Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Aroma teh mengisi ruang makan yang luas, ditambah biskuit yang baru keluar dari panggangan. Di meja makan sudah tertata peralatan makan lengkap untuk sarapan. Namun, meja masih kosong kecuali seorang gadis yang sedang mengamati pelayan menuangkan teh panas ke dalam cangkir keramik bermotif bunga.
"Apa kau mau gula hari ini, Nona?"
"Aku tidak yakin..." desah Irish, tak bersemangat menghadapi pagi.
"Kalau begitu akan kutinggalkan di sini," ujar Sylvia meletakkan tempat gula di dekatnya, pelayan yang sudah bersama dengan keluarga mereka selama kurang lebih 30 tahun. Lebih tua dari umurnya yang masih 25 tahun.
"Jika Nona sudah menikah, Nona tidak bisa lagi sarapan sesiang ini. Jadi, sebaiknya kau mulai membiasakannya agar lebih mudah beradaptasi," Sylvia menyarankan sambil mengambil piring-piring kotor bekas kedua orang tuanya yang telah sarapan terlebih dahulu.
Irish hanya menanggapinya dengan senyuman jahil. Sylvia meninggalkan dirinya sendirian di meja makan dengan segelas teh hangat dan biskuit cokelat favoritnya.
Sylvia memang kadang cerewet, berpikiran kolot. Namun, Irish tahu bahwa perempuan itu sangat memedulikannya. Sejak tanggal pernikahan Irish sudah ditentukan. Sylvia sudah menyiapkan apa saja kira-kira yang perlu dibawa saat ia pergi ke rumah suaminya. Percayalah, jika ada yang paham apa yang paling diperlukan Irish maka Sylvia lah orangnya. Jauh lebih paham dibandingkan kedua orang tuanya sendiri. Mengingat ini membuat Irish berpikir apakah ada yang sebaik Sylvia nanti di rumah barunya.
Lamunan Irish terpecah ketika Tommy, pelayan pria mereka masuk ke dalam rumah dengan wajah panik. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu pada Irish namun mengurungkan niatnya. Anak muda itu bergegas ke dapur mencari Sylvia.
"Pria itu memaksa masuk, aku sudah jelaskan tuan dan nyonya sudah melarang dia untuk bertemu Nona Irish, tapi dia bersikeras!" Kata Tommy dengan suara teredam, diikuti dengan suara Sylvia yang meminta Tommy untuk memelankan suara.
Irish yang mendengar itu langsung menyusul ke dapur. Tommy dan Sylvia mendadak diam ketika melihatnya sudah berada di ambang pintu dapur. Memandang dengan penuh keingintahuan.
"Ada apa?" tanyanya.
"Itu ada tukang loak... yah.. dia..." Tommy tergagap mencaari alasan, matanya berlari kesana-kemari menghindari tatapan Irish.
"Mau memeriksa barang secara langsung!" Sergah Sylvia dengan nada yang agak berlebihan. "Tentu kita tidak boleh mengizinkan orang masuk sembarangan." Susulnya dengan suara yang tidak yakin.
Irish menatap mereka datar. "Ayolah, aku mendengar percakapan kalian, itu Felix kan?"
"Kami sudah berjanji pada tuan dan nyonya, kau tidak boleh menemuinya lagi. Hari minggu kau akan menikah dan itu lima hari lagi. Menemui kekasih ah... maksudku lelaki yang menaruh hati padamu sekarang bukanlah hal yang bijaksana." Tegas Sylvia, meskipun kedua tangannya saling menggenggam cemas.
"Kalian yang berjanji, aku tidak demikian!" ucap Irish teguh. Lalu dia mendekati Sylvia, memegang kedua tangan yang sudah berkeringat itu. "Bantulah aku kali ini, mungkin ini terakhir kalinya aku bisa berbicara dengan Felix. Tidak adil baginya jika tidak mendapatkan penjelasan apapun dariku."
"Tapi, Nona... jika tuan tahu..."
"Mereka tidak akan tahu jika tidak ada yang memberi tahu..."
***
Felix dengan gelisah menunggu di depan pintu rumah keluarga Armand. Dia sengaja datang pagi-pagi untuk menghindari orang tua Irish, dia tahu mereka sibuk mempersiapkan pernikahan anak perempuan mereka beberapa hari lagi. Jadi dia mengambil kesempatan itu. Dan sekarang, dia mempertaruhkan keberuntungannya disini.
Pintu berderik diikuti wajah pelayan pria muda yang gelisah. Felix berharap itu adalah pertanda baik baginya. Dia harus menemui Irish, wanita itu berhutang penjelasan padanya. Felix menatap pemuda itu dengan harap-harap cemas.
Sejak mengetahui kabar bahwa Irish akan menikah dari Ibunya, dia belum pernah bertemu lagi dengan Irish. Dan, akhirnya dia mendapat jawaban dari tatapan sedih yang diberikan Irish ketika mereka terakhir bertemu di taman dua minggu lalu. Tapi, itu masih belum cukup.
"Ikuti aku, Tuan." Kata pemuda itu membuka pintuk agar ia bisa ikut masuk. Diikuti dengan desahan napas lega dari Felix.
Felix membuntuti pemuda itu dan mereka memasuki ruang makan dengan Irish yang menunggunya. Irish yang indah, rupawan, manis, yang dicintainya. Ia berlari kecil meraih tangan perempuan itu dan mengecupnya.
"Cintaku..." desahnya.
"Felix..." balas Irish dengan wajah sendu, ia balik menggenggam tangan pria itu. Ia menatap Sylvia yang berdiri tidak jauh dari mereka, "Tinggalkan kami, aku janji tidak akan terjadi apapun."
Sylvia sungkan, namun ia mempercayai Irish dan mengajak Tommy untuk berjaga di depan dan membiarkan kedua pasangan itu berbicara untuk yang terakhir kali.
Setelah yakin keduanya pergi, Irish kembali menatap Felix. Dia tersenyum dan melepaskan genggaman tangan pria itu. "Teh?" Katanya menawarkan, "Sylvia membuat biskuit terlezat yang pernah ada, kau harus mencicipinya Felix."
"Aku kesini bukan untuk makan biskuit." Felix yang sedari tadi tidak pernah melepaskan pandangan dari Irish mengabaikan tawaran basa-basi wanita itu.
"Aku tahu."
Sejujurnya, Felix ingin sekali marah, meluapkan kekecewaan dan rasa sakit hatinya pada Irish. Bahwa dia tega membohongi dan mengkhianatinya. Bahwa surat-surat cinta yang sering mereka bagi adalah omong kosong belaka. Namun, setelah melihat Irish yang dicintainya dengan mata bulat yang polos dihias bulu mata lentik, hidungnya yang mancung, bibir yang tebal dan penuh di wajahnya yang mungil kontras dengan dagu yang tegas dibingkai dengan rambut gelap yang tebal dan wangi. Hari ini dia memakai gaun berwarna ungu bermodel konservatif dengan dada tertutup penuh dan lengan yang panjang.
"Aku dengar kau akan dijodohkan dengan pria cacat? Betapa teganya orang tuamu! Katakan padaku kau tidak akan menikah dengan pria itu, dan akan pergi bersamaku, kita kawin lari!" Felix bersikeras, menarik kembali tangan Irish dalam genggamannya. "Aku sudah menyiapkan segalanya, bahkan tempat tinggal kita nanti."
"Lalu apa?" jawab Irish dingin.
"Ya?" leher Felix tercekat, ia tidak menyangka jika kekasih yang dicintai karena kelembutan kata-katanya bisa mengeluarkan nada setajam itu.
"Lalu selanjutnya apa?" desah Irish, "Kau adalah anak pria satu-satunya di keluargamu, Felix. Jika kau menikah denganku, kau tidak akan bisa mendapatkan keturunan. Apa kau tidak merasa bersalah?"
Mata Felix berbinar, hatinya sakit menerima tembakan fakta dari bibir tebal Irish. Ia merintih perih. "Irishku, kekasihku..."
"Yang dilakukan orang tuaku sudah tepat. Tidak akan ada pria yang mau menikahi perawan tua dan mandul sepertiku. Hanya calon suamiku yang mau menerimaku karena dia tidak menginginkan anak. Dia menjanjikanku hidup yang baik dan itu membuat orang tuaku tenang di akhir hidup mereka."
"Tidak. Kau tidak boleh berbicara seperti itu, Irishku!" jawab Felix sendu, ia mengecup tangan Irish. Berharap wanita itu mau berubah pikiran, namun ketegasan Irish membuat nyali Felix menciut.
"Maafkan aku, Felix. Semoga kau mendapatkan Istri yang lebih baik dariku."
Ucapan itu sebenarnya juga melukai hati Irish. Namun, dia tidak punya pilihan selain membuat pria itu mengerti bahkan dengan cara yang paling kasar sekalipun. Mungkin dengan ini, Felix bisa melupakannya dan tetap menjalankan hidup sesuai tanggungjawab yang dibebankan padanya sejak lahir. Meneruskan keturunan.