Way To Love

Way To Love

Syaa87

5.0
Komentar
963
Penayangan
45
Bab

Ethan selalu membayangkan honeymoon yang sempurna. Pantai, sunset romantis, dan malam-malam penuh cinta setelah memberikan 'Perfect Wedding' pada istrinya. Tapi, siapa sangka rencana manisnya malah berujung pada sofa bed yang dingin dan terpisah dari sang istri? "Honey, kamu yakin aku harus tidur di luar?" tanya Ethan, suaranya terdengar ragu, matanya meneliti wajah istrinya dengan harapan. "Yakinlah, kenapa enggak?" jawabnya dengan santai, seolah ini bukan masalah besar sama sekali. "Tapi ini kan honeymoon kita! Masa iya kamu tega membiarkan suamimu kedinginan-" "Gak usah lebay deh! Ada selimut, dan pemanas ruangan juga jalan kok. Sekarang tidur aja, simpan semua protesmu. Besok kita masih harus jalan-jalan romantis! Jangan lupa sama janji mu."  Ethan cuma bisa menghela napas dan mengangguk pasrah sambil melirik sofa bed yang sempit itu. "Apakah besok aku masih harus tidur disini?" Batinnya, perasaan cemas mulai menyergap. Dia cepat-cepat menggeleng, berusaha mengusir pikiran yang bikin hatinya tambah galau. Lalu, ia merebahkan diri, memeluk guling dengan tampang frustasi. "Andai saja aku tahu, akhirnya bakal kayak gini..." gumamnya pelan, nada penyesalan menggelayuti suaranya.  Sofa bed itu memang bukan tempat yang diimpikannya untuk menghabiskan malam-malam romantis, tapi siapa tahu, mungkin besok akan jadi hari yang lebih baik?

Bab 1 prolog

Sweet berdiri di samping Oma Ningsih yang terbaring lemah, hati kecilnya bergetar mendengar suara mamanya yang penuh kekhawatiran. "Ma, oma kenapa? Bukannya oma baik-baik saja ya, kenapa sekarang jadi seperti ini?" tanyanya, menahan air mata yang hampir menetes. Keresahan yang melanda membuat hari itu terasa gelap, seolah semua warna hilang dari dunia mereka.

"Mama juga nggak tau, Sweet. Oma mendadak nggak mau makan, setelah itu pingsan dan-" suara mamanya terputus, menggantung, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.

"Kenapa tidak ke rumah sakit aja?" tanya Sweet cepat, memotong kalimat mamanya. Hatinya bergejolak, tidak bisa membayangkan kehilangan sosok yang selama ini menjadi penopang hidupnya.

Namun, hanya mendapatkan gelengan kepala dari mamanya membuat Sweet frustasi. Rasa putus asa menyelimuti hatinya. Apa yang bisa ia lakukan? Dalam keheningan yang menyakitkan, Ethan menghampirinya, menggenggam tangan Oma yang terkulai lemah.

"Kamu sudah siap?" tanyanya datar, tanpa ekspresi, membuat Sweet mengerutkan kening.

"Maksud kamu apa?" tanya Sweet kembali, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Ethan menatap kanan dan kiri, memastikan privasi mereka. "Ayo ikut denganku," ajaknya, dan tanpa banyak bertanya, Sweet mengangguk setuju. Kedua remaja itu melangkah keluar ke halaman, menjauh dari kerumunan, menjaga rahasia yang semakin membebani mereka.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Ethan berbicara, "Hari ini kita akan menikah."

Duar! Seperti suara petir di siang bolong, Sweet terperanjat. "Maksud kamu apa, Ethan? Oma sedang sakit, dan kamu mengajak aku kesini hanya untuk bercanda?" Suaranya bergetar, berusaha mengontrol emosi yang mendidih.

"Aku tidak bercanda, Sweet. Ini permintaan Oma. Paling penting, ini adalah wasiat. Aku mau Oma jalan dengan tenang," jawab Ethan tegas, menatap dalam mata Sweet.

"Jadi kamu sudah tahu-"

Ethan mengangguk sambil berkacak pinggang. "Iya, aku sudah tahu. Semua orang juga sudah tahu," jawabnya cepat, membuat Sweet semakin bingung. Dalam hati, ia merutuki janji yang telah diucapkan Oma, untuk tidak membocorkan rahasia yang menyakitkan ini.

Dalam kondisi Oma yang seperti ini, apakah Sweet tega untuk bertanya lebih pada Omanya? Tentu tidak. Rasa frustasi semakin memuncak, dan ia mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kalau aku nggak mau nerusin pernikahan ini gimana? Kamu bisakan nikah aja sama Rania," cetus Sweet tanpa terduga.

"Kamu gila ya!" bentak Ethan, wajahnya masam.

"Yes! I'm losing my mind! Aku capek dan kalau bisa, aku udah nggak mau ada hubungan apapun sama kamu!" teriak Sweet, emosi tak tertahankan.

Ethan tersenyum sinis. "Kamu kira aku suka sama kamu? Hmm? Kalau aku bisa memilih, aku mending nikah sama Rania yang jauh lebih baik dari kamu!"

"Iya udah, sana, nikah aja sama Rania."

"Sweet Felicia! Ethan! Oma di dalam itu sedang sakit, kalian malah berantem di sini. Kenapa kalian tidak bisa berpikir lebih dewasa sedikit saja, hah?" suara Mike, papinya Ethan, memecah ketegangan, membuat keduanya terdiam.

"Bukan aku, Pi. Dia yang salah!" tunjuk Ethan pada Sweet, berusaha membela diri.

"Kamu juga sama. Sekarang kalian siap-siap, acara dimulai sebentar lagi. No protes! Titik!" titah Mike, tegas.

Sweet masih ingin melayangkan protes, namun urung melakukannya. Om Mike benar, sekarang mereka harus mentaati wasiat dari almarhum Oppa, melihat kondisi Oma Ningsih yang sepertinya sudah tidak bisa bertahan lebih lama.

"Om, setelah aku menikah dengan Ethan, apakah kami bisa bercerai?" tiba-tiba Sweet bertanya, suaranya penuh harap dan sedikit bergetar.

Om Mike terdiam sejenak, pandangannya lembut menatap Sweet. "Om mengerti apa yang kamu rasakan, Sweet. Ingat, selama ada Om di sini, tidak ada yang bisa menyakiti kamu," ujarnya, berusaha menenangkan.

"Tapi om-"

"Sudah, sekarang masuklah. Ganti pakaianmu. Biarkan Oma tenang setelah melihat kalian bersatu," potong Om Mike dengan nada tegas namun penuh kasih.

Saat lafaz ijab selesai, suasana ruangan berubah menjadi sakral. Ethan dan Sweet kini resmi menjadi pasangan suami istri muda, dikelilingi oleh keluarga yang menyaksikan momen bersejarah ini. Namun, di tengah kebahagiaan yang seharusnya dirayakan, ada sesuatu yang mengganjal di hati.

Oma Ningsih, sosok yang penuh kasih, perlahan menutup matanya. Ada kedamaian di wajahnya, seolah seluruh beban sudah terlepas. Wasiat dari Oppa sudah terlaksana, dan kini dia bisa beristirahat. Namun, bukannya tertawa dan bersorak, suara tangisan menggema di ruangan, menandakan kesedihan yang mendalam.

Keluarga berkumpul, saling berpelukan, meratapi kepergian Oma Ningsih yang mendadak. Air mata mengalir, seperti hujan yang tak kunjung reda, menciptakan suasana yang kontras dengan momen bahagia yang seharusnya dirayakan. Sweet berdiri di tengah keramaian itu, hatinya bergetar, merasakan campur aduk antara kehilangan dan harapan yang masih membara.Sweet berdiri di samping Oma Ningsih yang terbaring lemah, hati kecilnya bergetar mendengar suara mamanya yang penuh kekhawatiran. "Ma, oma kenapa? Bukannya oma baik-baik saja ya, kenapa sekarang jadi seperti ini?" tanyanya, menahan air mata yang hampir menetes. Keresahan yang melanda membuat hari itu terasa gelap, seolah semua warna hilang dari dunia mereka.

"Mama juga nggak tau, Sweet. Oma mendadak nggak mau makan, setelah itu pingsan dan-" suara mamanya terputus, menggantung, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.

"Kenapa tidak ke rumah sakit aja?" tanya Sweet cepat, memotong kalimat mamanya. Hatinya bergejolak, tidak bisa membayangkan kehilangan sosok yang selama ini menjadi penopang hidupnya.

Namun, hanya mendapatkan gelengan kepala dari mamanya membuat Sweet frustasi. Rasa putus asa menyelimuti hatinya. Apa yang bisa ia lakukan? Dalam keheningan yang menyakitkan, Ethan menghampirinya, menggenggam tangan Oma yang terkulai lemah.

"Kamu sudah siap?" tanyanya datar, tanpa ekspresi, membuat Sweet mengerutkan kening.

"Maksud kamu apa?" tanya Sweet kembali, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Ethan menatap kanan dan kiri, memastikan privasi mereka. "Ayo ikut denganku," ajaknya, dan tanpa banyak bertanya, Sweet mengangguk setuju. Kedua remaja itu melangkah keluar ke halaman, menjauh dari kerumunan, menjaga rahasia yang semakin membebani mereka.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Ethan berbicara, "Hari ini kita akan menikah."

Duar! Seperti suara petir di siang bolong, Sweet terperanjat. "Maksud kamu apa, Ethan? Oma sedang sakit, dan kamu mengajak aku kesini hanya untuk bercanda?" Suaranya bergetar, berusaha mengontrol emosi yang mendidih.

"Aku tidak bercanda, Sweet. Ini permintaan Oma. Paling penting, ini adalah wasiat. Aku mau Oma jalan dengan tenang," jawab Ethan tegas, menatap dalam mata Sweet.

"Jadi kamu sudah tahu-"

Ethan mengangguk sambil berkacak pinggang. "Iya, aku sudah tahu. Semua orang juga sudah tahu," jawabnya cepat, membuat Sweet semakin bingung. Dalam hati, ia merutuki janji yang telah diucapkan Oma, untuk tidak membocorkan rahasia yang menyakitkan ini.

Dalam kondisi Oma yang seperti ini, apakah Sweet tega untuk bertanya lebih pada Omanya? Tentu tidak. Rasa frustasi semakin memuncak, dan ia mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kalau aku nggak mau nerusin pernikahan ini gimana? Kamu bisakan nikah aja sama Rania," cetus Sweet tanpa terduga.

"Kamu gila ya!" bentak Ethan, wajahnya masam.

"Yes! I'm losing my mind! Aku capek dan kalau bisa, aku udah nggak mau ada hubungan apapun sama kamu!" teriak Sweet, emosi tak tertahankan.

Ethan tersenyum sinis. "Kamu kira aku suka sama kamu? Hmm? Kalau aku bisa memilih, aku mending nikah sama Rania yang jauh lebih baik dari kamu!"

"Iya udah, sana, nikah aja sama Rania."

"Sweet Felicia! Ethan! Oma di dalam itu sedang sakit, kalian malah berantem di sini. Kenapa kalian tidak bisa berpikir lebih dewasa sedikit saja, hah?" suara Mike, papinya Ethan, memecah ketegangan, membuat keduanya terdiam.

"Bukan aku, Pi. Dia yang salah!" tunjuk Ethan pada Sweet, berusaha membela diri.

"Kamu juga sama. Sekarang kalian siap-siap, acara dimulai sebentar lagi. No protes! Titik!" titah Mike, tegas.

Sweet masih ingin melayangkan protes, namun urung melakukannya. Om Mike benar, sekarang mereka harus mentaati wasiat dari almarhum Oppa, melihat kondisi Oma Ningsih yang sepertinya sudah tidak bisa bertahan lebih lama.

"Om, setelah aku menikah dengan Ethan, apakah kami bisa bercerai?" tiba-tiba Sweet bertanya, suaranya penuh harap dan sedikit bergetar.

Om Mike terdiam sejenak, pandangannya lembut menatap Sweet. "Om mengerti apa yang kamu rasakan, Sweet. Ingat, selama ada Om di sini, tidak ada yang bisa menyakiti kamu," ujarnya, berusaha menenangkan.

"Tapi om-"

"Sudah, sekarang masuklah. Ganti pakaianmu. Biarkan Oma tenang setelah melihat kalian bersatu," potong Om Mike dengan nada tegas namun penuh kasih.

Saat lafaz ijab selesai, suasana ruangan berubah menjadi sakral. Ethan dan Sweet kini resmi menjadi pasangan suami istri muda, dikelilingi oleh keluarga yang menyaksikan momen bersejarah ini. Namun, di tengah kebahagiaan yang seharusnya dirayakan, ada sesuatu yang mengganjal di hati.

Oma Ningsih, sosok yang penuh kasih, perlahan menutup matanya. Ada kedamaian di wajahnya, seolah seluruh beban sudah terlepas. Wasiat dari Oppa sudah terlaksana, dan kini dia bisa beristirahat. Namun, bukannya tertawa dan bersorak, suara tangisan menggema di ruangan, menandakan kesedihan yang mendalam.

Keluarga berkumpul, saling berpelukan, meratapi kepergian Oma Ningsih yang mendadak. Air mata mengalir, seperti hujan yang tak kunjung reda, menciptakan suasana yang kontras dengan momen bahagia yang seharusnya dirayakan. Sweet berdiri di tengah keramaian itu, hatinya bergetar, merasakan campur aduk antara kehilangan dan harapan yang masih membara.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Syaa87

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Perselingkuhan

Gairah Liar Perselingkuhan

kodav
5.0

Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku