Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Malam ini rasanya begitu kelam. Wanita cantik itu menatap sepasang kekasih yang duduk di depannya dengan sedih. Mereka terlihat begitu mesra, tertawa dan sesekali mengecup satu sama lain.
‘Seharusnya yang ada di sana itu aku,’ pikirnya. Tapi dia tidak boleh berpikiran seperti itu. Mungkin ini adalah takdirnya. Takdir macam apa ini? Begitu buruk!
Wanita yang sedang cemburu itu bernama Laura Elle. Seorang Physical Therapy yang bekerja bersama para atlet di USA. Hidupnya bisa dibilang sangat enak dan lebih dari berkecukupan. Tapi nyatanya, hatinya tidak merasa bahagia melihat cinta pertamanya bercumbu di hadapannya.
Hari ini, alumni dari sekolah SMA-nya sedang mengadakan reuni. Mereka melakukan reuni di sebuah Bar mewah. Di negara bebas aturan seperti New York ini memang tidak pernah memikirkan baik dan buruknya hidup yang sedang kita jalani. Seperti Laura, dia adalah orang yang ahli dalam kesehatan fisik, tapi nyatanya dia malah lebih menyukai alkohol daripada air putih.
Di acara seperti ini seharusnya semua orang bersenang-senang, mendentingkan gelas satu sama lain dan menari bersama. Tapi berbeda dengan Laura yang malah memasang wajah murung dengan bibir yang memaksakan tersenyum dan berusaha untuk terlihat menikmati acara.
Kenapa?
Karena disana, diseberangnya duduk sepasang kekasih yang sedang tertawa bersama. Pria yang ada di samping wanita itu adalah cinta pertamanya. Namanya Hary. Namun, pria itu memilih bersama dengan teman lamanya yang bernama Leni. Huh … Laura sedikit kesal mendengar nama itu karena huruf awal mereka sama. Tapi sikap Hary masih seperti biasanya. Tetap baik dan perhatian. Dan Laura juga harus bisa bersikap seperti biasanya. Walaupun itu tentu saja sulit untuknya.
“Ra, ngobrol dong! Kamu diem aja kayak patung,” ujar salah satu teman yang duduk di samping Laura.
“Ehh, aku lagi pusing banget sama pekerjaan nih. Maaf yaa,” jawab Laura sambil tersenyum kaku.
Laura diam lagi. Matanya tidak bisa lepas dari dua insan itu. ‘Tidak boleh!’ Laura mengingatkan diri sendiri. Akhirnya Laura harus menguatkan dirinya sampai acara selesai, menahan diri agar tidak membalikkan meja saking cemburunya.
Beberapa gelas alkohol tidak akan membuat Laura mabuk. Jadi dia dengan santai memasuki mobilnya tapi tangannya dihentikan membuatnya harus berbalik dan menatap orang yang menghentikannya.
“Laura,” panggil Hary membuat jantung Laura terasa berhenti.
Mata bulat berwarna coklat terang itu menatap pria bermata lebih gelap. “Ada apa, Hary?” Laura menahan dorongan hari untuk memanggilnya ‘sayang’. Tapi matanya bertabrakan dengan kekasihnya.
“Kamu mabuk?” tanyanya.
“Tidak,” jawab Laura sambil menggeleng pelan.
“Kamu serius?”
“Aku baik-baik saja, Hary. Jangan khawatirkan aku.” Laura tersenyum tipis dan berusaha untuk lepas darinya.
“Laura, kalau kamu mabuk, kamu bisa pulang bersama kami. Hary tidak minum alkohol.” Wanita disamping Hary berkata dengan penuh pengertian.
Laura kembali tersenyum. “Aku baik-baik saja, Leni. Kalian tahu kalau aku kuat minum.”
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati dijalan. Hubungi aku kalau sudah sampai rumah,” ujar Hary sebelum mempersilahkan Laura memasuki mobilnya.
Laura melajukan mobilnya sampai siluet pria itu menghilang saat mobil berbelok. Dan saat itu pula Laura menangis. Bibirnya bergetar dengan tangan yang meremas stir kencang-kencang.
“Kenapa, hiks …, kenapa selalu sesakit ini?” gumam Laura sambil sesegukan.
Sepanjang jalan, Laura menangis dan terus merutuki dirinya karena selalu merasakan hal seperti ini. Sampai akhirnya mobilnya terparkir di sebuah apartemen di tengah kota Manhattan.
“Hiks … Cukup, Laura! Ini terakhir kalinya kamu menangis seperti ini! Memalukan!” ujar Laura, masih menangis di dalam mobil. Bagaimana bisa dia membenci wanita sebaik Leni? Dia tidak pantas untuk dibenci. Kemudian Laura keluar dari mobil dan masuk ke apartemennya.
Laura segera pergi mandi dan mencoba untuk mendinginkan kepalanya. Karena hari ini begitu melelahkan, Laura tertidur dalam waktu singkat sampai matahari terbit hampir tengah hari.
***
“Pak Tian, jadi bagaimana keputusan anda?”
Seorang pria bermata tajam dengan bibir tipis dan rahang yang lebar sedang menatap pria paruh baya di hadapannya dengan datar tanpa ekspresi.
“Keputusanku adalah tidak,” jawabnya dengan suara berat.
“Apa? Kenapa?” tanya pria itu lagi, penuh ketidak percayaan.
Pria bernama Tian itu tersenyum miring sambil melirik sebuah kotak hitam di depannya. “Pak Lee, kau menawarkan benda murahan ini padaku? Aku bahkan punya yang lebih bagus lagi dan terbuat langsung di Rusia. Barang yang kau bawa ini masih buatan Asia. Spesifikasinya masih jauh dari barang milikku.”
Benar, mereka sedang bernegosiasi mengenai senjata ilegal. Pria bermarga Lee ini sedang menawarkan barangnya untuk dijual pada Tian.
“Keparat! Apa kau merendahkanku?!” Lee mulai terbawa emosi sedangkan Tian masih memasang wajah tenang.
Para bodyguard di belakang masing-masing ketua sudah bersiap siaga, takut-takut kalau ada yang tiba-tiba menyerang bos mereka.