/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Akad nikahku dan Mas Yusuf digelar di rumah kami. Pernikahan yang terjadi tanpa pacaran. Bahkan hanya taaruf sebulan, aku langsung setuju untuk menikah dengannya.
Mataku menyipit, menajamkan penglihatan kala tampak luka seperti bekas cakaran di tangan suamiku. Bekas yang merah kecoklatan itu sebagian tertutup lengan tuxedo yang dikenakannya.
"Dik Hanna," panggil Mas Yusuf yang membuatku terhenyak.
"Ah, ya." Segera kucium punggung tangan lelaki tampanku itu. Saat melihat senyumnya yang menawan segala pertanyaan mengenai bekas cakaran itu menghilang dari pikiran.
Usai acara yang dilangsungkan, Mas Yusuf pamit pada keluarga, akan memboyongku ke rumahnya.
Sepanjang jalan aku tersipu setiap kali melihat ke arah Mas Yusuf dan ternyata pria itu juga menatap ke arahku. Mungkinkah debar jantung yang kurasa Mas Yusuf juga merasakannya?
Sampai di sebuah rumah besar, mobil yang mengantar kami berbelok. Rumah ini tampak sepi. Di depan pintu pria itu mengeluarkan kunci. Apa iya di rumah sebesar ini Mas Yusuf tidak menyewa pembantu? Atau orang bantu-bantu. Hem. Entahlah, barang kali karena sudah malam, para pekerja sudah pulang.
"Em. Maaf, kunci rumah Mas masih manual. Belum sempat mengurus ini, belakangan memang sibuk sekali," ucap pria itu sambil sibuk memasukkan anak kunci.
"Hem. Santai saja, Mas. Aku biasa hidup susah," kelakarku. Pria itu tertawa renyah.
Ya, aku sudah mandiri sejak SMP. Sejak masuk Pesantren segala hal kuurus sendiri, aku bahkan yang mengurus keperluan sebagian santri setelah menjadi senior dan dipercaya ustazah untuk ikut andil di Pesantren.
"Masuklah." Mas Yusuf tersenyum. Wajahnya makin bersinar saat kuamati lengkungan di bibir itu untuk kali pertama.
Ini juga pertama kali aku menjejakkan kaki di rumah pria yang baru menghalalkanku.
Satu-persatu ruangan di lantai satu diperlihatkan padaku hingga kami naik ke lantai dua. Pria itu memperlihatkan kamar kami yang besar. Namun, sebelum masuk mataku tak sengaja menangkap bayangan pintu di ujung lorong. Gelap. Tak ada jendela atau penerangan di sana.
"Itu ... juga kamar?" tanyaku ragu.
Seketika Mas Yusuf menoleh melihat ruang yang kutunjuk.
"Ehm. Itu hanya gudang," jawabnya tampak gelagapan.
Gudang? Kenapa letaknya di lantai dua? Tak masuk akal. Dan yang membuatku heran ada apa dengan ekspresi itu? Apa dia menyimpan seorang gundik di sana? Apa dia menyimpan monster?
"Sudah, masuklah. Ini malam pertama kita jadi ...."
Aku yang sebelumnya sempat curiga, sontak tersenyum melihat ekspresi malu-malu di wajahnya. Kami canggung. Karena sedari awal perkenalan, ta'aruf sebulan tanpa pertemuan dan interaksi intens, akad segera digelar.
/0/3038/coverorgin.jpg?v=f6843068f7360214f4c2a8c2f0dd0042&imageMogr2/format/webp)
/0/13816/coverorgin.jpg?v=dcd375df5c7eb6ce2b672d32a556e176&imageMogr2/format/webp)
/0/26436/coverorgin.jpg?v=662d31027b29deaa516232960da79bd2&imageMogr2/format/webp)
/0/15923/coverorgin.jpg?v=8733d2099908bb77fe69856b61ccee43&imageMogr2/format/webp)
/0/23409/coverorgin.jpg?v=bff9ac62bc8dbdd3a3e5c75c1ad9e5d8&imageMogr2/format/webp)
/0/8337/coverorgin.jpg?v=502381ba3eb3a2d44a7b59972f01a83c&imageMogr2/format/webp)
/0/5290/coverorgin.jpg?v=4e395246c883fa9451b70b76b14e3f3f&imageMogr2/format/webp)
/0/5195/coverorgin.jpg?v=85a162f7c170b2aebbda49a0c031e545&imageMogr2/format/webp)
/0/3546/coverorgin.jpg?v=3be323c4fbaf9aeb863488847af3a7bf&imageMogr2/format/webp)
/0/2581/coverorgin.jpg?v=bf135e0dac2a4579df7bca333fac9bb5&imageMogr2/format/webp)
/0/2885/coverorgin.jpg?v=cafedad332189ab41b083664223cdc61&imageMogr2/format/webp)
/0/6622/coverorgin.jpg?v=e7eae051dee0b354c3ccd49c8e69f246&imageMogr2/format/webp)
/0/15488/coverorgin.jpg?v=6b65d6e6c727adb06413d5b0aa8a016e&imageMogr2/format/webp)
/0/6873/coverorgin.jpg?v=7ac57c4587f40b812226d44612ec67aa&imageMogr2/format/webp)
/0/3367/coverorgin.jpg?v=213463bd4a7d15c886c3b7075a04c1d1&imageMogr2/format/webp)
/0/28851/coverorgin.jpg?v=b05270e6ed77606396aac70a51e2be25&imageMogr2/format/webp)