Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Antara Harapan dan Kenyataan
Sudut-sudut jalan bisu, aku mengayuh sepeda lebih cepat untuk mendatangi rumah terakhir. Sore ini, mendung sudah menggantung, rumah lurah masih berada di ujung jalan.
Satu, dua rintik hujan sudah jatuh, untung sebelum lebat aku sudah tiba di tujuan. Dua botol susu terakhir kuletakan di teras rumah.
Selama bertahun-tahun, pekerjaanku tak pernah berubah. Pagi nguli, sore berkeliling mengantar pesanan susu segar yang kuambil dari peternak sapi yang ada di kampung sebelah.
Tak jarang pula, jika ada tetangga yang memintaku membantu memperbaiki genteng rumahnya, aku dengan senang hati menerima. Setiap tetes keringat yang mengalir, setiap lelah yang kurasa, semuanya kuterima tanpa keluhan. Sejak kecil aku sudah belajar satu hal, selama kerja keras itu menghasilkan uang, tidak ada pekerjaan yang terlalu rendah atau hina. Bagiku, yang penting perutku terisi dan aku bisa bertahan hingga esok hari.
Lalu, satu lagi. Pengagum rahasia Regina. Ini pekerjaan baru kulakoni sejak setahun lalu. Setelah celingak-celinguk beberapa waktu dan tak mendapati sosok yang kutunggu, kuputuskan untuk pulang.
"Mungkin Regina belum pulang," lirihku.
Sambil menerjang hujan, Aku mengingat pertama kali melihat Regina. Sama, sore hari seperti saat ini saat aku mengantar susu ke rumahnya. Ia berdiri di depan pintu, mengenakan seragam perawat yang bersih dan rapi. Rambutnya yang hitam lurus terurai lembut di pundaknya, dan senyumnya begitu manis saat ia menyapa salah seorang tetangga. Aku hanya bisa menunduk dan berlalu dengan cepat, takut jika dia menyadari tatapanku yang terlalu lama kala itu.
Sejak hari itu, aku seringkali berharap bisa lebih dekat dengannya. Namun, kenyataannya selalu menampar keras harapanku. Regina terlalu jauh dari jangkauanku. Dia bagaikan bintang yang bersinar di langit malam yang gelap, dan aku hanyalah seorang pejalan yang berjalan di bawahnya, hanya mampu mengagumi cahayanya dari kejauhan.
Aku selalu berpikir, "Bagaimana mungkin aku, lelaki yang hanya bisa makan dari hasil kerja serabutan, bisa memiliki tempat di hatinya?"
Setiap hari, aku melawan rasa minder yang terus menggerogoti pikiranku. Aku tahu aku tidak bisa menawarkan banyak hal. Rumahku saja bocor di sana-sini, penuh dengan barang-barang bekas yang kusebut "perabotan." Sementara Regina, pasti hidup dalam kenyamanan, dengan kehidupan yang tertata rapi. Aku selalu berpikir bahwa orang-orang sepertiku ini hanya ditakdirkan untuk melihat kebahagiaan dari jauh, tanpa pernah merasakannya secara langsung.