icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Evil Soul's Twin

The Evil Soul's Twin

Dedek Chan

5.0
Komentar
307
Penayangan
13
Bab

Ray River Robertson, memiliki jiwa jahat di dalam tubuhnya. Jiwa jahat yang memiliki sifat bertolak belakang dari pemilik tubuh asli, sering kali membuat Ray depresi karenanya. Mereka berkomunikasi melalui boneka. Seiring berjalannya waktu, banyak masalah yang menimpa Ray membuatnya harus ekstra lebih kuat untuk bangkit dari keputusasaannya. Tidak hanya itu, Ray harus mencegah dan mengurung agar jiwa jahatnya tidak menguasai tubuhnya dan juga mencari dalang dibalik kematian Kakaknya. Bagaimana kisah perjalanan Ray? Apakah Ray berhasil menundukkan jiwa jahatnya atau malah sebaliknya? Dan siapa dalang dibalik kematian Kakaknya.

Bab 1 Chapter 1

"Jika kau ingin dihargai, maka kau harus bisa menghargai orang lain." [Ray. R. R.]

______

Sinar mentari pagi mulai mengintip malu-malu di balik tirai kamar seorang anak remaja laki-laki yang masih setia bergelut dengan selimut tebal nan hangatnya.

Saking nyamannya bergelut dengan selimut, dia bahkan tidak menyadari ketukan pintu kamarnya yang awalnya diketuk dengan pelan berubah menjadi terbukanya pintu dengan lebar.

"Tuan muda, bangun!"

Mendengar suara berisik serta goncangan di tubuhnya membuat Ray mau tak mau membuka matanya yang masih berat.

Ray melihat seorang wanita berbaju kemeja rapi dengan logo psikiater membuat Ray mendengus kesal. Pasalnya, wanita itu sangat cerewet dan menyebalkan.

Mariam, psikiater pribadi Ray yang sudah mengurus Ray selama 10 tahun ini. Umurnya sudah tidak muda lagi yakni 35 tahun tapi tentu saja cantiknya tidak memudar.

"Bangun Tuan muda, ini sudah pagi!" seru Mariam.

Bukannya menjawab, Ray malah memilih mengambil creepy doll yang berada di sampingnya.

Ray tersenyum sembari mengelus kepala creppy doll tersebut sembari bergumam, "Good morning, Rey."

Tentu saja hanya dirinya yang dapat mendengar gumamnya sendiri. Setelah puas menatap creppy dollnya, Ray beranjak dari king size miliknya dan pergi masuk ke dalam kamar mandi, tak lupa pula creppy doll yang selalu setia menemaninya kemana pun dan kapan saja.

Melihat hal itu Mariam hanya bisa mendengus kesal dan menggelengkan kepalanya pusing. Pasalnya, Ray selalu mengacuhkannya seolah-olah dirinya tidak hadir di sampingnya.

Itu sudah biasa bagi Mariam, makanan sehari-harinya. Mengurus seorang Tuan muda dari keluarga terpandang yang memiliki penyakit jiwa cukup membuatnya merasa ikutan gila juga.

Tentu saja karena Ray selalu mengacuhkannya, jangankan berbicara bahkan menatapnya saja tidak pernah. Padahal sudah 10 tahun lamanya dirinya mengurus Ray dari Ray berumur 5 tahun.

Setelah mengatur kesabarannya, Mariam segera membersihkan dan merapikan kamar Ray yang tentu saja lebih besar dari pada kamar apartemennya.

Ceklek.

Pintu kamar mandi terbuka dan nampaklah Ray dengan balutan handuk dipinggangnya, jangan lupa creppy doll dipelukannya menatap datar ke arah Mariam.

"Bajunya sudah saya siapkan, Tuan muda."

Pandangan Ray beralih di atas tempat tidur menampilkan kemeja putih serta celana hitam pendek yang dipilih oleh Mariam, psikiaternya.

"Hn."

Sekali lagi, Mariam hanya bisa mendenguskan napasnya kesal karena Ray selalu membalas ucapannya dengan bergumam tapi hey lihatlah dia bahkan bergumam sambil tersenyum.

Mariam beranjak pergi meninggalkan Ray seorang diri yang saat ini sedang memakai pakaiannya. Mata tajamnya terus melihat ke arah kaca besar yang menampilkan dirinya di sana tanpa berkedip sedikit pun sehingga matanya memerah.

Setelah selesai memakai pakaiannya, pandangan elang Ray beralih menatap creppy doll yang duduk manis di atas tempat tidur miliknya.

"Berhenti menatapku seperti itu Rey, itu menjijikan." ujar Ray sembari berkacak pinggang menatap lurus ke arah creppy doll yang dinamainya Rey.

"Tentu saja aku selalu menatapmu karena aku benci kepadamu, pecundang!" balas Rey.

Ray membelalakkan kedua bola matanya tak percaya mendengar ejekan Rey. Pecundang? Ya, Rey selalu mengatainya pecundang. Ray akui itu karena Ray selalu menghindar dari kehidupan sosial.

"Jaga ucapanmu sialan!" geram Ray.

Karena kesal, dengan cepat Ray meraih Rey dan memeluknya dengan sangat erat. "Aku hancurkan kau Rey jadi jangan macam-macam denganku."

Tiba-tiba pelukan Ray melonggar beralih memeluk Rey dengan pelukan hangatnya.

"Tidak jadi. Karena kau satu-satunya keluarga yang menerimaku." lirih Ray.

Setelah puas berpelukan dengan creepy dollnya alias Rey, Ray pergi keluar kamar menuju meja makan dimana seluruh keluarga besar Robertson berkumpul. Tentu saja Rey selalu setia berada di dalam pelukan Ray.

Dari atas tangga, Ray dapat melihat suasana hangat di meja makan membuatnya ingin segera pergi ke sana tapi setibanya di meja makan suasana mendadak berubah menjadi dingin membuat wajah datar kembali terlukis di wajah putih pucat Ray.

"Kamu sudah bangun? Kemari, duduklah."

Rey melihat kakak, Roy menarik kursi di sampingnya mempersilahkankan dirinya untuk duduk di sebelahnya.

Tak menghiraukan tatapan tajam dari Ibunya, Nisa. Ray duduk di sebelah Roy dan kembali menikmati acara sarapan keluarga Robertson.

Baru saja sampai disuapan ketiga, telinga Ray mendengar ucapan yang berhasil membuat kepalanya mendidih.

"Ray, kau seharusnya belajar untuk berinteraksi dengan orang lain. Jangan sendirian terus. Itu tidak baik." ujar Wilda, Neneknya.

"Biarkan saja dia seperti itu. Dia akan sendirian selamanya." timpal Nisa sembari menatap sinis ke arah Ray.

"Ibu, sudahlah."

Roy melirik ke arah Ray yang menatap lurus ke arah piringnya tapi tangannya tak bergerak sedikit pun untuk menyuapi makanan di dalam mulutnya.

Jujur saja Roy sangat khawatir. Ray hanya mau terbuka kepada dirinya saja. Setiap kali mendengar kalimat yang berhasil menyayat hatinya, Ray akan marah atau lebih parahnya mengamuk di dalam kamar. Adiknya sangat tempramental.

Tiba-tiba Ray beranjak turun dari kursi dan melangkah pergi meninggalkan meja makan. Tapi sebelum itu langkahnya terhenti setelah suara berat berhasil membuat kakinya terpaku.

"Kau harus belajar Ray. Ayah ingin kau mengelola beberapa anak bisnis milik ayah."

Bukannya menjawab, Ray malah kembali melangkahkan kakinya dan menaiki anak tangga dengan cepat.

Melihat hal itu membuat Roy semakin khawatir saja. Dengan cepat, Roy memerintah Mariam dengan gerakan matanya untuk mengikuti Ray.

"Kau terlalu memanjakannya Bryan." ujar Nisa.

Bryan, kepala keluarga Robertson itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar dan pergi meninggalkan meja makan.

"Ibu, berhentilah untuk-"

"Apa? Kau sama saja seperti ayahmu. Terlalu memanjakan anak itu, cih." potong Nisa.

Satu persatu mulai dari Bryan, Nisa, Wilda pergi meninggalkan meja makan dan tinggalah Roy sendirian yang masih memikirkan keadaan Ray, adiknya.

Ray merupakan adik satu-satunya yang dimilikinya, tentu saja Roy sangat menyayanginya ya walaupun terkadang Ray selalu memgacuhkannya tapi setidaknya dirinyalah yang selalu menjadi tempat sandaran Roy.

Roy tersenyum kecut saat mengingat betapa lemahnya dirinya. Roy selalu membiarkan Ray dicaci maki Ibunya sendiri. Setiap kali dirinya ingin melawan, dirinya selalu kalah oleh Ibunya sendiri.

Ray selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja tapi Roy tidak yakin itu. Roy selalu merasa dirinya menjadi kakak yang gagal.

"Tidak apa-apa. Aku harus berjuang lebih baik lagi." gumam Roy menyemangati dirinya.

Baru saja Roy ingin melangkah pergi menuju kamar adiknya untuk menghiburnya, tiba-tiba suara dering ponsel membuat langkahnya terhenti.

Roy meraih ponselnya dan melihat nama "Daniel", seketarisnya tertera di layar ponsel.

"Halo?" sapa Roy setelah menekan ikon hijau untuk mengangkat panggilan.

"Halo Tuan. Terjadi masalah di kantor. Beberapa investor menarik saham mereka dan -"

"Aku segera ke sana!" potong Roy.

Sekilas Roy menoleh ke arah pintu kamar Ray dan menghembuskan napasnya kasar karena sekali lagi dirinya merasa menjadi kakak yang gagal.

Dengan cepat Roy pergi meninggalkan manshion Robertson.

Dari lantai dua tepatnya di balkon kamarnya, Ray menatap kepergian mobil mewah milik kakaknya yang semakin menjauh.

"Kakak ternyata sangat sibuk ya." gumam Ray yang tentu saja dapat didengar oleh Mariam yang selalu setia berdiri di belakangnya.

"Tuan muda Roy sangat pekerja keras. Dia -"

"Apakah kau menyindirku?" tanya Ray yang berhasil membuat Mariam gelagapan.

"Tidak, maksud saya -"

"Lupakan."

Ray melangkah menuju king size miliknya dan berbaring dengan creepy doll di sebelahnya.

"Mariam." panggil Ray membuat Mariam menoleh ke arah dirinya.

"Iya. Ada apa Tuan muda?" tanya Mariam.

Lama Ray terdiam sampai pada akhirnya Ray berhasil mengeluarkan kalimat yang tersangkut ditenggorokannya.

"Kalau aku pergi ke dunia luar. Apakah aku akan baik-baik saja?"

Mariam terdiam setelah mendengar kalimat yang sama setiap kali Ray dalam keadaan suasana hati yang buruk.

Sejujurnya, Mariam bingung bagaimana menjawabnya. Secara psikologis itu tidak memungkinkan mengingat emosi Ray yang sangat tempramental di balik wajahnya yang datar dan tenang.

"Kenapa kau terdiam? Sudah bosan menjadi psikiaterku?" tanya Ray memecah keheningan.

Mariam berdehem sebelum menjawab pertanyaan Ray. "Saya rasa bisa Tuan muda asalkan Tuan muda bisa menjaga emosi dan Rey."

Ray tidak menjawab, dirinya memilih untuk mengamati creepy doll di sebelahnya dan mengusap wajahnya dengan lembut.

"Entahlah Mariam. Aku merasa, Rey adalah sosok yang baik walaupun kalian mengatakannya jiwa yang jahat." lirih Ray.

"Saya mengerti Tuan muda secara Tuan muda Rey selalu berada disamping Anda setiap kali Anda merasa kesepian." jawab Mariam dengan mantap.

Ray menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan oleh Mariam.

Tiba-tiba cairan bening keluar dari ujung mata Ray dan mengalir dengan mulus melewati pipi putih pucat Ray.

Setiap kali mengingat perlakuan Ibunya membuat Ray merasakan sedih teramat dalam. Ray tidak tau kenapa ibunya bersikap seperti itu. Ray hanya menginginkan pelukan hangat dan kasih sayang dari Ibunya, apakah sesulit itu memberikannya?

Oh, Ray baru ingat. Terakhir kali dirinya merasakan pelukan hangat dari Ibunya saat Ibunya mengetahui kalau dirinya gila. Ya, gila. Begitulah kata orang disekitarnya mengatakan dirinya.

Tidak hanya itu, perlahan-lahan perhatian kecil dari Ayahnya dan Neneknya menghilang tapi tidak dengan Roy. Kakaknya itu semakin hari semakin banyak menaruh perhatian kepada Ray membuat Ray keluar dari kegelapannya sendiri dan beralih di pelukan hangat Roy.

Sejak kedatangan Mariam membuat hari-hari Ray sedikit bersinar pasalnya wanita berumur 35 tahun itu sangat cerewet. Sifat keibuannya membuat Ray merasakan memiliki Ibu kedua.

Ah, kenapa tiba-tiba Ray mengingat hal konyol seperti ini. Dengan kasar Ray menghapus air matanya dan duduk menatap ke arah Mariam.

"Mariam, besok aku ingin jalan-jalan. Temani aku ya." ujar Ray dengan senyum hangat yang terukir di bibir tipisnya.

Melihat hal itu membuat Mariam melongo tak percaya tapi dengan cepat Mariam mengubah ekspresinya dan membalas senyuman Ray yang sangat jarang terlihat itu.

"Dengan senang hati, Tuan muda." balas Mariam.

Setelah mendapat persetujuan dari Mariam, Ray menyuruh Mariam meninggalkannya sendiri di dalam kamar.

Meninggalkan Ray seorang diri dan...creepy dollnya, Rey.

"Apakah keputusanku sudah benar?"

"Entahlah. Aku tidak peduli." balas Rey.

Ray menoleh kearah Rey menampilkan raut wajah tidak suka. "Kau seharusnya mendukungku." geram Ray.

"Aku akan mendukungmu kalau kau bersedia memberikan tubuhmu kepadaku."

Ray berdecak kesal melempar Rey sehingga creepy doll itu terlempar ke arah rak buku membuat beberapa buku kesayangan Ray jatuh berserakan dilantai.

"Peduli amat setan." umpat Ray sembari merebahkan tubuhnya memunggungi Rey.

Baru saja Ray memejamkan kedua matanya tiba-tiba Ray merasakan pergerakan di belakangnya membuat Ray refleks berbalik melihat siapa pelakunya.

Rey.

Creepy doll itu duduk di belakang punggung Ray membuat Ray tersenyum penuh kemenangan. "Aku tau, kau membutuhkanku."

Mata creepy doll itu berkedip menandakan dirinya mengaku mengalah. Begitulah kebiasaan Rey harus menyerah kepada Ray yang dominan lebih nyata ketimbang dirinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku