Kapan nikah? Pertanyaan yang membuat Arunika merasa muak bukan kepalang. Ia memang telah berusia matang untuk menikah, tapi ia masih belum siap untuk melangkah ke arah sana. Tapi apa jadinya saat tiba-tiba saja ada orang asing yang datang melamarnya? Dan yang lebih mengejutkan, pria itu adalah seorang Gay!! Bagaimana yang terjadi selanjutnya, apakah Arunika akan menerima tawaran pernikahan dari Aksa atau justru menolak permintaan pria itu mentah-mentah. Juga, rahasia besar yang disembunyikan Aksa dan apa sebenarnya alasan Arunika enggan untuk menikah meski usianya telah cukup untuk menjalani kehidupan pernikahan?
"Kamu kapan nikah?"
Pertanyaan yang paling Arunika benci saat acara kumpul keluarga seperti sekarang. Tiap orang yang mendatanginya pasti hanya akan bertanya tiga hal padanya.
"Gendutan, ya sekarang."
"Kerja di mana?"
Dan ada satu yang paling Arunika benci.
"Kamu kapan nikah?"
Menurutnya, pertanyaan seperti itu sudah terlalu basi untuk ditanyakan. Apalagi di waktu momen lebaran seperti sekarang.
Momen di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas segala kesalahan. Namun justru tidak jarang, sebagian dari mereka setelah meminta maaf tanpa sadar kembali menggoreskan luka di hati orang lain.
Ibaratnya, percuma saja meminta maaf tapi ujung-ujungnya tetap menyakiti hati.
Dan setelah Arunika mendengar pertanyaan yang terlontar dari Tantenya, entah yang keberapa kali. Dirinya hanya bisa tersenyum palsu.
Ia sudah terlalu malas untuk menanggapi ataupun sekadar menjelaskan jika dirinya masih belum memiliki niat untuk menikah dalam waktu dekat.
"Cepatan nikah, Nak. Umurmu udah 25 tahun, 'kan sekarang. Masa kalah sama sepupu mu, yang 20 tahun aja udah lagi hamil," perkataan Tante Diana lagi-lagi hanya dibalas senyum tipis oleh Arunika.
Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang dimaksud Tantenya itu.
Seorang perempuan dengan gamis berwarna baby blue juga perut buncit itu tampak tersenyum saat beberapa Tante juga kerabat lain menghampiri dan mengelus baby bump nya.
Arunika tentu ingat betul bagaimana salah satu sepupu cantiknya itu sampai bisa menikah di usia yang begitu muda.
"Kebobolan." Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah pasangan telah lebih dulu memiliki keturunan daripada ikatan pernikahan itu sendiri.
Arunika tentu masih ingat saat dirinya yang harus menemani sang sepupu ke Kantor Urusan Agama untuk mengucapkan janji sumpah pernikahan.
Arunika jadi berpikir, apa lebih memalukan saat seorang perempuan dewasa belum menikah, ketimbang seseorang yang mendapatkan 'bonus' lebih dulu?
Arunika tentu saja tidak bermaksud membandingkan. Ini hanya pemikirannya saja sudah merasa muak dengan pertanyaan seputar pernikahan.
Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah perlombaan yang mengharuskan untuk sampai di garis finish lebih dulu.
Semuanya bergantung dari tiap-tiap orang itu sendiri. Ada yang memang sudah siap dengan kehidupan pernikahan di usia muda, tapi ada juga yang masih ingin menikmati hidup dan belum mau untuk terikat dengan hubungan seserius pernikahan.
Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tentu kebanyakan orang menginginkan pernikahan mereka hanya akan terlaksana sekali dalam hidupnya.
Begitu pula dengan Arunika.
Trust issue soal pernikahan, cerita pengalaman teman-temannya yang telah gagal juga melihat sendiri bagaimana kehidupan pernikahan sepupunya.
Hal itu sudah cukup membuat Arunika kembali berpikir masak-masak untuk menikah di usia muda. Ia tidak ingin menyesal saat membuat keputusan besar dalam keadaan tidak siap.
Kehidupan pernikahan miliknya adalah keputusannya, bukan orang lain.
"Ngelamun aja, kamu. Udah sungkem sama Eyang, belum?"
Sebuah tepukan halus mendarat di bahu Arunika. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita dengan hijab coklat muda tengah tersenyum ke arahnya.
"Udah, dong," jawab Arunika pendek.
"Kenapa nggak gabung di dalem, malah nongkrong sendirian di teras begini."
Arunika menoleh sebentar ke arah Tante Arini yang masih tersenyum manis ke arahnya. Wanita itu tahu apa yang tengah dipikirkan keponakannya ini.
Tante Arini adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya orang yang bisa mengerti Arunika sekarang. Tante Arini juga satu-satunya orang di rumah itu yang tidak menanyakan hal-hal aneh pada Arunika sejauh ini.
Dan karena alasan itulah Arunika merasa nyaman. Ia pernah beberapa kali bercerita pada Tante Arini soal keluhannya itu.
"Nggak usah dipikirin kalo ada yang nanya soal kapan kamu nikah. Pernikahan bukan lomba balap, kok. Bukan soal siapa yang menikah lebih dulu, tapi soal siapa yang benar-benar siap dengan kehidupan setelah pernikahan. Itu yang lebih penting."
"Tapi nggak semua orang bisa punya pikiran se terbuka, Tante. Bahkan, Mama aja sering nanya kapan aku nikah, padahal Mama tahu kalo aku masih belum ada niatan buat ke situ. Aku sampe capek kalo Mama nanya soal pernikahan," tanpa sadar Arunika mengeluh.
Tante Arini mengusap perlahan kepala Arunika. Wanita itu tentu tahu perasaan gadis muda di sampingnya ini, karena dulu ia 'pun mengalaminya.
"Tahu, nggak. Dulu Tante juga sama kayak kamu, loh."
Arunika menoleh cepat, bertanya lewat sorot matanya. Menuntut agar wanita yang lebih dewasa menjelaskan lebih jauh soal perkataannya.
"Kamu pasti nggak nyangka kalo dulu, Tante nikah sama Om Bima pas umur tiga puluh tahun," ucap Tante Arini dengan senyum simpul.
Ekspresi yang ditunjukan Arunika membuat Tante Arini terkekeh, jelas gadis itu terkejut dengan perkataannya.
"Dulu, Tante sampe mau dijodohin sama seorang ustadz gara-gara nggak kunjung menikah, padahal temen-temen dan saudara Tante udah pada menikah dan punya anak. Tapi tante nggak mau. Kamu tahu apa alasannya?"
Arunika menggeleng. Kisah Tante Arini sejauh ini sama dengannya.
"Karena Tante percaya, cinta sejati dan kebahagiaan cuma berasal dari diri sendiri. Mungkin kita bisa bikin orang lain mengubah cara pandang mereka setelah kita menikah ataupun setelah kita punya anak. Tapi hal itu nggak menjamin kalo kita bakalan bahagia," Tante Arini menjeda kalimatnya.
Ia menoleh ke arah Arunika yang masih menatapnya dan tersenyum kecil.
"Kebahagiaan yang sebenarnya, cuma bisa ditentuin sama diri sendiri. Meski kata orang terlambat, tapi sebenarnya enggak. Bukan terlambat, hanya aja waktu kita dan mereka berbeda."
Melihat senyum Tante Arini, membuat senyum Arunika turut menggembang. Ia paham dengan apa yang dimaksud Tante Arini.
Jodoh tidak akan lari ke mana. Tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena tiap orang punya jalan mereka masing-masing.
Jika saat ini kamu belum bisa meraih apa yang telah orang lain raih, itu bukan berarti kamu gagal. Hanya saja memang belum saatnya kamu untuk mendapatkannya, atau bisa juga semesta ingin kemudian bekerja lebih keras lagi untuk hal itu.
***
Pagi-pagi sekali Arunika dikejutkan dengan suara dari sering ponsel miliknya yang terasa memekakkan. Bahkan ia rasa jika sering teleponnya saat ini lebih berisik ketimbang jam weker yang biasanya membangunkannya tiap pagi.
Tertera nama Silvia di layar panggilan. Dengan agama malas Arunika mengangkat panggilan telepon dari kawan semasa SMP nya itu.
"Beb, ketemuan yuk. Kangen, nih," suara dari seberang panggilan terdengar.
Arunika berdecak, ia menoleh ke arah jam weker nya. Tertera pukul setengah lima pagi, dan Silvia sudah mengajaknya untuk bertemu? Apa tidak salah?
"Ini tuh masih pagi pake banget, gila. Ngajak ketemuan subuh-subuh begini," dumal Arunika dengan suara agak keras, membuat Silvia tertawa di seberang panggilan.
"Ya, nggak sekarang dong, Beb. Nanti jam sepuluhan, mau ya. Aku udah kangen banget nih sama kamu," suara Silvia terdengar merengek.
Arunika hanya bisa menghela napas keras. Jika sudah begini ia tidak bisa melakukan apapun selain mengiyakan permintaan sahabatnya itu.
Karena jika ia tetap menolak, maka Silvia juga akan semakin menjadi. Bahkan wanita yang telah menjadi seorang Ibu dari dua anak itu masih saja suka merengek pada Arunika jika ia menginginkan sesuatu dari gadis itu.
"Iya, iya. Bawel, ah. Udah, aku mau sholat subuh dulu."
"Oke, Beb. Sampai jumpa nanti ye."
Panggilan terputus. Arunika yang saat ini sudah tidak lagi mengantuk, memutuskan untuk bersiap menunaikan sholat subuh.
Buku lain oleh OhRanaya
Selebihnya