Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Jam di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas siang, cuaca terasa sangat panas hari ini. Alhamdulillah, semuanya selesai tepat waktu sesuai perkiraanku. Mengamati dan memastikan kembali keadaan rumah, rasanya senang melihat semua sudah bersih dan rapi. Sejak pagi, aku dan Nisa bekerjasama menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
Satu per satu ku tutup pintu kabinet di dapur. Bahan makanan serta keperluan sehari-hari lainnya, baru saja selesai ditata rapi sesuai tempatnya. Ku lepas rasa lelah dengan duduk bersandar di kursi. Terlintas dalam pikiran ingin menikmati segelas es teh manis, pasti terasa sangat segar di tenggorokan.
Saat ini yang ada di rumah hanya aku dan Nisa–Anak Sulungku. Sejak selesai menyantap sarapan pagi, Bang Hasyim–Suamiku dan Zio–Anak Bungsuku pergi bersama-sama mengikuti kegiatan gotong royong. Hari ini semua warga di sini wajib ikut berperan serta membersihkan saluran air yang tersumbat di ujung komplek perumahan.
Dua hari yang lalu, sedari pagi hingga sore hujan turun sangat deras. Tadi pagi saat aku pergi ke pasar untuk berbelanja, luapan air selokan masih menggenang setinggi mata kaki di depan gerbang masuk komplek. Menurut informasi dari tetangga sebelah rumah, saluran air yang berada di ujung komplek tersumbat oleh banyak sekali sampah.
Perlahan ku aduk seduhan teh di dalam gelas dengan dua sendok makan gula. Dari kulkas, ku ambil beberapa buah es batu kecil kemudian memasukkannya ke dalam gelas. Samar-samar terdengar seperti suara ketukan pintu. Ku hentikan adukan sendok di gelas, mencoba mendengar lebih jelas.
"Assalamu'alaikum …." Kini terdengar suara seseorang mengucap salam.
Nisa yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga terdengar menyahut salam. Ku lihat dia mematikan televisi, kemudian beranjak pergi ke pintu depan. Ruang keluarga dan dapur rumah tidak ada sekat, apapun yang terjadi di ruang keluarga bisa terlihat dari dapur.
'Wa'alaikumsalam … eh, Tante Deli. Mari masuk, Tante! Sendirian aja, ya?" Sesaat hening, tak terdengar jawaban apapun dari lawan bicara Nisa. Tak lama terdengar seperti suara gesekan benda berat bergeser di lantai.
Ternyata Kak Deli yang datang, tapi tadi tak terdengar suara mobil travel yang mengantarnya. Biasanya dia ke sini bersama anak atau menantunya, kali ini kenapa hanya datang sendirian?.
"Sini, Nisa bantu bawa kopernya!" Santun terdengar suara Nisa menyambut kedatangan Tantenya. Kureguk es teh manis hingga tersisa setengah gelas, setelahnya kembali menajamkan telinga menyimak percakapan Nisa dengan Kak Deli.
"Iya, Nisa. Terimakasih, loh, hati-hati berat! Makin tinggi aja kamu, Nisa. Kok, malah jadi kelihatan kurus banget. Nggak bagus tahu, kurus kayak gini!" Teganya Kak Deli mengomentari tubuh Nisa. Seolah sangat perhatian pada keponakannya itu, padahal di telingaku terdengar seperti sedang menghinanya.
"Nih ada sedikit oleh-oleh dari kampung, kasih sana ke Mamak mu!" titah Kak Deli.
Sesaat tak terdengar apapun, aku mengernyitkan kening.
"Ngapain lagi kamu, Nisa? Sana, cepat panggil Mamakmu!" hardik Kak Deli pada Nisa. Aku tersentak. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Nisa, sehingga Kak Deli meninggikan suaranya.
Baru saja hendak beranjak, derap langkah Nisa terdengar semakin dekat. Yang pertama terlihat adalah raut wajahnya yang murung dan juga kesal. Anak perempuanku yang mulai beranjak remaja ini, tertunduk lesu melangkah ke arahku.
"Mak … Tante Deli sudah datang! Bawa koper besar, loh! Nisa bantu angkat tadi, ternyata berat banget. Jangan-jangan ... isinya batu!" celetuk Nisa dengan polosnya.
Hah! Koper Besar? Apa Kak Deli berencana tinggal lama di rumahku? Apa terjadi sesuatu di kampung, atau Kak Deli hanya ingin liburan saja. Aku terus menduga-duga, apa sebenarnya tujuan kedatangan Kak Deli ke sini. Semakin dipikirkan rasanya sangat aneh, tak mungkin Kak Deli meninggalkan usaha warung makan yang dikelolanya di kampung.
Usaha warung makan itu dulunya milik almarhum Ibu, Kak Deli meneruskannya setelah kondisi kesehatan Ibu semakin memburuk. Dari hasil usaha warung itu lah, Kak Deli mencukupi kebutuhan hidup dia dan anak-anaknya.
Nama ku Dena, aku saudara satu-satunya Kak Deli. Ibu kami sudah wafat 10 tahun yang lalu, sedangkan Ayah sudah menikah lagi setahun setelah Ibu wafat.
Seketika lamunanku buyar, saat Nisa menyentak lenganku pelan.
"Mak … dengar Nisa, tidak?" rengeknya.
"I–iya, Sayang! Mamak dengar, kok."
"Tadi Tante Deli sempet-sempetnya komentar, kalo Nisa terlalu kurus. Lah, emangnya Nisa kurus banget, ya? Nyinyir banget sih mulut Tante Deli, Nisa nggak suka!" Setengah berbisik Nisa berbicara, seperti takut terdengar oleh Kak Deli. Ternyata Nisa paham dan masih ingat tabiat Tantenya itu.
"Nisa nggak lupa, kan? Apa pesan Mamak, bila ada yang memperlakukan Nisa seperti Tante Deli tadi? Ambil nafas tiga kali dari hidung, dan hembuskan dari mulut. Ucap Istighfar sebanyaknya dalam hati, terus … kasih deh senyum termanis yang Nisa punya!" Kuusap-usap bahunya menenangkan, menatap gemas wajahnya yang mulai tersenyum.
Nisa mengulurkan tangannya padaku, memberikan satu bungkusan plastik yang dibawanya.
"Nih Mak, Tante Deli bilang ini buat Mamak! Oleh-oleh dari kampung katanya, boleh Nisa lihat tidak apa isinya?" Pasti dia mengira isi plastik ini jajanan kampung kesukaannya. Camilan adalah makanan favorit Nisa, kalau belum dapat yang diinginkannya pasti akan terus menggangguku.