Drive Back To December

Drive Back To December

Noveris22

5.0
Komentar
396
Penayangan
86
Bab

Namaku Gayatri Rumi Rahardjo. Aku tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan mantan suamiku yang telah menceraikanku tiga tahun silam. William Alansyah namanya, atau aku biasa memanggilnya Mas Wilan. Pertemuan yang akhirnya membawaku pada situasi yang sulit. Permintaan Mas Wilan untuk menjadikanku istrinya lagi dengan segala keindahannya membuatku tertarik. Terlebih juga karena Mama Arini, mantan ibu mertuaku yang begitu menyayangiku. Keadaanku yang tak lagi memiliki ibu membuatku tak tega jika harus menghancurkan hatinya untuk ke sekian kalinya. Pada akhirnya, pernikahan kami terjadi untuk kedua kali. Akan tetapi perjalanan ini justru semakin sulit karena banyaknya pertanyaan tentang kehadiran buah hati di pernikahan kami. Awalnya aku cukup tenang manghadapinya, namun semakin hari justru suamiku yang terlihat menyembunyikan sesuatu. Semakin aku mencari lebih dalam, semakin aku terkejut dengan semua kenyataannya. Lalu, bagaimana selanjutnya? Haruskah peristiwa perceraian itu kembali terjadi? Menikah lalu berpisah dengan orang yang sama sebanyak dua kali sungguh bukan sebuah pilihan.

Bab 1 Gayatri Rumi Rahardjo

(PoV Rumi)

"Dengan ini saya nyatakan gugatan saudara William Alansyah terhadap saudari Gayatri Rumi Rahardjo dikabulkan, mulai hari ini saudara William Alansyah dan saudari Gayatri Rumi Rahardjo resmi bercerai dan bukan lagi suami istri. Sidang ditutup," ucap Pak Hakim.

Palu sudah diketuk tiga kali. Aku menghela nafas panjang.

"Baiklah, semua sudah berakhir. Semoga setelah perceraian ini, semua masalah akan selesai. Aku harus bahagia, hidupku akan berlanjut dengan kebahagiaan," ucapku dalam hati. Memandang wajah mantan suamiku sekali lagi lalu memandang mantan ibu mertua dan mantan adik iparku sebelum beranjak pergi dari ruang persidangan.

***

Tiga tahun berlalu. Sejak peristiwa itu aku memutuskan untuk kembali ke Jogja. Mengemban label janda cantik sudah menjadi rutinitasku. Aku sudah mulai terbiasa, aku tak peduli orang mau bicara apa tentang aku, yang jelas aku tidak minta biaya hidup dari mereka. Aku bekerja sebagai agen di salah satu asuransi jiwa. Levelku sudah lumayan tinggi, jadi yah sudah bisa sombong sedikit.

Sebenarnya perceraian itu tak membuatku trauma untuk berumah tangga lagi tapi aku jadi lebih selektif saja. Ada beberapa pria yang mendekatiku, mayoritas mereka pengusaha dan selalu tertawa jika aku menceritakan perceraianku karena aku dituduh workaholic, tapi aku merasa belum ada yang cocok dengan hatiku.

Siang itu seperti biasa aku mencari nasabah disalah satu mall di Jogja. Aku memilih berada di salah satu Cafe dalam mall itu bersama dengan salah satu sahabatku, sesama agen.

"Rum, gimana target trip udah nutup?" tanya Nina padaku.

"Ya udah dong, sama uang saku juga udah aku tutup."

"Sombong amat lu! Ya kamu enak, Rum. Pria-pria kaya itu mau beli asuransi atau sekedar investasi di kamu. Lah aku, susah bener."

"Makanya jadi janda dong," selorohku.

"Ihh! Amit-amit deh, anakku udah 3. Kamu enak, cerai nggak ada anak," Nina beberapa kali mengetuk meja dan menjitak kepalanya. Aku hanya tersenyum getir melihatnya. Sungguh menjadi janda bukanlah sebuah pilihan hidup.

"Aku pesen kopi lagi deh, puyeng dari tadi nggak ada target. Kamu mau apa lagi, Nin?"

"Alah, target apalagi sih? Nggak usah deh, pusing kebanyakan kopi."

"Target lain. Mungkin aja ada yang mau jadi suami, hahaha. Ya udah aku pesen kopi dulu."

Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju tempat pemesanan. Segelas soy coffee late sudah ditangan. Aku memang sengaja menunggu dan melihat baristanya meracik minumanku. Saat aku membalikkan tubuhku, aku melihat ada seorang lelaki yang tidak asing namun sudah lama tak pernah jumpa.

"Sudah kuduga itu pasti kamu, Rumi," sapa pria itu padaku.

"Henry? Henry Prasetya?" tanyaku memastikan.

"Hai, Rumi. Nggak nyangka ya ketemu kamu disini."

"Apa kabar? Ya ampun, udah lama baget. Lagi ngapain di Jogja?"

"Aku baik. Kebetulan lagi ada kerjaan di sini."

"Ohh, oke."

"Boleh gabung nggak? Kamu duduk dimana?"

"Di sana tuh, aku tunggu ya." Aku menunjuk sebuah meja.

"Oke, Rum. Aku pesan dulu trus ke sana ya." Aku menggangguk kemudian kembali ke mejaku. Tak lama Nina memutuskan pergi karena ada keperluan mendadak, sebelum Henry datang.

Henry Prasetya, dia teman kuliahku di UNY dulu. Orangnya baik, kharismatik, lucu dan juga tampan. Teman-temanku dulu bahkan menyebut Henry sebagai keturunan ningrat karena rupanya yang jawa banget.

Wajahnya yang teduh dan bersahaja selaras dengan tuturnya yang lembut pasti membuat para wanita meleleh jika dekat dengannya. Henry menjadi idola kampus pada zaman itu. Aku cukup beruntung bisa mengenalnya dan berteman baik dengannya hingga lulus. Namun setelah itu Henry kembali ke kota asalnya yaitu Malang. Kami putus komunikasi, tak pernah lagi bertemu. Dan hari ini kami berkesempatan untuk berjumpa lagi. Akhirnya dari perjumpaan singkat hari ini kami saling bertukar nomor WhatsApp.

Obrolanku dan Henry berpindah ke WhatsApp. Menyenangkan sekali bertukar kabar dengan Henry, membicarakan masa sekarang dan masa lalu. Kini dia bekerja sebagai Manager di salah satu perusahaan ekspor-impor di Surabaya. Selama Henry mengurus pekerjaannya di Jogja, kami jadi sering bertemu untuk sekedar minum kopi ataupun makan. Dan dari pertemuan-pertemuan itu, pertemuan di hari terakhir Henry di Jogja menjadi hal yang tak terlupakan dalam hidupku.

"Rumi, besok pagi aku sudah harus kembali ke Surabaya," ucap Henry lembut. Terlihat guratan kesedihan di wajah tampannya.

"Iya, aku tahu. Kan udah ngomong kemarin."

"Aku bersyukur bisa dipertemukan lagi dengan kamu," lanjut Henry disertai senyumnya yang selalu manis.

"Hmm, masak? Aku lebih ke seneng sih ketemu kamu lagi."

"Rumi, sesungguhnya ada hal yang aku sembunyikan darimu sejak dulu."

"Jangan bilang kamu suka sama aku?" goda ku.

"Memang kenapa? Ada yang salah?"

"Emang bener? Hahaha."

"Bener, Rum."

"Ha? Apa sih, Hen? Nggak lucu 'lah."

"Ya emang nggak lucu. Aku 'kan nggak ngelawak. Aku serius."

Aku terdiam. Menatap Henry, mencoba mencari kebohongan melalui manik matanya, namun aku tak menemukannya. Aku cukup terkejut mendengar pernyataannya. Sungguh aku tak pernah menyangka dengan semua ini.

"Tapi aku janda, Henry," ucapku kemudian.

"So, what? Aku sudah pertimbangkan. Kamu bilang kamu nggak trauma 'kan dengan rumah tangga. Aku ingin menikahi kamu Rumi. Aku sudah menahan perasaan ini sejak kita kuliah. Aku rasa Tuhan merestuinya karena sudah mempertemukan aku dengan kamu lagi. Aku janji akan menjagamu. Sampai akhir nafasku."

"Aku memang nggak trauma untuk membuka hati lagi, berumah tangga lagi. Tapi aku nggak bisa grasak grusuk. Beri aku waktu ya."

"Of course, kapanpun kamu siap. Jadi kita pacaran nih sekarang?"

"Ha? Gimana?"

"Kita pacaran, Sayang."

"Cie, Sayang."

"Cie udah lama nggak ada yang manggil Sayang ya?"

"Ngajak berantem ya, hari pertama jadian loh ini."

"Hahaha."

Aku belum mengerti apakah keputusanku untuk menerima cinta Henry adalah keputusan yang tepat. Tapi aku tak ingin menjadi wanita munafik. Aku ingin memberi kesempatan pada Henry untuk membuktikan ucapannya. Siapa tahu Tuhan memang mengirimkan jodohku berupa Henry yang tampan dan baik itu. Ahh! Seandainya benar, aku pasti menjadi wanita yang sangat beruntung.

***

Kehadiran Nina membuyarkan lamunanku. Hanya membaca chat dari Henry saja bisa membuatku senyum-senyum sendiri dan membayangkan kebersamaanku dengan Henry. Seperti mengulang masa remaja yang sedang di mabuk asmara.

"Kasmaran ya?" tebak Nina yang sialnya sangat tepat.

"Emm." Aku hanya mengangkat bahu, tak memberi jawaban pasti pada Nina.

"Siapa orangnya? Client kamu ya?" Aku menggeleng. Lagi-lagi tak memberi jawaban pada Nina yang super kepo ini, membuat Nina mengerucutkan bibirnya karena kesal.

"Jatuh cinta bikin bisu ya?" sindirnya padaku.

"Masih pagi udah marah-marah aja nih, Bu Nina."

"Ya kamu ditanya jawabnya cuma angkat bahu 'lah, nggeleng 'lah. Sebel jadinya."

Aku membuka ponselku, mencari swafotoku bersama Henry, lalu menunjukkannya pada Nina. Mata Nina langsung melotot melihat foto itu.

"Ya Allah, Gusti. Kok ngguanteng tenan to, Rum. Wong ngendi iki?" (Ya Allah, Gusti. Kok ganteng bener, Rum? Orang mana ini?)

Aku tertawa melihat Nina. "Malang, tapi kerja di Surabaya."

"Edan! LDR dong? Tapi nggak papa, Rum. Tak dukung kalo sama yang ganteng kayak gini. Dari pada Pak Galih yang udah duda itu. Mending ini kemana-mana, Rum."

Aku hanya tersenyum mendengar kejujuran Nina. Pak Galih adalah client yang telah beberapa kali secara terang-terangan menyatakan jika menyukai ku. Tapi sayangnya aku tak memiliki ketertarikan yang sama dengannya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Noveris22

Selebihnya

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Drive Back To December
1

Bab 1 Gayatri Rumi Rahardjo

16/08/2025

2

Bab 2 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

3

Bab 3 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

4

Bab 4 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

5

Bab 5 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

6

Bab 6 William Alansyah

17/08/2025

7

Bab 7 William Alansyah

17/08/2025

8

Bab 8 William Alansyah

17/08/2025

9

Bab 9 William Alansyah

17/08/2025

10

Bab 10 William Alansyah

17/08/2025

11

Bab 11 William Alansyah

17/08/2025

12

Bab 12 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

13

Bab 13 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

14

Bab 14 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

15

Bab 15 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

16

Bab 16 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

17

Bab 17 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

18

Bab 18 Gayatri Rumi Rahardjo

17/08/2025

19

Bab 19 Gayatri Rumi Rahardjo

15/09/2025

20

Bab 20 Gayatri Rumi Rahardjo

16/09/2025

21

Bab 21 William Alansyah

17/09/2025

22

Bab 22 William Alansyah

18/09/2025

23

Bab 23 William Alansyah

19/09/2025

24

Bab 24 William Alansyah

20/09/2025

25

Bab 25 William Alansyah

21/09/2025

26

Bab 26 William Alansyah

22/09/2025

27

Bab 27 William Alansyah

23/09/2025

28

Bab 28 William Alansyah

24/09/2025

29

Bab 29 William Alansyah

25/09/2025

30

Bab 30 William Alansyah

26/09/2025

31

Bab 31 Henry Prasetya

27/09/2025

32

Bab 32 Henry Prasetya

28/09/2025

33

Bab 33 Henry Prasetya

29/09/2025

34

Bab 34 Henry Prasetya

30/09/2025

35

Bab 35 Henry Prasetya

30/09/2025

36

Bab 36 Henry Prasetya

01/10/2025

37

Bab 37 Henry Prasetya

02/10/2025

38

Bab 38 Henry Prasetya

03/10/2025

39

Bab 39 Henry Prasetya

04/10/2025

40

Bab 40 Henry Prasetya

05/10/2025