Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Wanita bergamis hijau dengan tentengan tas bermerek salah brand ternama asal Paris itu berjalan dengan anggun mengikuti lelaki setengah baya yang sebagian rambutnya sudah kelabu. Namanya Damayanti, usianya sudah 57 tahun, tetapi terlihat sepuluh tahun lebih muda. Wajahnya sebenarnya tak cantik, hanya terlihat bersih dan berkilau khas seperti ibu-ibu sosialita yang biasa muncul di Instagram.
Bu Damayanti berjalan mengikuti Sapto Hadi–lelaki berambut kelabu yang terkenal sebagai pengusaha kuliner Ayam Goreng Bu Hadi. Tiga sebelumnya Bu Damayanti sudah menyelidiki keluarga itu. Kesempatan untuk mengenal datang ketika rumah lelaki itu dipasang di salah satu situs jual-beli.
Sapto Hadi sibuk menjelaskan kelebihan rumah yang dijualnya. Rumah dengan luas bangunan 75 m2 itu terletak di hook dengan luas lahan 200 m2. Bu Sosros sebenarnya tak perlu membeli rumah baru, karena perusahaan suaminya bergerak di bidang properti. Ada alasan khusus yang tentu saja tak mungkin ia ceritakan kepada si pemilik rumah. Alasan yang bersifat pribadi.
“Bagaimana Bu Damayanti? Rumah ini sudah saya renovasi. Ini saya hendak jual beserta isinya. Bisa nego, kok, Bu. Yaaa … kurang-kurang dikit dari yang saya patok.” Sapto Hadi berusaha meyakinkan wanita di sampingnya. Sudah hampir enam bulan belum ada satu pun yang melihat rumahnya. Banyak yang menghubungi via telepon, tetapi semuanya perantara alias calo. Dia ingin berhubungan langsung dengan calon pembelinya agar tak perlu menyiapkan fee saat rumah terjual.
“Rumahnya saya cocok, perabotannya sebenarnya saya tak perlu, Pak. Bagaimana, ya?” Bu Damayanti menjeda kalimatnya. Pandangannya menyapu sekeliling. Model mebelnya sudah tua dan ketinggalan zaman. Jelas tak cocok dengan gaya putra sulungnya yang elegan. Namun, bahan kayu yang terlihat kokoh menarik perhatiannya.
Sapto Hadi yang menyadari arah pandangan Bu Damayanti segera menghampiri meja makan dan mengelus permukaannya. “Ini kayu jati asli, lho, Bu. Saya datangkan langsung dari Jepara. Beberapa perabot lain juga sama,’’ujarnya mantap. Ia berharap harganya cocok dan hari ini juga pembayaran diselesaikan. Bank tutup kas sekitar jam tiga, jadi masih ada waktu beberapa jam lagi.
“Pak Sapto mau buka harga pasnya berapa?’’ Bu Damayanti lalu menghela napas. Sebenarnya ia selalu menggunakan jasa asisten untuk membantunya mengurus transaksi. Demi misi pribadi, kali ini ia turun tangan langsung. “Saya yakin rumah ini memiliki banyak kenangan,” lanjutnya.
Bu Damayanti bukannya tak tahu berita gonjang-ganjing usaha Ayam Goreng Bu Hadi. Lelaki di hadapannya terlilit utang sejak meninggalnya sang istri. Segala informasi tentang itu telah ia kantungi.
Sapto Hadi terdiam sesaat. Ia ingat mendiang istrinya. Rumah itu memang ia beli sebelum menikah, tetapi pemilihan perabot semua dilakukan sang istri. Tentu saja banyak kenangan. Mereka sudah tinggal selama dua puluh tahun lebih. Namun, kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk mempertahankan asetnya. Selain modal usaha kuliner yang dibawa lari rekannya, beberapa usahanya juga mengalami kerugian karena ulah orang-orang yang tak bisa dipercaya. Ditambah lagi ada saudara-saudara orang tuanya yang menginginkan bagian warisan dari Keluarga Hadi.
Audia Melodita, putri semata wayangnya telah menentang habis-habisan saat mengetahui rumahnya hendak dijual. Namun, itu satu-satunya jalan keluar terbaik sebelum pihak bank menyitanya. Salah satu kesalahan besarnya adalah menggunakan suntikan modal dari bank karena ambisinya untuk membesarkan usaha dan begitu mudah percaya kepada orang lain untuk membantu mengelola bisnisnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, Sapto Hadi harus cepat mencari solusi terbaik untuk mengatasi kerugian yang lebih besar.
“Saya buka harga satu delapan, Bu. Kalau deal, hari ini juga transaksinya,’’ jawab Sapto Hadi. Semakin lama tawar-menawar, semakin ragu hinggap. Ia bertekad suatu saat akan membeli rumahnya kemabli meskipun nanti harganya jauh lebih mahal dari harga saat ini.
“Satu enam, Pak. Saya berani segitu,’’ ujar Bu Damayanti sambil menatap sekeliling. Tak ada satu pun foto terpajang, padahal ia berharap ada foto keluarga atau foto lain yang memperlihatkan orang yang ia cari.
“Satu tujuh setengah beserta segala isinya, Bu. Tolong jangan ditawar. Kalau satu enam, terpaksa beberapa barang saya keluarkan dari rumah,’’ timpal Sapto Hadi.
Bu Damayanti membetulkan letak kacamatanya. Seharusnya ia tak menawar, karena niat awalnya bukan mendapatkan aset dengan harga miring. “Kalau satu tujuh beserta segala isinya saya bayar hari ini juga. Tanda jadi 500 juta saya transfer sekarang, sisanya kita selesaikan di Bank. Bagaimana?’’
Pak Sapto menggosok-gosok dagunya. Selama dua menit ia terdiam. “Baik, Bu. Satu tujuh bila transaksi pembayarannya hari ini,’’ ujarnya menyerah.
Bu Damayanti mengeluarkan ponsel lalu melakukan panggilan. “Man, masuk ke sini jadi saksi,’’ ujarnya kepada asisten yang menunggunya di mobil.
Beberapa menit kemudian seorang laki-laki berusia awal empat puluhan yang dipanggil Man masuk lalu menghampiri Bu Damayanti. “Saya, Bu,’’ sapanya sambil mengangguk.
“Kamu jadi saksi deal harga rumah ini, ya. Nanti kita ke bank untuk sisa transaksinya,’’ perintah Bu Damayanti.
Lelaki bernama Herman itu mengangguk.
Sapto Hadi mempersilakan Bu Damayanti duduk berhadapan dengan dirinya. Sebentar lagi kalimat ijab transaksi diucapkan. Putrinya pasti sedih saat tahu rumahnya hari ini dijual. Mereka baru sebulan pindah ke rumah yang lebih kecil. Pakaian dan barang-barang pribadi sudah mereka pindahkan. Audia awalnya hendak membawa tempat tidur kesayangannya, tetapi kamarnya di rumah baru hanya berukuran 3x3 meter.
Bu Damayanti mengeluarkan alat token bank berwarna biru. Melakukan transfer via mobile banking dengan nilai besar hanya bisa menggunakan PIN dari token. Itulah kenapa ia membawanya hari ini.
“Pak Sapto punya nomor rekening bank yang ini, ‘kan? Kalau banknya sama, cepat masuk dananya,’’ tanya Bu Damayanti.
Sapto Hadi mengangguk lalu mengeluarkan ponsel dan bersiap mengeja nomor rekeningnya.
Beberapa menit kemudian transfer berhasil. Uang muka telah sampai ke rekening Sapto Hadi. Wajahnya seketika semringah. “Alhamdulillah, sudah masuk, Bu. Kita bisa mulai ijabnya sekarang.”
Tiga puluh menit sebelum kedatangan Sapto Hadi dan Bu Damayanti.
Audia turun dari motor ojek daring lalu bergegas membuka gerbang rumah yang di depannya ada spanduk kecil dengan tulisan ‘Dijual TP. Hub. 08xx xxxx xxxx’. Selain ayahnya, ia pun memegang kunci duplikat. Ada barang pribadi yang lupa ia bawa. Album foto lama yang berisi foto-foto kenangan almarhum ibunya.
Gadis berparas manis itu langsung masuk ke kamarnya. Dadanya terasa sesak saat menyadari akan berpisah dengan segala kenangan di rumah masa kecilnya. Dengan tangan gemetar ia membuka laci di dalam lemari pakaiannya yang sudah kosong. Sebuah album foto lama berbentuk persegi dengan perpaduan hitam-emas ia ambil dari dalam laci.