Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, Ia harus terbangun oleh suara dering handphonenya. Ia berjingkat kaget membuka mata dengan paksa, terasa pedih karena kantuk masih menguasainya. Badannya masih sangat ingin menempel di kasurnya.
Zehan melenguh kesal sambil tangannya berusaha meraba handphone diatas meja kemudian membalikannya, mematikan dering. Sesaat membaea ketenangan kembali, ia meringkuk ke dalam selimut, berusaha kembalu masuk kembali ke alam mimpi.
Baru saja berhasil masuk ke alam tidur, handphonenya menjerit lagi. Ia kembali terkejut, terjaga dan mau tak mau melihat handphonenya. Siapa yang cukup merasa terhormat menghubunginya di pagi buta, padahal ia baru saja memejamkan mata tak lebih dari dua jam.
Ia melihat layar handphonenya menunjukan sebuah kontak asing yang belum tersimpan. Zen mengerut kening, hanya beberapa orang saja yang mengetahui nomer pribadinya, dan orang ini rupanya merasa cukup penting untuk dapat mengusik tidurnya.
"Halo?" Ia menyapa parau. "Loe nggak liat jam berapa ini, heh!!"
"Zen?" Jawabnya langsung. Zen langsung berjingkat bangkit mendengar suara datar dingin yang dari nadanya sudah terdengar ia sedang tidak dalam mood yang baik. Zen langsung membelakan mata.
"Arizo ?" Zen menebak, ia melihat kembali kontak yang menelponnya, dua digit nomer di depannya menunjukan kode negara yang sama dengannya saat ini. Menandakan si penelpon berada di negaranya. Zen juga tak mungkin salah mengenali suara datar bertekanan memerintah itu.
"Bangun sekarang, temui gue di mansion."
Zen masih berusaha menyadarkan diri, "Loe udah balik, Riz?"
"Apa harus gue perjelas?! Kemari dalam satu jam, atau gue perintahin anak buah Evon buat seret loe kemari." Komunikasi berakhir. Zen masih bingung sebentar. Belum sadar sepenuhnya.
Ia meyakinkan diri bahwa ia sudah bangun dan tidak dialam mimpi. Arizo telah kembali. Seharusnya ia masih ada di belahan dunia lain, setidaknya setahun ke depan sesuai rencananya dulu. Arizo kembali lebih cepat, pertanda ada sesuatu yang begitu mendesak atau hal besar terjadi. Zen menduga masalah apa yang membuat Arizo menelponnya di pagi buta. Zen sedikit cemas ia telah melakukan kesalahan fatal tanpa sengaja selama ia di delegasikan pekerjaan Arizo di perusahaan.
Zen terus bertanya dengan pikirannya sendiri, bahkan ketika ia sudah sampai di depan ruang kerja Arizo, dalam mansion tempat tinggalnya.
Seorang pria tinggi berbadan kekar dengan pandangan mata galak membukakan pintu. Pakaiannya serba hitam membuatnya semakin terlihat garang. Zen memandangnya yang sedikit menundukan kepala memberi sapaan dengan wajah dingin.
"Evon." Zen menggumam. Ia tak salah menduga, jika Evon telah kembali, begitupun dengan tuannya.
"Silahkan, tuan muda sudah menunggu." Evon berujar dengan suara baritonnya. Zen menepuk pundaknya seiring ia melangkah melewatinya.
Zen langsung masuk dan terlihat seorang pria duduk melihat bentangan langit fajar. Duduk memunggunginya. Zen melihat dari tempatnya berdiri, pria itu dari belakang sangat mirip dengan Arizo, posturnya dan penampakan punggungnya yang kuat, tapi ia duduk diatas kursi roda. Zen mengernyit, ini ruang kerja Arizo yang tak mungkin bisa dimasuki sembarang orang.
"Riz?" Zen memanggil. Sosok itu memutar kursi rodanya seolah ia telah begitu mahir menggunakannya. Zen terkejut melihat sosok itu memang Arizo yang ia kenal. Tatapan matanya menindas dan auranya yang arogan, itu memang Arizo.
Zen berjalan mendekat meyakinkan penglihatannya, sementara Arizo memandangnya dengan tatapan tajam. Zen masih melihat Arizo yang dulu, pria temperamen dengan wajah dingin, penguasa Giantara Empire yang adidaya. Hanya saja ia kini duduk di kursi roda.
"Loe kenapa di kursi roda?"
"Apa loe perlu bertanya kenapa orang harus duduk di kursi roda?" Ujar Arizo membalik pertanyaan Zen. Zen masih tak mempercayainya, ia memandang Arizo, mencari celah dimana Arizo sekiranya sedang melakukan prank, tapi Zen berani bersumpah seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat Arizo bercanda dalam hal apapun.
"Apa yang terjadi sama loe, Riz?"
Arizo tak langsung menjawab, ia menggerakan kursi rodanya yang ia kendalikan secara otomatis dengan jarinya. Mendekat ke Zen yang masih setengah terbengong.
"Kecelakaan." Arizo menjawab singkat.
"Kecelakaan?" Zen mengulang, "Loe kecelakaan? kapan ? Kenapa nggak kasih tahu gue?"
Arizo menatap Zen tenang, "Gak penting sekarang, Zen."
"Riz, loe kecelakaan dan lumpuh. Loe anggap itu nggak penting?" Zen menaikan nada suaranya, tak percaya mendengar ucapan Arizo. Ia memang terlihat bisa menerima keadaanya, tapi dua tahun lalu, Zen masih melihat Arizo berdiri gagah, memerintah kerajaan bisnisnya.
Arizo malah terlihat menghela nafas sambil memijit jidatnya, nampak pusing dengan kebawelan Zen.
"Ada yang lebih penting yang harus gue bilang sama loe," kata Arizo mengubah topik.
Zen memandang Arizo yang memang tak sedikitpun terlihat lemah meski terduduk di kursi roda, justru diatas kursi rodanya Arizo terlihat seperti membawa tahtanya kemana-mana. Arizo tak begitu terpengaruh dengan kondisinya, ia masih dengan tampang serius yang sanggup membuat siapapun dihadapannya merasa tertindas.
"Ada apa? Perusahaan nggak loe jual diam-diam kan?" Zen mulai berusaha tenang menerima. Arizo menggeleng seperti menanggapi serius celetukan Zen.
"Kondisi gue sekarang, ? karena Yudha berusaha membunuh gue." Arizo memulai.
Zen memasang muka tak mengerti, "Yudha? Loe ketemu sama Yudha?" Nama itu sudah lama sekali tak terdengar, bahkan jarang disebutkan bahkan sebelum Arizo tinggal di luar negeri.
Arizo mengangguk sekali, "Dia yang membuat gue kecelakaan, sayangnya dia nggak cukup beruntung bikin gue kehilangan nyawa."
Zen mendesah pelan, belum selesai keterkejutannya melihat kondisi Arizo, kini ia mendengar masalah baru. Arizo dan Yudha sudah menjadi musuh sejak lama, seingatnya dimulai saat Arizo tak sudi lagi memanggil Yudha dengan sebutan papa.
"Loe yakin Yudha mau bunuh loe? Atau itu cuma prasangka?" Tanya Zen.
"Siapa lagi yang menginginkan gue tiada, selain Yudha?" Arizo meyakinkan.
Zen setengah tak percaya, seburuk apapun hubungan mereka, namun tetap saja mereka masih darah daging, meski memang dulu perlakuan Yudha sebagai ayah memang tidak baik, membuat rasa benci dan dendam Arizo terhadapnya semakin mengakar.
"Warisan kakek sudah di sahkan," ujar Arizo tanpa menunggu respon Zen. "Seluruhnya di serahkan ke gue."
Zen menarik nafas melipat tangannya di depan dada. "Jadi, itu alasan Yudha membuat loe celaka, dan menginginkan loe mati?"
Arizo menatapnya dengan sudut mata tajam, "Ya." Nada suara terdengar datar seperti memasrah.
"Trus?"
"Dia akan memanfaatkan kondisi gue buat merebut Giantara, gue nggak akan membiarkan itu." Arizo seperti sosoknya yang dulu, tetap ambisius tak ingin dikalahkan. Zen beringsut duduk di sofa, merasakan setiap sendinya seperti luruh.
"Jadi apa rencana loe?"
Zen memandang Arizo yang terlihat menatapnya penuh arti, menandakan dikepalanya telah ada sebuah rencana besar. Zen tak pernah bisa menebak isi kepala Arizo meski telah dua puluh tahun lebih mengenalnya. Ia selalu punya pemikiran yang terkadang tak terfikir oleh siapapun.
"Kalau gue nggak ada, Aileen akan jadi pewaris tunggal," kata Arizo merapal. Dalam benak Zen langsung muncul bayangan senyum seorang wanita begitu Arizo menyebut nama itu.
"Tentu saja, dia adik loe, apa ada yang salah?"
"Yudha berfikir akan merebut perusahaan lewat Aileen."
Zen menghela nafas dan memutar tubuhnya melihat kearah Arizo yang masih menatapnya serius.
"Gimana dia mau memanfaatkan Aileen? Loe kan masih hidup, Yudha juga tidak bisa menuntut apapun karena sudah disahkan jatuh ke tangan loe."
Arizo menggerakan matanya sambil menggeleng pelan, "Yudha bisa menuntut gue, atas.."