Suci adalah seorang Ibu rumah tangga yang baik hati, lembut penyayang serta begitu setia. Ia mendampingi Suami yang telah menikahinya selama sepuluh tahun dan di karuniai tiga orang Anak. Suaminya bekerja sebagai seorang Mekanik freelance. Tak peduli siang dan malam mereka banting tulang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Memang takdir manusia itu berbeda, seberapa tekun dan rajinnya seseorang, jika memang belum waktunya untuk berhasil, maka belum berhasil. Mereka selalu mensyukuri berapa pun rezeqi yang mereka dapatkan. Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, selalu saja ada prahara. Hinaan dan cacian juga seorang yang ingin menghancurkan biduk rumah tangga mereka. Lalu, bagaimana mereka menjalani dan menghadapi semua itu? Ikuti kisah ini!
Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi.
Penulis : Lusia Sudarti
Ma, adek lapar.
Part 1.
"Ma, adek lapar!" rengek si bungsuku, Nayla.
Hatiku begitu pedih mendengar rengekannya.
Huuffftt.
Kuhela napas yang begitu sesak menghimpit rongga dada.
"Iya, Nak, sebentar ya, mama masak sayur dulu," sahutku lirih.
Dia hanya mengangguk seraya tersenyum ceria, lalu bangkit menuju keluar untuk melanjutkan bermain bersama teman-temannya.
Aku segera beranjak menuju dapur untuk memasak air kuah sayur bening daun katuk yang akan kupetik dari kebun belakang rumah.
Satu ikat daun katuk telah berada ditanganku, kutaruh diatas dahan pohon mangga yang bercabang, aku mencabut rumput-rumput yang telah tumbuh disamping rumah, karena kesibukanku dalam bekerja, rumah pun tak terurus.
Aku memandang berkeliling rumput telah memenuhi kebun belakang, seandainya aku punya uang, aku beli obat semprot untuk membasmi rumput.
Jangankan untuk membeli obat yang harga ratusan ribu, untuk membeli masako yang harganya lima ratus perak aja tak mampu!
Aku hanya mampu menarik napas perlahan, sembari mengusap dada yang terasa nyeri.
Aku berjongkok kembali mencabut rumput-rumput, air mataku meleleh, hatiku benar-benar terluka dengan semua kenyataan yang kuhadapi.
'Ya Allah ...''
Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku, sesekali aku menyeka air bening yang terus mengalir dari kedua netraku.
Wajahku yang mungkin terlihat sayu.
Saat seperti ini yang membuatku teringat akan ibundaku yang telah tiada, ketika Nayla berusia delapan bulan, Ibundaku menghembuskan napas terakhir, karena menderita penyakit stroke selama empat tahun.
'Bu, Suci kangen,'' aku tersedu-sedu seorang diri. Namun jemari lentik ini tetap bekerja mencabut rumput hingga bersih.
Bapak yang kini bekerja di rumah saudaranya di Lampung Barat, beliau membantu pamanku memetik kopi.
Aku sebatang kara, hanya memiliki suami dan ketiga buah hatiku.
Astagfirullah! Aku tersentak kaget, dan segera tersadar dari lamunanku.
Dengan tergesa aku masuk mengambil mangkuk dan memetik tangkai katu dari batangnya.
Setelah mencucinya, air untuk memasak sayur ternyata telah mendidih dan tersisa separuhnya, aku tertegun, ternyata aku begitu lama ya berada di belakang rumah mencabut rumput.
Namun, saat aku mencari bumbu-bumbu penyedap masakan, semua telah habis. Lalu aku meraih toples tempat gula putih, nahasnya itupun habis.
'Ya Allah, bagaimana ini? Semua habis, uang pun habis,' aku membatin, tak urung meleleh air mataku tanpa bisa dibendung lagi.
Kuambil ponsel diatas meja, aku mencoba untuk mencari pinjaman, biarlah meskipun berbunga yang penting Anak-anak bisa makan untuk dua hari kedepan, sambil menunggu bayaran dari pekerjaan kami.
Tetapi aku masih menimbang dan berpikir, dapat atau tidak untuk bayarnya?
Aku ragu untuk menghubungi orang yang biasa memberikan pinjaman berbunga. Antara pinjam atau tidak.
Kutaruh kembali benda pipih itu, aku takut nanti tak sanggup membayarnya.
Untuk sekian lamanya aku hanya termenung, dengan hati pedih seolah tersayat sembilu, aku berpikir keras.
Dari mana bisa mendapatkan uang untuk sekedar membeli beras untuk makan Anak-anakku.
"Ma, Adek lapel," tiba-tiba Nayla telah berdiri di belakangku, seketika aku menoleh kepadanya, melihat wajahnya yang murung, tak urung membuatku semakin hancur.
"Sabar ya Sayang, belum mateng airnya," dalihku sembari memeluknya.
"Ya udah, Adek main lagi ya Ma!" ujarnya sambil berdiri dan melangkah keluar dengan kaki diseret.
'Ohhh, Ya Allah, cobaan apa yang Engkau tetapkan kepada kami ini."
Aku kembali berjalan ke arah dapur, dengan air mata yang terus membanjiri pipiku.
Tubuhku tiba-tiba luruh, lututku tak mampu menopang beban tubuh yang seolah begitu berat.
Daya pikir pun seolah buntu dan tak berfungsi. Yang ada dalam hatiku hanya ada duka.
Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku tentang pinjaman berbunga.
Biarlah urusan bayar nanti dapat dari mana, yang terpenting saat ini anakku tak kelaparan.
Kemudian tanpa berpikir dua kali aku bangkit dan berlari mencari benda pipih berwarna hitam untuk mencari pinjaman.
Setelah menemukannya, aku melangkah menuju teras.
Kubuka aplikasi berwarna hijau dan mencari kontak yang biasa memberikan sejumlah pinjaman berbunga.
[Tan, maaf aku mau pinjam uang 100.000.] aku segera mengirim pesan.
Ting!
Suara terkirim dan langsung centang biru. Kebetulan tante Loly sedang online.
[Aduh Mbak, maaf, bukan nggak boleh nih, tapi kebetulan sedang kosong, mungkin lusa Mbak adanya.] balasan tante Loly
[Oh iya ,Tan nggak apa-apa kalo belum ada.]
[Ya maaf ya Mbak.]
"Gimana ini?" aku kembali membatin.
Lalu kucoba mencari kontak orang yang masih ada sisa bayaran kami.
[Assalamualaikum, Mbak, maaf saya mau minta sisa bayaran kemarin.]
Kulihat status online, sedang mengetik.
[Sabar Mbak aku belum dapat uang. Kalo sudah ada pasti aku bayar kok, gak harus ditagih terus, bosen tau bacanya!] balasan pesan itu sangat menyakitkan.
Aku menghela napas panjang saat membaca balasan tersebut. Aku hanya mengusap dada yang terasa nyeri. Menagih upah atas tenaga yang telah diberikan, tetapi rasanya seperti mengemis.
[Ini juga sudah sabar Mbak, janji diawal akan Mbak sama Mas-nya bayar kalau sudah terjual akan dibayar lunas]
[Tapi mengapa sampai sekarang belum ada tanggapan sama sekali, bahkan datang kerumah saya pun tidak!] ku kirim kembali balasanku.
[Mbak, saya juga belum punya uang, mobil kemarin belum lunas, masih di DP sama yang beli, untuk bayar sampean. Dan saya pun berhutang lho Mbak, untuk bayar Mbak kemarin, jadi tolong deh sabar dikit!]
[Nanti pasti saya bayar kok, jangan takut!] pesannya lagi.
Pesan itu hanya aku lihat, tanpa berniat membalasnya.
Aku termenung sembari berdiri diambang pintu. Anganku jauh menerawang, hingga terbersit pemikiran dangkal yang sempat melintas di pikiranku.
Ingin rasanya aku mengakhiri semua ini, membawa serta Anak dan suamiku untuk menyusul Ibuku yang telah tenang di alam sana.
Tiba-tiba di telingaku terngiang suara halus almarhum Ibu dan Mertuaku, agar aku bersabar menghadapi semua ujian dan cobaan ini.
'Astagfirrullah, apa yang aku pikirkan ini? Ampuni hamba-Mu ini Ya Allah," lirihku dalam hati ketika aku hampir terbujuk rayuan syetan.
'Astagfirullah! Astaghfirullah!' Berulang kali aku terlihat mengucap istighfar dan mengusap wajahku.
'Berilah sedikit rezeki-Mu Ya Allah,' Aku berdoa selalu dalam hati agar dimudahkan segala urusan dan diberikan rezeki untuk keluarganya.
Lamunanku buyar ketika Nayla mengagetkanku.
"Ma, Adek lapar sudah belum masaknya ..."
Kembali Anakku memelas hingga hati ini terasa bagaikan ditikam pisau yang sangat tajam.
(Bersambung)
Bab 1 Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
24/10/2024
Bab 2 Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
24/10/2024
Bab 3 Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
24/10/2024
Bab 4 Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
24/10/2024
Bab 5 Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
24/10/2024
Buku lain oleh Lusia Sudarti
Selebihnya