke arah piringnya tapi tangannya tak bergerak sedikit pun untuk menyuapi makanan di dalam mulutnya.
Jujur saja Roy sangat khawatir. Ray hanya mau terbuka kepada dirinya saja. Setiap kali mendengar kalimat yang berhasil menyayat hatinya, Ray akan marah atau lebih parahnya mengamuk di dalam kamar. Adiknya sangat tempramental.
Tiba-tiba Ray beranjak turun dari kursi dan melangkah pergi meninggalkan meja makan. Tapi sebelum itu langkahnya terhenti setelah suara berat berhasil membuat kakinya terpaku.
"Kau harus belajar Ray. Ayah ingin kau mengelola beberapa anak bisnis milik ayah."
Bukannya menjawab, Ray malah kembali melangkahkan kakinya dan menaiki anak tangga dengan cepat.
Melihat hal itu membuat Roy semakin khawatir saja. Dengan cepat, Roy memerintah Mariam dengan gerakan matanya untuk mengikuti Ray.
"Kau terlalu memanjakannya Bryan." ujar Nisa.
Bryan, kepala keluarga Robertson itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar dan pergi meninggalkan meja makan.
"Ibu, berhentilah untuk-"
"Apa? Kau sama saja seperti ayahmu. Terlalu memanjakan anak itu, cih." potong Nisa.
Satu persatu mulai dari Bryan, Nisa, Wilda pergi meninggalkan meja makan dan tinggalah Roy sendirian yang masih memikirkan keadaan Ray, adiknya.