Alhamdulillah.
Penulis : Lusia Sudarti.
"Dek ... seandainya Abang belum bisa membahagiakan kalian disisa hidup Abang. Abang mohon maaf yang sebesar-besarnya ....!"
"Emaak, Adek lapar udah masak belum Emak?" tanya Kurnia, Anak keduaku.
Aku terkesiap mendengar ucapan dan pertanyaannya. "Belum Sayang. Maafin Emak ya," ucapku pilu sembari merengkuhnya dalam pelukan. Tak terasa titik-titik embun menggenang dalam pelupuk mataku.
"Ya sudah kalo gitu Adek Nia main dulu ya mak, nanti kalo emak udah mateng masaknya, Adek panggil aja ya Mak!" ujarnya sambil beranjak dari kedua pahaku. Aku mengangguk dan mencoba untuk tersenyum. "Iya Sayang," sahutku dengan suara parau
Selepas kepergiannya aku menangis dalam diam, tubuhku luruh kelantai.
'Ya Allah, tunjukkanlah kuasa-Mu yang Maha besar.
Namaku Hanum aku hidup bersama Suami dan kedua orang Anakku. Anak sulungku bernama Fandi, ia duduk di kelas dua SD, Kurnia masih berusia empat tahun. Suamiku bernama Hardi, ia bekerja sebagai buruh serabutan. Sedangkan membantu bekerja sebagai buruh cuci setrika dari rumah kerumah.
Namun, baik penghasilanku atau pun
Bang Hardi belum mencukupi semua kebutuhan rumah tangga kami.
Zaman sekarang kebutuhan pokok telah melambung.
Kami tinggal di rumah gubuk sederhana peninggalan orang tua Bang Hardi.
Rumah tangga kami baik-baik saja, Bang Hardi tipe lelaki yang baik dan bertanggung jawab.
Aku termenung seorang diri, sementara Bang Hardi belum kembali dari bekerja sebagai buruh cangkul di sawah tetangga.
Aku berfikir kira-kira apa yang dapat kumasak untuk makan siang ini.
Kulangkahkan kakiku dengan langkah yang tertatih menuju tudung saji yang berada diatas meja makan persegi yang telah usang.
Disana hanya tersisa sekitar dua sendok makan sambal terasi di dalam mangkuk plastik berwarna hijau, dan dipiring kecil tersisa beberapa potong kepala ikan asin sisa semalam.
Dan juga beberapa potong singkong rebus sisa sarapan tadi pagi.
Aku mengedarkan tatapanku kesebuah plastik yang tergantung disamping rak piring yang terbuat dari kayu. Aku melangkah untuk memeriksa isi kantong plastik yang tergantung.
Kedua netraku membola, aku melihat isinya dengan rasa bahagia.
'wah beras AKING rupanya. Alhamdulilah Ya Allah ... semua ini akan kuolah menjadi nasi kembali. Untuk Anak-anakku nanti."
Aku memindahkan beras aking tersebut kedalam wadah, kutakar dahulu. Dua kaleng susu, lumayan untuk pengganti nasi.
Aku mencuci beras aking dengan doa semoga menjadi berkah buat keluargaku.
Dengan cekatan aku menyalakan api ditungku sederhanaku. Ya karena melonjaknya bahan pangan, aku tak mampu membeli gas buat memasak dikompor.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Setengah jam kemudian nasi pun telah matang, segera kuangkat dari kukusan dan kutaruh di sangku agar cepat dingin, aku mengambil kipas yang terbuat dari anyaman bambu untuk mempercepat proses pendinginan. Namun Kurnia telah berada dibelakangku, rupanya ia benar-benar kelaparan.
"Emak, udah masaknya!" Kurnia muncul dari pintu dapur dan menghampiri aku yang sedang menyendok nasi aking yang masih mengepulkan uap panas.
"Udah Sayang, ayo kita makan!" jawabku sambil mencuci tangannya.
"Enggak apa-apa lauknya pake kepala ikan asin dulu ya? Nanti jika kita punya uang kita beli ikan asin yang segar," ujarku kepadanya dengan pelan.
"Iya Mak, gak apa-apa kok. Enak itu," sahutnya dengan kedua netra berbinar. Aku menghela nafas perlahan, hatiku sedih bagai tercabik-cabik.
Aku meniup nasi yang masih panas dan menambahkan kepala ikan asin yang kupotong kecil-kecil kedalam nasi lalu menyuapkan kepada Kurnia.
Ia makan dengan begitu lahap, senyum manis tersungging dari kedua bibirnya.
"Mak ... kok rasanya gak sama kayak nasi yang biasa Adek makan ya?" tanyanya dengan mulut penuh dengan nasi.
Aku tertegun sesaat sebelum aku menjawab pertanyaan polosnya.
"Iya Sayang karena nasi yang ini adalah nasi aking."
Kurnia menatapku sesaat kemudian ia fokus kembali kearah piringnya.
"Nasi aking itu nasi yang bagaimana Mak?" tanyanya lagi.
/0/21097/coverorgin.jpg?v=111431a271dd4eda21748f6fb5bfe3d9&imageMogr2/format/webp)
/0/16614/coverorgin.jpg?v=22b065b3fd196a5d0aa4598fce04feab&imageMogr2/format/webp)
/0/12435/coverorgin.jpg?v=64f8d4062844170c933fd79480fd5f99&imageMogr2/format/webp)
/0/20731/coverorgin.jpg?v=712e6cb13336384ac8cf4241cbc8dded&imageMogr2/format/webp)
/0/3863/coverorgin.jpg?v=dd541e9306aeca030ade281c09d46f41&imageMogr2/format/webp)
/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
/0/14473/coverorgin.jpg?v=b98912be56cc2351c9b34aed1f31055a&imageMogr2/format/webp)
/0/15868/coverorgin.jpg?v=0e7f595c1ce9e6abf6823cbfc41cca45&imageMogr2/format/webp)
/0/8546/coverorgin.jpg?v=fbf9b0193808dfbf370ab42642e71e9f&imageMogr2/format/webp)
/0/28864/coverorgin.jpg?v=ea2dee007ad4e0ae33ded56bdb1cfb1d&imageMogr2/format/webp)
/0/5188/coverorgin.jpg?v=4dbc4d153014a240082e717e87b8d288&imageMogr2/format/webp)
/0/20819/coverorgin.jpg?v=81267841f6c5c8431c822d06c1bbb882&imageMogr2/format/webp)
/0/16527/coverorgin.jpg?v=2e54cd0c6edd768dfd375d41be6de1f3&imageMogr2/format/webp)
/0/19587/coverorgin.jpg?v=94b223d41808f39abb1de8f12c73aff5&imageMogr2/format/webp)
/0/2577/coverorgin.jpg?v=6aec95d891445bca0fac94148f036350&imageMogr2/format/webp)
/0/14510/coverorgin.jpg?v=bb6ef97f7daf000e88fd854ec695eab7&imageMogr2/format/webp)
/0/7816/coverorgin.jpg?v=a6aa06801d1e6333e837d876b43129de&imageMogr2/format/webp)
/0/16672/coverorgin.jpg?v=d87fa4f845b95b8f9e90e34b460bad5e&imageMogr2/format/webp)
/0/15792/coverorgin.jpg?v=fbf693eaf1b9e8d8944183e7cb0d21e7&imageMogr2/format/webp)