Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
TURUN RANJANG (Ibu Pengganti)

TURUN RANJANG (Ibu Pengganti)

Twine Twin

5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
10
Bab

"Aku masih muda. Besar kemungkinan, jika diberi umur panjang, aku pasti akan menikah lagi. Mungkin aku bisa menerima wanita baru sebagai pengganti Indri, istriku. Tapi Ayra belum tentu bisa menerima wanita itu sebagai pengganti ibunya. Jadi, menurutku tidak ada yang lebih tepat sebagai ibu pengganti untuk Ayra selain Tasya." Demikianlah pengakuan Zidan pada kelurganya. Atas alasan tersebut, ia pun menerima usulan mertuanya untuk turun ranjang dengan menikahi Tasya, adik iparnya sendiri. Semula, Tasya menolak pernikahan tersebut. Ia tidak bisa menikah dengan Zidan, selain status Zidan yang sudah menjadi duda, laki-laki itu juga sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Tasya juga masih kuliah. Ia merasa belum siap untuk menikah. Namun seluruh keluarganya terus saja membujuknya. Mereka meminta Tasya untuk berkorban demi Ayra, gadis kecil berusia satu tahun yang telah ditinggalkan ibunya itu.

Bab 1 Empat Puluh Hari Setelah Kematian Istri

"Nak Zidan, ternyata Ayra sudah tertidur di kamar Tasya, sepertinya Ayra nyaman sekali tidur sama Aunty-nya. Kalau malam ini Ayra menginap di sini saja bagaimana?" ujar Lastri, ibu mertua Zidan.

Ia memang sedang berada di rumah ibu mertuanya karena melaksanakan acara pengajian empat puluh hari untuk almarhumah istrinya. Ya, Zidan adalah seorang duda yang baru ditinggal istrinya empat puluh hari yang lalu. Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tampak masih begitu terpukul. Bagaimana tidak, usia pernikahannya dengan sang istri baru berjalan tiga tahun, dan kini sang istri sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan Zidan bersama seorang bayi perempuan yang baru berumur satu tahun.

"Hmm, gimana ya, Bu, saya sebenarnya tidak keberatan kalau Ayra menginap di sini, toh ini juga rumah kakek dan neneknya. Cuman Ayra punya kebiasaan kebangun tengah malam, Bu. Kalau udah kebangun, biasanya juga nangis kejer. Saya khawatir nantinya jadi merepotkan semua orang yang ada di sini," balas Zidan.

"Kalau gitu, kalau Nak Zidan juga menginap di sini bagaimana?" usul Pak Ardi, bapak mertuan Zidan.

"Nah, iya ide bagus juga tuh Nak Zidan, kan Nak Zidan masih bisa makai kamar yang lama," imbuh Lastri.

Zidan tampak ragu menerima tawaran mertuanya itu. Setelah istrinya meninggal, tentu saja ia merasa canggung untuk menginap di rumah itu, apalagi ia juga memiliki seorang ipar yang masih gadis. Tapi Zidan juga tidak mungkin meninggalkan Ayra di sana. Ia paham betul bagaimana kebiasaan putri kecilnya itu, Ayra kalau kebangun tengah malam pastilah berteriak memanggil ayahnya. Maka malam itu, Zidan pun menerima tawaran mertuanya untuk menginap di sana.

Ia menempati kamar yang biasa ia tempat bersama Indri, almarhumah istrinya, jika berkunjung ke rumah sang ibu mertuanya. Bedanya, malam itu hanya ada Zidan seorang diri di dalam kamar tersebut, kehadiran Indri hanyalah dalam bentuk bayangan yang tidak dapat disentuh.

Malam itu, mata Zidan sulit untuk dipejamkan. Pikirannya terbelenggu oleh kenangan-kenangan bersama almarhumah istrinya. Selain itu, ia juga mulai terpikirkan tentang masa depan bersama putrinya, bagaimana ia harus melewati hari-harinya setelah ini, apa dia sanggup membesarkan Ayra seorang diri?

"Eaakkk! Pappiii...!"

Zidan tersentak duduk saat mendengar suara tangisan bayi. "Ayra..!" Ia pun bergegas ke luar dari kamar itu dan langsung menuju kamar adik iparnya.

Tok! Tok! Tok!

"Tasya! Tolong buka pintu kamarnya, Sya!" seru Zidan sambil mengetuk pintu kamar adik iparnya itu.

"Nak Zidan, didobrak saja pintunya! Tasya nggak bakal denger. Dia kalau tidur suka sambil dengerin musik pakai headset," ucap Lastri yang juga baru keluar dari kamarnya, terbangun karena mendengar suara tangisan cucunya itu.

"Emangnya ini nggak apa-apa pintunya didobrak, Bu?"

"Ya, nggak apa-apa! Kasihan Ayra di dalam!"

Akhirnya Zidan pun mendobrak pintu itu.

"Astaghfirullah!" Saat pintu terbuka, Zidan bergegas istighfar sambil memalingkan wajah. Bagaimana tidak, ia baru saja melihat sebuah pemandangan yang tidak pantas ia lihat. Tasya hanya tidur menggunakan celana pendek dan tangtop dengan posisi telentang dan mengangkang, bahkan sebelah kakinya sampai naik ke dinding.

Lastri bergegas menutupi tubuh anak gadisnya itu dengan selimut, sementara Zidan bergegas melarikan Ayra ke luar kamar. Lastri juga mencopot headset yang menyumbat telinga Tasya, ternyata hal itu membuat Tasya terbangun.

"Duh! Ibu! Ibu ngapain sih, Bu? Ganggu Tasya tidur aja deh!" rengek gadis berusia dua puluh tahun itu.

"Kamu tuh kebiasaan ya tidur pakai headset! Itu keponakan kamu nangis sampai jatuh ke bawah gitu kamu nggak sadar! Untung aja tempat tidurnya nggak tinggi!"

"Namanya juga tidur, ya pasti nggak sadarlah," sungut Tasya. "Udah, Ibu ke luar sana, Tasya mau lanjut tidur-"

"Jangan dipakai lagi headsetnya! Kalau ada kebakaran susah bangunin kamu, Tasya!"

Tasya tak menghiraukan ucapan ibunya itu. Ia kembali memejamkan mata dan bersiap untuk masuk ke alam mimpi lagi. Lastri hanya bisa menghela napas saat menghadapi kelakuan anak gadisnya itu. Lastri jadi teringat pada almarhumah Indri, putri sulungnya. Meskipun wajah Indri dan Tasya sangat mirip, tapi sifat keduanya sangatlah berbeda. Indri lebih dewasa dan keibuan, sementara Tasya justru sebaliknya.

Di ruang tamu, Zidan masih berusaha menenangkan putrinya itu. "Ini dikasih susu dulu, Nak Zidan!" Ardi memberikan susu dalam dot untuk cucunya itu.

Tapi Ayra menolak. Ia terbiasa minum ASI sehingga sering menolak jika diberi susu formula. Seisi rumah jadi berusaha menenangkan bayi satu tahun itu, tapi sudah satu jam berlalu, Ayra belum berhenti menangis juga. Hingga akhirnya Tasya pun ke luar dari kamar. Ternyata playlist lagunya terhenti sehingga dia dapat mendengar suara tangisan keponakannya itu.

"Duh ... Ayra! Kenapa sih kecil-kecil nangisnya kenceng banget! Ini Aunty ngantuk lho! Aunty besok masih ada ujian. Tolonglah komprominya!" ujar Tasya dengan kening yang penuh kerutan dan matanya yang masih sulit untuk dibuka.

"Mammii...!" Ayra merentangkan tangannya, pertanda minta dipeluk oleh tantenya itu. Mungkin karena wajah Tasya yang mirip dengan almarhumah Indri, Ayra jadi menganggap bahwa Tasya adalah ibunya.

Tasya pun menggendong Ayra, begitu tiba di gendongan Tasya, Ayra langsung berhenti menangis. "Hmmh, dari tadi kek. Kan kalau diam begini, kuping jadi adem," dengus Tasya.

"Eh, Tasya, itu Ayra mau dibawa kemana?" tanya Zidan saat Tasya sudah balik badan lagi.

"Ya mau dibawa ke kamarlah, Mas. Nggak mungkin tidur di sini."

"Hmm, Ayra biar tidur sama saya aja," ucap Zidan. Ia tentu tidak ingin membiarkan Ayra tidur sama Tasya lagi setelah kejadian Ayra jatuh dari tempat tidur.

Tasya pun memindahkan Ayra ke tangan Zidan, tapi seketika itu juga Ayra menangis lagi. "Tuh, kan, Mas Zidan! Ayra-nya jadi nangis lagi!" dumel Tasya.

"Lho? Kok jadi salah saya?"

"Ya jelas salah Mas Zidanlah. Tadi Ayra udah diam. Udah deh, biar Ayra tidur sama aku aja." Tasya mengambil alih Ayra lagi dari gendongan Zidan kemudian langsung membawanya ke kamar.

"Tapi, Sya-"

"Hmm, Nak Zidan, sebaiknya Nak Zidan lanjut tidur saja. Ibu akan tidur di kamar Tasya supaya bisa jagain Ayra juga," ucap Lastri.

"Hmmm, ya udah deh, Bu," sahut Zidan akhirnya. Zidan pun masuk ke dalam kamar, meski ia masih belum bisa memejamkan matanya. Kenapa Ayra jadi tidak mau berpisah dengan Tasya? Lantas bagaimana nanti cara Zidan membesarkan putrinya itu. Zidan merasa dilema. Ia sebenarnya bisa saja membiarkan Ayra tinggal bersama keluarga Bu Lastri dan Pak Ardi, tapi Zidan tidak ingin berpisah dengan anaknya itu, satu-satunya bukti cinta yang ditinggalkan oleh Indri.

Sementara itu, di ruangan tengah, Pak Ardi tampak menggamit lengan istrinya. "Bu ... sini dulu deh, Bu," ucapnya.

"Apalagi, Pak? Bapak takut juga tidur sendirian?" balas Lastri.

"Bukan begitu, Bu. Tapi anu ... Bapak ada ide."

"Ide apa?"

"Bagaimana jika Nak Zidan dinikahkan saja dengan Tasya? Turun ranjang begitu lho, Bu. Supaya Nak Zidan tetap jadi menantu kita, dan supaya Ayra bisa sama Tasya tanpa harus berpisah dengan ayahnya," ujar Pak Ardi.

Lastri terdiam beberapa saat. "Bener juga ya, Pak. Umur Tasya juga sudah dua puluh tahun, juga sudah cukup umur untuk menikah. Lagipula, Zidan kan laki-laki yang baik, dewasa dan penyayang. Zidan pasti bisa mengatur Tasya yang susah diatur itu. Tapi, apa kira-kira Nak Zidan mau turun ranjang?" balas Lastri.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Twine Twin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku