/0/24927/coverorgin.jpg?v=09a6b4ac3c49d9c142eca1406092c220&imageMogr2/format/webp)
"Mas, bapak sakit. Adek minta izin pulang, ya?" pintaku pada Mas Rama sambil berjalan menghampiri lelakiku di tempat duduknya. Mas Rama sedang duduk santai di teras rumah ditemani ibu mertua dan Sinta sang adik.
"Ya, gak bisalah. Gak lama lagi Sinta pesta. Siapa yang bantu Ibu jika bukan kalian berdua? Bapakmu, sih. Sakit aja kerjanya. Makanan itu dipantang. Ini gak, lihat makanan semua dimakannya. Apa bapakmu tidak pernah lihat makanan ya, Nes? Rakus sekali Ibu lihat," ucap ibu mertua sangat menyakitkan. Ingin rasanya aku sumpahin beliau dengan kata-kata kasar tapi ya sudahlah. Aku tidak ingin berucap buruk untuk orang lain karena keburukan itu pasti akan kembali kepada keluarga aku kelak.
'Semoga aja dia tidak pernah merasakan seperti yang bapak aku rasakan," batinku.
"Masak kamu minta pulang, sih. Aneh-aneh aja kamu, Dek. Tiga hari lagi di rumah akan diadakan pesta. Siapa nanti yang bantu-bantu? Kamu pikir kita ngadain pesta ini hanya main-main? Banyak orang-orang penting yang datang. Jangan sampai persiapan amburadul. Nanti keluarga kita juga yang malu." Mas Rama memberi pengertian kepadaku.
Bukan aku tidak mau mengerti kondisi di rumah mertua saat ini. Tetapi aku lebih mengutamakan orang sakit daripada orang yang berpesta. Karena pesta 'kan merayakan suatu hubungan. Nah, bapak aku sakit. Beliau butuh dukungan, bahkan anak-anak merupakan hiburan juga buat beliau dan jelas akan memberikan semangat hidup untuknya. Makanya beliau menginginkan kami berkumpul semua.
"Alah ... itu 'kan alasan Kakak ajanya biar terbebas dari tugas. Memang dasar Kakak aja yang pemalas. Sinta lihat, Kakak sering sekali menghindar dari kerjaan di rumah. Maunya makan saja," timpal Sinta menambah keruh keadaan. Akhirnya semua mata tertuju kepadaku. Tatapan Mas Rama seakan ingin menelan tubuh ini bulat-bulat.
"Jangan suka menuduh orang sembarangan, Sin. Kalau gak tau masalah bagus kamu itu diam saja." ujarku membela diri.
"Jangan-jangan benar juga apa yang dibilang Sinta. Kamu malas membantu keluarga Mas 'kan? Kamu lebih berpihak kepada keluarga kamu sendiri." hardik lelakiku.
"Bukan begitu maksud Adek, Mas. Kalo bukan karena bapak masuk rumah sakit, gak akan mungkin Adek mau meninggalkan hajatan besar sebesar ini." jawabku tertunduk.
"Aku heran dengan jalan pikiran kamu, Dek. Kamu lebih mementingkan keluargamu sendiri dibandingkan keluarga Mas. Aku kecewa dengan sikap kamu ... Egois." Bentak Mas Rama dengan suara delapan oktaf. Beliau nampaknya sangat marah.
Dan lebih menakutkan lagi tatapan mata ibu mertua yang seakan mau menelan aku hidup-hidup. Tapi aku usir perasaan itu. Yang penting aku harus pulang untuk menjenguk bapak sakit. Kutebalkan juga muka ini untuk memohon ijin untuk pulang kampung.
"Bukan egois. Ini masalahnya bapak sakit loh, Mas. Bukannya Adek mau main-main." Aku tetap terus saja berusaha untuk mendapat izin pulang kampung.
"Gak bisa," bentaknya lagi dengan suara tinggi.
"Mas, Adek mohon. Tolonglah. Sekali ini aja ijinin aku pulang menjenguk bapak." pintaku lagi sambil menahan air mata yang sudah menganak sungai disudut mataku.
"Emang bapakmu sakit apa, sih?" tanya lelaki tampan yang telah merajai hati ini dalam kurun waktu delapan tahun belakangan ini. Sedihnya hati ini. Aku menyayanginya sepenuh hati tapi tidak dengan dia. Jika menyangkut keluargaku, dia sangat dingin dan tidak ada sedikitpun senyum di wajahnya. Keluargaku bagaikan orang lain yang tidak pernah dikenalnya. Dengan wajah datar seakan tidak ada hal yang perlu dirisaukan mengenai kedua orangtuaku.
"Mas ... bapak diopname. Berarti sakitnya parah. Kalau sakit ringan gak mungkin juga beliau akan bersedia diopname," ujarku lagi.
/0/12469/coverorgin.jpg?v=b8d7d38e4d62e91a93565f9810b22e9d&imageMogr2/format/webp)
/0/4019/coverorgin.jpg?v=e1ef4fa87eee2dc58998acc3365705d4&imageMogr2/format/webp)
/0/20781/coverorgin.jpg?v=fb1c1389b74a601a4bd54fc93a22ae42&imageMogr2/format/webp)
/0/29595/coverorgin.jpg?v=1863c7cd647e94c1f3bb15208501b525&imageMogr2/format/webp)
/0/3092/coverorgin.jpg?v=6017a83f5795db14f6aeff4606c5d9c3&imageMogr2/format/webp)
/0/7429/coverorgin.jpg?v=84e91445dd5a8d6ad3350ad2d733146b&imageMogr2/format/webp)
/0/18892/coverorgin.jpg?v=bf25a176b00c418376355bc8252f0915&imageMogr2/format/webp)
/0/12164/coverorgin.jpg?v=9d5b2f3dedf65b2fa4b83f700a555c0c&imageMogr2/format/webp)
/0/16982/coverorgin.jpg?v=6618733b14796c2fef1e9c4cb40ad6fe&imageMogr2/format/webp)
/0/17957/coverorgin.jpg?v=368c61d9274a8a54da1a3732e4636293&imageMogr2/format/webp)
/0/13481/coverorgin.jpg?v=05af35bf6937c4c2c3759c55661896ae&imageMogr2/format/webp)
/0/17389/coverorgin.jpg?v=d7def4e12df47253961864e859457197&imageMogr2/format/webp)
/0/2909/coverorgin.jpg?v=2e3b0afd87e859fbfb81124480f67c1d&imageMogr2/format/webp)
/0/13029/coverorgin.jpg?v=e98c3d1661d974d7b29292d90ebba939&imageMogr2/format/webp)
/0/12461/coverorgin.jpg?v=e89b7f52f9dc96e329a6d4ae69e786e0&imageMogr2/format/webp)
/0/7465/coverorgin.jpg?v=9331f58e088ccee1e571d9918b9353ca&imageMogr2/format/webp)
/0/2983/coverorgin.jpg?v=0b1e8dbecc33d2678ce9ef94a4c0ded1&imageMogr2/format/webp)
/0/3219/coverorgin.jpg?v=606f0564742a6b0348dac03529c35ba8&imageMogr2/format/webp)
/0/28727/coverorgin.jpg?v=9be90b1b4ecaf6f4ebc0c2811c170f5f&imageMogr2/format/webp)
/0/17923/coverorgin.jpg?v=449eb9187a70a1d7136878540e3dc684&imageMogr2/format/webp)