Cinta yang Tersulut Kembali
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Jangan Main-Main Dengan Dia
Gairah Liar Pembantu Lugu
Cinta di Jalur Cepat
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Sang Pemuas
Pagi itu aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang hangat memenuhi dapur rumah mewah keluarga Wijaya.
Mira, seorang gadis berusia 22 tahun yang telah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah ini selama 5 sedang sibuk menyiapkan sarapan.
Meskipun ia hanya seorang pembantu, Mira selalu merasa berterima kasih karena pekerjaan ini telah membantunya menghidupi keluarganya terutama setelah kecelakaan tragis yang menimpa ayahnya beberapa bulan lalu.
Ayahnya terlibat dalam kecelakaan tabrak lari yang meninggalkannya dalam kondisi kritis. Biaya operasi untuk menyelamatkan nyawanya begitu tinggi dan jauh di luar kemampuan Mira. Semua yang dia miliki telah dijual tetapi masih belum cukup. Operasi yang terus ditunda membuat kesehatan ayahnya semakin memburuk.
Mira butuh uang dan dia tidak memiliki cara lain selain berbicara kepada kepala palayan. Hingga saat ini Mira masih menunggu kabar darinya.
Setelah selesai menata meja makan Mira mendengar suara langkah kaki ringan memasuki dapur. Nyona Wijaya, wanita paruh baya yang anggun dan selalu tampil elegan muncul di depan pintu.
Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tetapi ada sorot mata yang berbeda hari ini, seolah-olah ada sesuatu yang penting yang ingin dia sampaikan kepada Mira.
“Mira, bisakah kau datang ke ruang kerja saya setelah menyiapkan sarapan?” suaranya lembut namun tegas.
Mira menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ini adalah pertama kalinya dalam lima tahun Nyona Wijaya memintanya untuk datang ke ruang kerja. Biasanya dia hanya hanya sebatas mengurus dapur dan kamar-kamar.
“Tentu, Nyona,” jawab Mira mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayapi hatinya.
Apa dia telah melakukan kesalahan? Mira sangat takut saat ini. Takut dirinya dipecat jika hal itu terjadi dia tak tahu harus mencari pekerjaan kemana lagi.
Mira menuju ke ruang kerja Nyona Wijaya. Ruangan yang luas dengan dinding yang dihiasi rak-rak penuh buku dan beberapa lukisan indah. Nyona Wijaya duduk menunggu Mira.
“Silakan duduk, Mira,” katanya menunjuk ke kursi di depan meja.
Mira duduk perlahan. Detak jantungnya semakin cepat. Apakah ada yang salah dengan pekerjaannya? Atau apakah ada sesuatu yang lain?
“Mira, saya tahu tentang kondisi ayahmu dari Bu Nani. Saya tahu kau telah berusaha keras untuk mengumpulkan uang untuk operasinya. Tapi sampai saat ini belum cukup, bukan?”
Mira hanya bisa mengangguk. Matanya mulai memanas oleh air mata yang ia tahan. Mungkin ini yang dimaksud kepala pelayan. Apa karena itu nyonya memanggilnya? Jika benar beliau sangat baik.
“Aku ingin menawarkan sebuah solusi untuk masalahmu,” lanjut Nyona Wijaya dengan nada serius. “Aku bisa menanggung semua biaya operasi ayahmu dan bahkan memastikan kehidupanmu dan keluargamu menjadi lebih baik." Mira tertegun mendengarnya. Air matanya nyaris menetes. Mimpi apa ia semalam.
"Namun ada satu syarat.”
“Apa... apa yang Anda minta, Nyona?” tanya Mira dengan gugup.