Cerita pindah ke PF lain
"Abigail, sini!"
Gadis 18 tahun itu menoleh dengan setengah hati, menatap jengah pada sang ibu yang sekali lagi melambaikan tangan memintanya untuk datang mendekat. Untuk kesekian kalinya, ia beranjak dan menyapa tamu penting kedua orang tuanya.
"Kenalin, ini namanya Mister Clakson dan istrinya. Dia datang jauh-jauh dari Singapura buat datang ke acara ini!" kata Sonia dengan penuh semangat.
Abi membungkukkan badan seraya menyalami pasangan suami istri yang usianya mungkin jauh di atas kedua orangnya. Wajahnya sedikit kebarat-baratan, dengan kulit khas Asia. Lalu seorang wanita cantik ikut bergabung di antara mereka.
"Nah, ini anaknya, Carolina. Dia baru saja lulus dari Universitas Ekonomi ternama di London!" seru ibunya semakin menggebu-gebu.
Sementara Abi hanya bisa tersenyum kikuk menyalami wanita cantik itu. Wajahnya menunjukkan bagaimana terpelajarnya Carolina, apalagi jika harus dibandingkan dengannya yang hanya lulusan SMA dan enggan melanjutkan perkuliahan.
"Ma, Abi ke toilet sebentar!" pamitnya tanpa basa-basi langsung bergerak keluar dari ruangan.
Gadis itu tak menghiraukan ibunya yang memasang wajah kecewa. Abi sudah lelah dengan semua usaha Sonia untuk membuatnya berkuliah. Padahal sudah jelas, ia ingin meneruskan karirnya sebagai seorang model.
Tangannya menggapai segelas minuman berwarna merah yang dibawa oleh seorang pelayan, sebelum melangkah keluar ruangan. Ia butuh udara segar untuk menghilangkan rasa kesal pada kedua orang tuanya.
Kaki jenjang berhak tinggi itu mengarah pada lorong yang membawanya pada balkon kosong. Ia lebih senang tubuh indahnya disentuh angin malam, daripada tangan-tangan kotor rekan kerja sang ayah yang penuh alibi. Menganggapnya sebagai anak sendiri, lalu seenaknya menepuk pundak dan lengannya yang tak tertutupi kain, bahkan mengelus rambut panjangnya yang sudah ditata rapi oleh make up artis ternama.
"Ah... segarnya!" serunya setelah menyesap minuman yang dibawanya tadi.
Diletakkannya gelas di pagar balkon, sementara tangannya yang lain sibuk merogoh tas kecil di pergelangan. Abi mengambil sebatang rokok dan juga pemantiknya, seraya menyalakannya dengan cepat.
"Sedang apa kamu di sini?"
"Astaga!" seru Abi terkejut.
Gadis itu baru saja akan menyesap rokoknya, tapi seorang pria mendadak muncul dari balik tembok balkon yang mengarah pada deretan mesin pendingin. Suaranya tak terlalu berisik, sehingga membuat Abi bisa mendengar dengan jelas kedatangan tamu tak diundang itu.
"Kamu sendiri sedang apa di sini?" Abi balik bertanya dengan nada ketus.
Ia tahu, hotel itu bukan milik sang ayah. Tapi setidaknya, seluruh lantai sudah dipesan atas nama Gunawa Prawira untuk merayakan pesta pernikahannya bersama sang istri, putri kesayangan dan juga para kolega. Sehingga, Abi merasa berhak menggunakan bagian manapun di lantai tersebut karena ia adalah Abigail Putri Prawira, anak semata wayang ayahnya.
"This is my smoking area!" jawab pria itu cepat.
Sementara Abi juga menunjukkan rokok yang terjepit di antara jari telunjuk dan tengahnya. Hal yang sama dilakukan gadis itu untuk sekedar melepas penat. Dan ia rasa, pria itu pun merasakan hal yang sama.
Nampak wajah tampan berjambang tipis itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Langkahnya yang panjang menghampiri Abi yang mundur seketika.
Manik cokelat sang gadis menangkap botol minuman di tangan sang pria berjas lengkap. Ia menduga bahwa pria itu adalah salah satu tamu undangan ayahnya, tapi sayang Abi tak mengenal siapa pria tampan itu.
"Cheers?" tawarnya pada Abi yang masih menatap curiga.
Pria itu mengangkat botolnya, mengajak tos bersama. Dengan ragu-ragu, Abi mengangkat gelasnya dan membuat dua benda berbahan kaca itu beradu, menimbulkan sebuah suara nyaring.
"Apakah pestanya membosankan?" tanya Abi takut-takut.
"Lumayan," jawab pria itu jujur. "Hei, siapa namamu?" tanyanya setelah sadar bahwa keduanya belum saling mengenal.
Pria itu menjulurkan tangannya lebih dahulu, setelah sebelumnya membuang puntung rokok ke pojokan. Ia tersenyum untuk pertama kalinya, menunjukkan sebuah kharisma yang mempesona Abi. Ketegasan wajah dan hidung mancungnya memancing tangan kecil sang gadis untuk bergerak.
"Abi," katanya tanpa menyebut embel-embel nama keluarga yang akan membuat perbincangan mereka menjadi kaku.
"Tommy," sambut sang pria.
Senyum simpul tanda persahabatan membuat keduanya tak lagi banyak bicara. Mereka terlihat menikmati sapuan angin di wajah masing-masing. Bahkan, sesekali mereka saling lirik sambil menyesap minuman.
"Mau coba minumanku?" tawar Tommy saat melihat gelas Abi kosong.
Gadis yang awalnya ragu-ragu itupun akhirnya mengangguk jua. Ia menyodorkan gelasnya yang langsung terisi penuh minuman berwarna bening, bak air mineral. Baunya sedikit lebih menyengat, tapi Abi merasa toleransinya terhadap alkohol masih bisa menerima minuman itu.
"Kau tak terlihat seumuran dengan tamu-tamu di dalam sana," celetuk Tommy yang ternyata sedari tadi memandangi penampilan dan wajah cantik Abi.
Tentu saja ia tak sebanding dengan tante-tante dan om-om di dalam sana yang usianya 40 tahunan, seperti kedua orang tuanya. Tapi, Tommy pun tak terlihat seumuran dengan ayahnya. Apalagi dengan penampilan mudanya, pria itu seperti berusia 29 atau 30 tahunan.
"Kau juga terlihat lebih muda dari Tuan Gunawan dan istrinya," timpal Abi, memuji penampilan Tommy.
"Oh, ya?" tanya pria itu tak percaya. Ia terkekeh pelan, antara senang dan juga malu mendengarnya. "Memang banyak yang menilai demikian," katanya sombong.
Abi tertawa bersama dengan banyolan Tommy yang mulai memuji dirinya sendiri. Keduanya melakukan tos beberapa kali hingga akhirnya gelas sang gadis kosong kembali. Angin malam yang dingin membuat Abi menyodorkan kembali gelasnya, meminta minuman pria itu, lagi.
"I think it's enough! You drunk!" tolak Tommy.
Namun gadis itu malah menggeleng. Tubuhnya dirasuki hawa panas. Kerongkongannya pun membutuhkan air sebanyak-banyaknya. Tanpa sadar ia mendekat ke arah Tommy dengan langkah gontai.
BRUGH!
Tubuh indah itu jatuh ke pelukan Tommy yang sigap menangkap Abi. Manik keduanya beradu, menilik ekspresi satu sama lain. Gadis itu benar-benar sudah dirasuki alkohol, hingga tanpa sadar tangannya menggapai kerah jas sang pria dan membuat wajah keduanya semakin dekat satu sama lain.
"Kita baru saja kenal, apakah kau yakin memilih pria sepertiku?" tanya Tommy setengah menggoda.
Senyum Abi nampak hadir, menyapa pria itu dengan penuh hasrat terpendam yang hadir sejak pandangan pertamanya. Tanpa aba-aba, sang gadis menghentakkan tangan dan membuat bibir mereka beradu. Sebuah ciuman ditambatkan Abi pada bibir Tommy yang hangat. Bau alkohol dari keduanya, semakin menaikkan adrenalin hingga tak lagi bisa dibendung.
"Kau yang memulai, jadi jangan harap aku akan mengakhirinya!" bisik Tommy yang lebih mirip sebuah ancaman.
Sayangnya, tidak demikian bagi Abi. Ia malah mendengarnya bagai sebuah godaan. Semakin diucap, semakin ia ingin memiliki pria itu. Untuk pertama kalinya ia menjadi agresif pada laki-laki yang baru dikenalnya.
"Show me!" tantang Abigail seraya menarik kembali jas milik Tommy dan melingkarkan kedua tangannya pada leher pria tampan itu.
Keduanya saling menyecap saliva satu sama lain, mmebuat bunyi yang hanya bisa didengar oleh mereka saja. Namun Tommy sudah tak sabar, tubuhnya meminta lebih. Dan dengan cepat, pria itu menarik tangan Abi menuju ke arah lift yang menuju kamarnya.
***