/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
Sekitar pukul dua pagi, Ningsih melihat Mirna dan seorang pria paruh baya berjalan menuju sebuah lorong. Ningsih penasaran, ia mengikuti mereka dari belakang. Ia melihat Mirna dan pria itu masuk ke sebuah kamar. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, hanya menyisakan celah kecil. Jantung Ningsih berdetak kencang, ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengintip.
Di dalam kamar yang remang-remang, Ningsih melihat adegan yang membuat darahnya berdesir. Mirna duduk di pangkuan pria itu. Gaun merahnya sudah terlepas dari pundak. Pria itu mencium leher Mirna, sementara tangan Mirna mengusap rambut pria itu. Suara kecupan dan desahan menggema di kamar itu. Ningsih menutup mulutnya, menahan napas. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mirna yang ia kenal di desa, yang pendiam dan pemalu, kini berubah menjadi sosok yang binal, melayani birahi pria-pria hidung belang.
Pemandangan itu membuat Ningsih merasa jijik. Ia langsung berbalik, berlari keluar dari lorong itu. Air matanya menetes. Ia tidak bisa membayangkan dirinya berada di posisi Mirna. Ia tidak mau mengorbankan kehormatan demi uang.
***
Di bawah bayang-bayang Gunung Salak yang menjulang, hidup Ningsih, seorang gadis desa berwajah manis dengan senyum yang selalu merekah. Usianya baru 21 tahun dan ia baru saja lulus dari SMK di desanya yang tenang di kawasan Bogor. Namun, ketenangan itu tidak sebanding dengan beban di pundaknya. Ayah dan ibunya bekerja keras membanting tulang di sawah, tetapi penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sementara itu, kedua adiknya masih kecil-kecil, membutuhkan biaya sekolah dan kehidupan yang lebih baik.
Ningsih, sebagai anak sulung, merasa terpanggil untuk membantu. Ia ingin mengubah nasib keluarganya. Berbekal tekad dan keberanian, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ibunya memeluknya erat-erat sebelum ia berangkat, matanya berkaca-kaca. "Hati-hati, Nak. Jangan lupa sholat dan jaga diri baik-baik," pesan ibunya dengan suara bergetar.
"Iya, Bu. Ningsih janji. Ningsih akan cari kerja yang halal buat bantu keluarga kita," jawab Ningsih mantap, meskipun hatinya diliputi keraguan.
Satu-satunya harapannya adalah Mirna, sepupunya yang berusia 23 tahun yang sudah dua tahun merantau di Jakarta. Mirna sudah berjanji akan membantu Ningsih mencarikan pekerjaan. Ningsih membayangkan pekerjaan di kota besar pasti bergengsi, seperti karyawan kantor atau pelayan restoran. Ia hanya ingin bekerja keras dan mengumpulkan uang agar bisa kembali ke desanya dengan sukses.
Setibanya di Jakarta, Ningsih langsung disambut oleh Mirna. Penampilan Mirna sangat jauh berbeda dari yang ia kenal di desa. Rambutnya diwarnai merah menyala, bibirnya dipoles lipstik merah pekat, dan ia mengenakan celana jeans ketat dengan atasan crop top yang memperlihatkan perutnya.
"Ningsih, aduh, kangen banget!" seru Mirna sambil memeluk Ningsih. "Kamu makin cantik aja, ya. Sini, aku ajak ke kontrakan. Nanti malam kita langsung wawancara kerja."
Mata Ningsih membulat. "Wawancara? Secepat ini?"
"Iya dong, selagi ada kesempatan. Kebetulan tempat kerjaku lagi butuh banyak karyawan," jelas Mirna sambil tersenyum misterius.
Malam harinya, Mirna mengajak Ningsih ke sebuah klub malam yang gemerlap dengan lampu-lampu neon. Dentuman musik menggetarkan dada, dan aroma alkohol bercampur dengan keringat. Ningsih merasa asing. Ia tak pernah membayangkan tempat seperti ini.
"Mir, ini... tempat apa?" tanya Ningsih ragu.
"Ini tempatku kerja. Ini namanya **karaoke club**," jawab Mirna santai. "Kerjaan kita gampang kok, cuma nemenin tamu nyanyi, minum, sama ngobrol-ngobrol aja."
Ningsih mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Ia pikir pekerjaannya hanya sebatas pelayan, seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Namun, pemandangan di depannya membuatnya terkejut. Ia melihat Mirna, yang baru beberapa menit lalu masih bersikap ramah, kini berubah menjadi sosok yang jauh lebih berani. Mirna mengenakan gaun mini ketat berwarna merah yang memamerkan lekuk tubuhnya. Ia duduk di pangkuan seorang pria paruh baya, tertawa genit sambil menyuapkan anggur ke mulut pria itu. Pria itu sesekali mencium pipi Mirna, dan Mirna hanya membalasnya dengan senyum.
Melihat pemandangan itu, Ningsih merasa perutnya mual. Ia tidak menyangka pekerjaan Mirna seburuk ini. Bahkan, ia melihat beberapa wanita lain yang bekerja di sana terlihat sangat akrab dengan tamu-tamu mereka. Ada yang berpelukan, berciuman, bahkan berbisik-bisik mesra.
"Ningsih, kok diam aja? Ayo, kita ke bos. Kamu harus kenalan dulu sama dia," ajak Mirna sambil menarik tangannya.
/0/27661/coverorgin.jpg?v=bd6edfac82f8c33c47f5024543340f8d&imageMogr2/format/webp)
/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
/0/10051/coverorgin.jpg?v=77e5cecb4311ca37c6777987f025b6a7&imageMogr2/format/webp)
/0/15068/coverorgin.jpg?v=fbd51862a8cec951ec91fa8185276564&imageMogr2/format/webp)
/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
/0/17882/coverorgin.jpg?v=9079b312ff97b8638c0c92c6cce5b2b1&imageMogr2/format/webp)
/0/5325/coverorgin.jpg?v=a9836def2a9e7aa6ec6273032028da59&imageMogr2/format/webp)
/0/17140/coverorgin.jpg?v=9116f11934ba3241336420f79b9c0f06&imageMogr2/format/webp)
/0/24718/coverorgin.jpg?v=eb09d16e15371d44e22ed895a50075a6&imageMogr2/format/webp)
/0/28277/coverorgin.jpg?v=10cba95fd7484ab9f5f0618f7e548767&imageMogr2/format/webp)
/0/17802/coverorgin.jpg?v=f5003c6624880c47706b7f7a18f2466d&imageMogr2/format/webp)
/0/6079/coverorgin.jpg?v=00a1f6c0c468fd46d51c37e5460a9c74&imageMogr2/format/webp)
/0/8366/coverorgin.jpg?v=7f911a9bc8a5fc1b2c82524542a66ba8&imageMogr2/format/webp)
/0/2377/coverorgin.jpg?v=67acf49fea73fef129ee87c869b4833f&imageMogr2/format/webp)
/0/6800/coverorgin.jpg?v=bb215ec44e5fcbdc9a77524e4a36d19c&imageMogr2/format/webp)
/0/15744/coverorgin.jpg?v=06abe3e55eacaf5d8b461595cbfda95e&imageMogr2/format/webp)
/0/17676/coverorgin.jpg?v=c838b304dcffa7016fddab1360bd3c1c&imageMogr2/format/webp)