/0/20663/coverorgin.jpg?v=6507e060d3a914b4ee3ce8a3a17b8c3f&imageMogr2/format/webp)
Jam sebelas malam. Sepi seperti kuburan. Mae duduk termangu di kursi plastik dapur. Masih ada lemper dingin di piring, nasi uduk yang keras, risol yang mulai menciut. Hari itu tak ada satu pun yang laku. Udara pengap, dan detik itu juga...
"Ma... Mama... kepala Gia sakit...,"
Gia berdiri goyah, tangannya mencengkeram dinding. Lalu mendadak tubuh kecil itu limbung. Mae bangkit secepat kilat.
"Gia?!"
Darah segar menetes dari hidung Gia.
"Ya Allah! Ya Allah!"
Mae langsung menggendong anak perempuannya yang baru berusia tujuh tahun itu. Tubuh Gia panas seperti setrika. Tangisnya menggigil, napasnya pendek-pendek.
"Mama, Gia takut..." bisik Gia pelan.
"Jangan takut, sayang. Jangan takut..."
Tangan Mae gemetar membuka dompet bututnya. Isinya: satu lembar dua ribuan, dua koin lima ratus. Ia mengedarkan pandang. Meja penuh sisa dagangan yang basi. Kulkas kosong, listrik tinggal berkedip merah.
Mae menggigit bibir. Lalu, dengan langkah tergesa, masih menggendong Gia, ia lari keluar rumah, menyusuri gang kecil gelap menuju rumah Bu Darmi, ibu mertuanya.
Rumah itu hanya berjarak dua puluh meter. Tapi saat Mae berlari, jarak itu terasa seperti kilometer.
Rumah dua lantai bercat kuning gading itu berdiri angkuh dengan pagar tinggi dan lampu taman yang masih menyala. Mae menendang-nendang gerbangnya.
"Ma! Ma! Ma! Bukain, Ma! Tolong! Ma!"
Tak lama kemudian, pagar dibuka oleh Yaya, adik iparnya. Rambutnya acak-acakan, masih pakai masker wajah, mata ngantuk.
"Eh, Gendut! Malam-malam ngapain?! Mau maling?!"
"Gia... Gia mimisan! Kayaknya dia kesakitan banget! Tolong... aku nggak ada uang...."
Bu Darmi muncul di balik tirai jendela lantai satu, membuka pintu sambil bersungut.
"Apa sih ini malam-malam teriak-teriak kayak kesurupan!"
"Gia sakit, Ma. Tolong, pinjam uang sebentar aja. Aku mau bawa dia ke IGD..."
Bu Darmi mendengus.
"Pinjam uang? Kamu kira kita mesin ATM? Lagian suami kamu mana?Bastian kamana?"
Mae menunduk. Nafasnya masih berat menahan tangis.
"Udah tiga hari nggak pulang, Ma..."
Yaya menyambar, "Wah! Suami nggak pulang, malah minta-minta di sini. Astaga. Coba intropeksi diri deh. Kamu tuh ngapain aja di rumah?! Dagang kagak laku, suami pergi, anak sakit, eh malah nyeret-nyeret anak tengah malam! Kasian banget tuh anak, punya emak nggak becus!"
Mae gemetar. Pipinya panas. Tapi Gia terus menggeliat dalam gendongannya.
"Aku cuma... mau pinjam sedikit aja, Ma. Buat bawa Gia ke dokter."
Bu Darmi nyalain rok*k.
"Udah, udah, gak usah drama. Nih rumah bukan tempat minta-minta. Besok aja, pagi-pagi, ke puskesmas. Ngapain juga jam segini ke rumah sakit? Kamu pikir kamj siapa?"
"Ma... tolong..."
"Udah pulang sana. Gua capek. Gua juga butuh tidur!"
Gerbang ditutup.
Draaakkk!
Mae terpaku. Tangisnya pecah, basah di pundak Gia. Ia peluk tubuh anaknya erat-erat.
Lalu, seperti robot, dengan sisa tenaga dan jemari gemetar, Mae mengeluarkan ponsel retaknya. Layar berkedip. Ia tekan satu nama.
ECI
"Hallo? Mae? Ada apa, sayang?"
"Ci... Gia... mimisan... badannya panas banget... aku nggak tahu harus gimana. Aku... aku nggak punya uang, Ci..."
Sunyi.
"Transferin aku, ya... berapa aja. Aku mau bawa dia ke rumah sakit. Tolong..."
Eci di ujung sana tercekat.
"Tenang, sayang. Aku kirim sekarang. Kamu kuat, ya. Gia juga... kuat."
Mae mengangguk sendiri dalam gelap, meski air matanya membanjir tanpa suara. Gia mengerang lemah.
Begitu sambungan telepon dari Eci terputus, Mae langsung bangkit dari duduknya. Gak sempat nangis. Gak sempat mikir. Gak sempat pakai alas kaki.
"Gia..." desahnya, separuh napas, separuh doa.
/0/27921/coverorgin.jpg?v=4eda760d43a833803876b057d0adbf78&imageMogr2/format/webp)
/0/2453/coverorgin.jpg?v=20250120162542&imageMogr2/format/webp)
/0/6402/coverorgin.jpg?v=415fdd04636cb33bd711fbc7727aab9d&imageMogr2/format/webp)
/0/3379/coverorgin.jpg?v=6bc187d431596e2a88388566fb53191f&imageMogr2/format/webp)
/0/3258/coverorgin.jpg?v=5fb6465f89cc6c5a46aff9806f1bba29&imageMogr2/format/webp)
/0/16994/coverorgin.jpg?v=45534e54ad36109b6f207435dbe4052f&imageMogr2/format/webp)
/0/2933/coverorgin.jpg?v=213f8c69bc00a5b7fe4add48a38a1fee&imageMogr2/format/webp)
/0/2789/coverorgin.jpg?v=20250515113943&imageMogr2/format/webp)
/0/5515/coverorgin.jpg?v=abc521c7997aa08a8262cce09416c227&imageMogr2/format/webp)
/0/7999/coverorgin.jpg?v=7ca51fbb845bc6d60701e1dc04e508ad&imageMogr2/format/webp)
/0/22402/coverorgin.jpg?v=20250317180442&imageMogr2/format/webp)
/0/2683/coverorgin.jpg?v=20250120155822&imageMogr2/format/webp)
/0/5360/coverorgin.jpg?v=62bd91f4a9813a16945cda2b0151a6ec&imageMogr2/format/webp)
/0/12069/coverorgin.jpg?v=16c2a531c32afeaf3ab6e9b782cf6e34&imageMogr2/format/webp)
/0/3044/coverorgin.jpg?v=20250120140531&imageMogr2/format/webp)
/0/6184/coverorgin.jpg?v=20250120175022&imageMogr2/format/webp)