Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Bibir Jasmine menyatu dengan bibir Xavier. Mereka saling melumat penuh kelembutan dan hasrat yang membara. Degup jantung keduanya begitu kencang, begitu terasa kala tubuh mereka saling berdekatan. Tangan Xavier meremas pelan pinggang Jasmine, memeluknya posesif, seolah tak ingin kehilangan gadis itu.
Tak hanya diam, Jasmine pun mengalungkan tangannya ke leher Xavier. Dia memperdalam ciumannya. Percikan-percikan perasaan yang tak mampu tertahan. Jasmine begitu mendamba sentuhan Xavier yang memabukkan. Membuat tubuhnya bergejolak. Bahkan rasanya Jasmine tidak ingin melepas bibir Xavier yang tengah menjelajahi bibir ranumnya.
“Bibirmu selalu luar biasa, Jasmine. Manis. Rasanya manis. Aku selalu menyukainya,” bisik serak Xavier tepat di depan bibir Jasmine.
Jasmine tersenyum sambil mengelus rahang Xavier. “Bibirmu juga luar biasa, Sayang. Aku menyukainya.”
Xavier menatap Jasmine dengan tatapan lembut, membelai pipi Jasmine. “Aku harus pulang.”
“Kau mau pulang?” Alis Jasmine terangkat, menatap kekasihnya sedikit bingung. “Kau tidak menginap di sini?”
“No, Sayang. Aku tidak bisa. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan,” jawab Xavier sembari mengecup kening Jasmine.
Ya, sudah tiga bulan ini hidup Jasmine benar-benar berwarna. Menjalin hubungan dengan Xavier Coldwell membuatnya sangat bahagia. Berawal berkenalan dari aplikasi kencan, akhirnya mereka memutuskan menjadi sepasang kekasih.
Bagi seorang Jasmine Stevanie Welsh, Xavier Coldwell adalah pelengkap hidupnya. Pria itu selalu membuat Jasmine nyaman. Bahkan pria itu pun selalu mampu membuat Jasmine jatuh hati setiap detiknya. Selama tiga bulan kehidupan mereka sudah seperti suami istri. Ranjang adalah tempat di mana mereka melepas rindu.
Jasmine tidak pernah menyesal menyerahkan dirinya seutuhnya untuk Xavier. Karena dia tahu Xavier adalah pria yang tepat. Jasmine yakin, Xavier begitu mencintainya seperti dirinya yang juga begitu mencintai Xavier.
“Kau ingin pergi ke mana, Sayang?” Jasmine memeluk lengan Xavier, dia tampak enggan membiarkan Xavier pergi.
“Ada urusan pekerjaan,” jawab Xavier sembari mengecup bibir Jasmine. “Kau tidurlah. Ini sudah malam.”
Jasmine mendesah pelan. Tak dipungkiri, dia tidak ingin Xavier pergi. Namun Jasmine pun tidak ingin egois. Hingga terpaksa akhirnya Jasmine menganggukkan kepalanya menuruti keinginan Xavier yang tidak menginap di apartemennya.
“Tapi janji kau harus menghubungi aku kalau sudah di rumah nanti,” pinta Jasmine dengan nada memaksa.
“Tenang saja, aku akan menghubungimu nanti.” Xavier mengecup lembut bibir Jasmine. “Aku pulang dulu.”
“Hati-hati, Xavier,” balas Jasmine hangat.
Xavier mengangguk. Lalu dia melangkah meninggalkan Jasmine yang masih bergeming di tempatnya. Sesaat embusan napas kasar Jasmine terdengar. Raut wajah gadis itu menatap kecewa punggung Xavier yang mulai lenyap dari pandangannya.
Saat sudah lebih dari satu jam Xavier pergi, Jasmine masih belum mendapatkan pesan dari Xavier. Raut wajahnya menjadi kesal. Ingin rasanya dia menghubungi kekasihnya itu, namun Jasmine memilih mengurungkan niatnya. Mungkin Xavier sedang sibuk. Itu yang ada di dalam benak Jasmine.
“Lebih baik aku tidur saja.” Jasmine kini memilih membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia menarik selimut, menutupi tubuhnya itu. Rasa kantuk mulai menyerang. Nanti pagi pasti Xavier akan memberikan pesan ‘Good Morning’ padanya seperti kebiasaan sang kekasihnya itu.
***
Bunyi alarm di ponsel membuat Jasmine perlahan mulai membuka kedua matanya. Gadis itu itu mengerjapkan mata berberapa kali dan menggeliat kala sinar matahari menembus jendala kamarnya, menyentuh wajahnya.
“Ah, ini sudah pagi,” gumam Jasmine seraya mengambil ponselnya, menatap ke layar—waktu menunjukkan pukul delapan pagi.
Jasmine mulai membuka pesan masuk memastikan pesan dari Xavier. Namun, seketika raut wajah Jasmine berubah kala tidak ada satu pun pesan masuk dari Xavier. Tampak Jasmine menjadi bingung. Tidak biasanya Xavier tidak meninggalkan pesannya.
Jasmine terdiam sejenak. Di detik selanjutnya, dia menghubungi nomor Xavier. Satu, dua, hingga tiga kali dia memanggil tidak ada satu pun jawaban dari sang kekasih. Jasmine mendecakkan lidahnya kesal. Ini yang dia paling benci. Dia tidak suka kalau Xavier tidak menjawab teleponnya.
Jasmine mengatur napasnya. Berusaha meredakan rasa kesalnya. Gadis itu berpikir positive. Mungkin tadi malam Xavier sudah tidur. Itu yang ada di dalam benak Jasmine.
“Aku masak saja hari ini untuknya. Sebelum berangkat kuliah nanti, aku akan mengantarkan ke apartemen Xavier,” gumam Jasmine pelan.
Jasmine Stevanie adalah mahasiswa tingkat akhir. Dia tinggal sendiri di apartemen pribadi miliknya. Sebenarnya keluarganya pun masih tinggal di London, hanya saja Jasmine lebih nyaman untuk tinggal sendiri.
Jasmine melangkah menuju dapur memasak makanan yang Xavier sukai. Meski masih kesal, tetapi Jasmine berusaha untuk mengerti Xavier. Dia tahu, kekasihnya itu selalu sibuk dengan pekerjaannya.