/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
Langit sore merona jingga, membalut halaman rumah kecil bercat putih itu dengan cahaya hangat. Aroma ayam bakar yang baru matang menyelinap ke udara, berpadu dengan wangi bunga melati dari pot di teras. Dari luar, rumah itu tampak seperti potret sempurna sebuah keluarga bahagia-rapi, hangat, dan penuh tawa.
Di ruang makan, Aruna sedang menata piring di atas meja. Rambut hitamnya diikat sederhana, beberapa helai jatuh di sisi wajahnya. Ada kelembutan dalam setiap gerakannya-seperti seseorang yang terbiasa merawat, memberi, dan menjaga.
"Bunda! Ayamnya sudah boleh dimakan belum?" suara riang Aila, putri kecilnya yang baru berusia lima tahun, terdengar dari ruang tengah.
Aruna tersenyum. "Tunggu Ayah pulang dulu, sayang. Lagi di jalan kok."
Seolah menjawab, suara pagar berderit. Langkah tergesa terdengar di teras. Rayhan muncul dengan setelan kerja yang masih rapi, dasinya sedikit longgar, senyum hangatnya seperti cahaya kecil di penghujung hari.
"Ayah!" Aila berlari menghampiri dan memeluk kakinya.
Rayhan jongkok, mengangkat putrinya. "Aila cantik nungguin Ayah, ya?" tanyanya sambil mencium pipi kecil itu.
"Iya! Bunda nggak mau makan sebelum Ayah pulang!" ujar Aila, pipinya menggembung lucu.
Rayhan melirik istrinya. "Aturan Bunda memang keras, ya," candanya.
Aruna tersenyum samar, tapi matanya memperhatikan wajah Rayhan lebih lama dari biasanya. Ada gurat lelah di sudut matanya. "Kamu capek? Meeting lagi?" tanyanya lembut.
Rayhan menaruh Aila, lalu duduk di kursi makan. "Iya, lumayan. Tapi lihat kalian berdua, rasanya capek hilang semua." Ia mengecup kening Aruna.
Mereka makan malam bersama, berbincang ringan tentang rencana akhir pekan, tentang Aila yang ingin ke taman bermain, dan tetangga baru di ujung jalan. Suasana itu hangat-nyaman. Seperti potongan kecil kebahagiaan yang membuat Aruna sering berpikir: hidupnya sudah lengkap. Namun, kebahagiaan kadang terlalu indah... sehingga menakutkan.
Setelah makan, Rayhan mengajak Aila bermain di ruang tengah. Aruna membereskan piring, mendengar tawa mereka dari dapur. Sesekali ia melirik: Rayhan menggendong Aila, memutar-mutar hingga tawa anak kecil itu memenuhi ruangan.
Pemandangan itu menghangatkan hatinya-namun juga menorehkan rasa aneh. Bukan karena ia tak bahagia, tetapi karena belakangan ini, ia sering menangkap Rayhan menatap kosong ke luar jendela, atau memandangi ponselnya terlalu lama. Kadang, teleponnya berdering lama... dan Rayhan memilih menjawab di luar rumah.
Malamnya Aila sudah terlelap di kamarnya. Aruna keluar ke teras dengan secangkir teh hangat. Udara malam membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Lampu jalan memantulkan cahaya kuning di aspal yang masih lembap.
Rayhan menyusul, duduk di kursi rotan sebelahnya. "Teh malam-malam? Tumben."
"Biar hangat." Aruna menyerahkan satu cangkir padanya. "Kamu kelihatan makin sibuk akhir-akhir ini. Ada proyek baru?"
Rayhan menyeruput pelan. "Iya, ada beberapa. Deadline-nya mepet." Jawabannya sederhana, tapi nadanya hati-hati. Seolah setiap kata harus disaring dulu sebelum keluar.
Aruna menatap cangkirnya. "Kalau ada yang bikin kamu capek... atau gelisah, kamu cerita ya. Jangan simpan sendiri."
Rayhan tersenyum tipis, matanya menerawang. "Aku nggak nyimpen apa-apa kok, Sayang. Semua baik-baik aja."
Ia menggenggam tangan Aruna. Hangatnya menenangkan, tapi entah kenapa, Aruna merasa ada sesuatu di balik genggaman itu-sesuatu yang tak diucapkan.
Malam semakin larut. Aruna berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit. Rayhan sudah terlelap di sebelahnya. Tapi matanya tak kunjung terpejam.
Tiba-tiba, ponsel Rayhan di meja samping bergetar pelan. Sekali. Dua kali. Layar menyala, menampilkan nama yang tak ia kenal "Maya."
Dada Aruna menegang. Tangannya terhenti di udara, ragu antara membiarkannya atau mengambilnya. Ia menoleh ke arah Rayhan-suaminya tetap tidur, napasnya teratur. Ponsel bergetar sekali lagi. Kali ini muncul pesan singkat:
/0/28595/coverorgin.jpg?v=cc370ef253bdb5c2636bd21d34393e13&imageMogr2/format/webp)
/0/20602/coverorgin.jpg?v=d75af516ce6fb953d1ae24f7069b49dd&imageMogr2/format/webp)
/0/3467/coverorgin.jpg?v=526864a4342f26f6a9b70352d999bf13&imageMogr2/format/webp)
/0/26864/coverorgin.jpg?v=a9a6971efe5b936b2c7adbf456993ce9&imageMogr2/format/webp)
/0/20082/coverorgin.jpg?v=5d2809df48ebf1920c3bf5ca6292bba0&imageMogr2/format/webp)
/0/18648/coverorgin.jpg?v=f31a92930e18c8e7fa3786c20bae9d2f&imageMogr2/format/webp)
/0/20079/coverorgin.jpg?v=bf2c6d1a33f67ca837dd91dd9c25cda5&imageMogr2/format/webp)
/0/21121/coverorgin.jpg?v=bee36f504864146c898793df8909b8a0&imageMogr2/format/webp)
/0/10727/coverorgin.jpg?v=4eb24ffd02e72b0564aca571fd2e35f1&imageMogr2/format/webp)
/0/30642/coverorgin.jpg?v=41240a2e48e1064cb6b8ed23eee2d95d&imageMogr2/format/webp)
/0/27626/coverorgin.jpg?v=c16d6becab58d3bd04c34b5bb7c29c3d&imageMogr2/format/webp)
/0/27430/coverorgin.jpg?v=3860a8d27d361bdcbc04f106f9c7e578&imageMogr2/format/webp)
/0/19514/coverorgin.jpg?v=8129e08c5be673a953fc32d0071ef17d&imageMogr2/format/webp)
/0/6103/coverorgin.jpg?v=1ef3314fd99a3a1b8b32990b9a885025&imageMogr2/format/webp)
/0/26866/coverorgin.jpg?v=61d48a61e59f46241004869e31b436c0&imageMogr2/format/webp)
/0/5195/coverorgin.jpg?v=85a162f7c170b2aebbda49a0c031e545&imageMogr2/format/webp)
/0/8337/coverorgin.jpg?v=502381ba3eb3a2d44a7b59972f01a83c&imageMogr2/format/webp)
/0/29462/coverorgin.jpg?v=967cc3fc25cc7c93f4e2b94122932fe4&imageMogr2/format/webp)