/0/15588/coverorgin.jpg?v=611b3d4c8d11aacf8d7e8fda5cd71503&imageMogr2/format/webp)
Suara petir yang saling bersahutan disertai kilatan cahaya di langit telah menghentikan langkah seorang gadis yang terburu-buru ingin pulang. Satu tangannya memegang daun talas yang cukup lebar untuk menutupi tubuhnya dari guyuran hujan yang semakin deras dan satu tangannya lagi memegang sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu.
"Sebaiknya aku berteduh dulu di gubuk itu, ini hujannya malah semakin deras," gumamnya sendiri dengan kaki yang sudah tidak beralas sandal karena sengaja dilepas untuk menghindari terpeleset dari tanah yang licin.
Sebuah gubuk tua yang berdinding anyaman bambu yang sudah terlihat bolong di beberapa tempat, gadis itu pakai sementara untuk berteduh dari guyuran hujan yang tidak bersahabat.
Pintu tua yang telah usang perlahan gadis itu buka. Daun talas yang dipakai untuk melindungi dirinya tadi dari guyuran hujan, diletakan begitu saja di atas meja yang telah tua dimakan waktu.
"Lebih baik aku berteduh sebentar di sini, sangat bahaya bagiku jika melanjutkan perjalanan," gumam gadis itu melihat isi gubuk yang tidak terlalu besar.
Sebuah kursi tua satu-satunya yang ada di dalam gubuk, gadis itu pakai untuk meletakan wadah yang dari tadi tidak dilepas dari tangannya untuk meletakan wadah.
"Rokku basah dan kotor," gumamnya melihat ujung roknya yang selutut terlihat basah dan sedikit kotor terkena cipratan tanah.
Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegar membuat gadis itu langsung berjongkok dan menutup telinganya disertai jeritan yang ke luar dari bibir kecilnya. "Aaaa!"
Belum habis dari rasa terkejut karena suara petir yang begitu kencang disertai kilatan cahaya, tiba-tiba pintu didorong seseorang dari luar dengan kencang.
"Ya Tuhan, aku sangat takut," terdengar suara seorang wanita.
Gadis itu langsung melihat siapa yang datang dengan posisi masih berjongkok serta tangan yang masih menutup telinganya.
"Rupanya ada orang di sini," wanita itu melihat gadis yang sedang berjongkok sehingga mata mereka beradu. "Syukurlah ternyata aku tidak sendirian."
Gadis itu berdiri. "Aku sedang berteduh di sini."
"Aku boleh ikut berteduh di sini?" Tanya wanita itu. "Aku baru dari kebun habis petik sayuran, tapi di jalan mau pulang hujan begitu deras dan petirnya sangat menyeramkan. Aku sangat takut."
"Silahkan saja kalau mau berteduh di sini. Gubuk ini juga bukan punyaku," jawab gadis itu. "Kita sama-sama numpang berteduh."
Tiba-tiba terdengar suara petir diluar begitu kencang disertai kilatan cahaya sehingga membuat kedua orang yang sedang berteduh di dalam gubuk berteriak kencang karena kaget. "Aaa!"
Keduanya langsung berjongkok dengan kedua tangan menutup telinga serta mata yang terpejam.
"Aku paling takut dengan petir," ucap wanita itu.
"Aku juga takut dengan petir," gadis itu melihat ke arah jendela yang terbuka sedikit dan terlihat hujan masih begitu deras.
"Apa tidak berbahaya kita berteduh di sini?" Tanya wanita itu.
"Mudah-mudahan tidak, kita mau berteduh di mana lagi? Hanya gubuk ini tempat yang paling aman. Jarak dari sini ke rumah penduduk sangat jauh."
"Iya," jawab wanita itu. "Ngomong-ngomong kita belum berkenalan. Aku Asih. Panggil saja aku Asih, walau sepertinya kamu lebih muda dariku."
"Aku Cinta," jawab gadis itu kembali berdiri.
"Nama yang cantik, secantik yang punya nama," puji Asih.
"Terima kasih," jawab Cinta melihat sebuah wadah dari bambu yang tidak jauh berbeda dari miliknya di atas meja berisikan sayuran segar dan cabe merah.
"Itu sayuran yang aku petik tadi dari kebun," Asih seperti tahu dengan apa yang sedang dipikirkan Cinta.
"Sayurannya segar-segar."
"Aku sendiri yang menanam sayurannya. Kalau kamu mau, boleh kamu ambil. Kita bagi dua," Asih mengambil wadah miliknya.
"Eh, tidak usah. Itu punyamu, pasti kamu sangat membutuhkannya sampai hujan-hujan kamu memetiknya," Cinta menolaknya.
"Tidak apa-apa. Ini juga terlalu banyak buatku. Di rumah aku hanya tinggal berdua dengan Nenek." Asih mengambil beberapa sayuran dalam wadah miliknya dan dimasukkan ke dalam wadah milik Cinta yang terlihat kosong.
/0/12633/coverorgin.jpg?v=c9de61e739fa9a08b6c85b4a7aeb29cd&imageMogr2/format/webp)
/0/24530/coverorgin.jpg?v=b5a24a122497a045d676b8dbecba4170&imageMogr2/format/webp)
/0/12293/coverorgin.jpg?v=b2e6968b52417a533039e5ba601f1b54&imageMogr2/format/webp)
/0/2130/coverorgin.jpg?v=0898bc8b430b58c8088e6d499bb8e0ec&imageMogr2/format/webp)
/0/4700/coverorgin.jpg?v=8e204fb0ca9f9e6f9f9e11ff6d15da84&imageMogr2/format/webp)
/0/3842/coverorgin.jpg?v=de09c53e8573901198012dbb4b7846b1&imageMogr2/format/webp)
/0/23122/coverorgin.jpg?v=e07f203525618a6f8d7e40b58e3f2b5b&imageMogr2/format/webp)
/0/2924/coverorgin.jpg?v=e04338abf21ffe69c7f334fed521390c&imageMogr2/format/webp)
/0/10432/coverorgin.jpg?v=55eec7bd8c6ddef6ed23f46ede30247b&imageMogr2/format/webp)
/0/5756/coverorgin.jpg?v=22395f8a604d06774cbebbcddcc206b3&imageMogr2/format/webp)
/0/4283/coverorgin.jpg?v=20b81958f3c769953e53d59299eac0b2&imageMogr2/format/webp)
/0/21350/coverorgin.jpg?v=d843d606f9b710392d25f3a57952174d&imageMogr2/format/webp)
/0/27606/coverorgin.jpg?v=6ec4f207f52e481d680f04e3e9fb6f14&imageMogr2/format/webp)
/0/29587/coverorgin.jpg?v=40f82194c75834104df5839c131f6d97&imageMogr2/format/webp)
/0/8536/coverorgin.jpg?v=92c4ec56ea963e8582e65efa39e8f979&imageMogr2/format/webp)
/0/28848/coverorgin.jpg?v=9ff5f54c52ecac9586d2d0e9bb5d3f1a&imageMogr2/format/webp)
/0/6375/coverorgin.jpg?v=4e9c094fc9104bc57255672a80c1d0e1&imageMogr2/format/webp)
/0/3227/coverorgin.jpg?v=ed538cf120a68aa67c6b60f59e833617&imageMogr2/format/webp)
/0/12396/coverorgin.jpg?v=32949f0d1219af299a281079c50e8b2f&imageMogr2/format/webp)
/0/3556/coverorgin.jpg?v=ec390f80ad1ac726261e39ac3654fedf&imageMogr2/format/webp)