Harsha merasa kosong. Kakinya tetap melangkah ke depan, tapi tidak tahu menuju kemana. Bayangan-bayangan masa lalu seolah-olah menariknya hingga ia tidak dapat berjalan dengan baik. Gadis itu merasa di kehidupannya yang sekarang tidak ada yang benar. Semuanya begitu mencurigakan dan tidak dapat dipercaya. Terutama ketika ayah yang ia tunggu-tunggu kepulangannya datang membawa seorang wanita dan dua muda-muda, kemudian ayahnya mengatakan bahwa mereka adalah ibu dan saudara sambungnya. Tak disangka-sangka ternyata salah satu dari mereka adalah bagian penting dari hidupnya yang selama ini hilang. "Percayalah, suatu yang hilang akan kembali pada tempatnya. Hanya perihal waktu."
Matahari yang semula berdiri tegak memancarkan sinar penting bagi para makhluk penghuni bumi secara sukarela, kini mulai menuruni cakrawala dari timur menuju barat secara perlahan, namun pasti.
Tidak ada keraguan yang tampak dari proses penurunan matahari tersebut. Penurunan yang berani, memancarkan warna yang tegas, dan disaksikan oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia yang berbeda. Sehingga maknanya jadi berbeda pula.
Langit yang awalnya berwarna biru cerah dipadukan dengan awan putih bergumpal berubah menjadi oranye yang dipadukan dengan pink dan ungu kebiruan. Akibatnya, cakrawala menjadi seindah warna api.
Fenomena umum tersebut menyadarkan orang-orang yang gila mengejar dunia, akhirat, maupun keduanya bahwa waktu telah berjalan sebegitu cepat. Manusia tetaplah makhluk yang memiliki hasrat lupa akan waktu. Akibat terlalu bersemangat ataupun sebaliknya, terlalu malas.
Sampai menyalahkan hukum alam yang tidak bersalah akibat beberapa pekerjaan ada yang masih belum terselesaikan sebelum waktunya. Bukannya bersyukur, manusia tidak tahu diri ini malah mengumpat dan terus menggerutu.
Bersyukurlah kala Sang Pencipta masih mengingat jika makhluk ciptaannya membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan raga sejenak. Setelah itu, tidak ada hambatan lagi untuk melanjutkannya. Dan ini terjadi bagi sebagian orang yang masih tahu akan kata syukur.
Arunika di akhiri dengan swastamita, terbit di akhiri dengan terbenam, lahir di akhiri dengan mati, dan kesedihan di akhiri dengan kebahagiaan. Begitulah daur hidup seterusnya sampai Sang Pencipta berkata untuk berhenti, maka semuanya akan berhenti dalam satu kedipan mata.
Fenomena alam yang lazim disebut sunrise dan sunset itu ternyata memiliki sejuta makna bagi kebanyakan orang-orang. Keindahan dan kehangatan yang diberikan Sang Pencipta secara cuma-cuma yang hanya bisa dinikmati oleh makhluk ciptaan-Nya yang terkadang tidak tahu diuntung.
Sangat disayangkan jika fenomena alam itu dilewatkan begitu saja. Banyak kenangan yang akan diperoleh jika dihadapi dengan suasana hati yang bagaimana saja, entah itu baik ataupun tidak. Terkadang manusia dengan sifat angkuh dan tamaknya malah mengabaikan begitu saja dengan mulut yang tidak berhenti berkoar-koar.
Padahal matahari juga hadir sebagai elemen penting bagi makhluk hidup sebagai penunjang hidup bersama elemen-elemen lainnya, seperti air, tanah, api, dan cinta.
Terbitnya matahari sebagai pertanda bahwa waktu makhluk hidup untuk membuka mata dan melakukan hal-hal bermanfaat di pagi hari telah tiba. Dimulai dengan memasang niat yang baik dan senyum tulus yang mengembang lebar.
Terbenamnya matahari pada seperdua hari yang akan memberi pertanda untuk mengakhiri segalanya. Meski masih banyak yang rela mengabaikan waktu istirahat untuk lembur agar pekerjaan cepat selesai dan bisa pulang dengan ringan badan, tanpa beban.
Saatnya pulang ke tempat berpulang ternyaman yang lazim disebut rumah dengan hembusan nafas lega. Akhirnya, setelah berjam-jam berkutat dengan pekerjaan dapat kembali ke lingkaran hangat rumah tangga. Makan malam bersama anak dan istri yang telah menunggu dengan sabar di meja makan.
Bagi yang hidup sendiri tentu saja tidak sabar untuk meniduri ranjang terkasih yang telah dingin setelah ditinggal begitu lama tanpa belaian.
Lumayan banyak orang yang memaknai matahari terbenam sebagai anugerah terindah, namun menyakitkan dalam satu waktu. Datang hanya sekejap untuk memberikan secuil kenangan yang tidak akan hilang dalam sekejap.
Kemudian menghilang digantikan oleh langit gelap seutuhnya. Menjadikan bintang-bintang dan bulan sebagai teman walau mereka tidak menganggapnya ada karena terlalu sibuk membuat diri mereka sendiri semakin terang.
Tidak jauh berbeda dengan dia yang tiba-tiba masuk dalam lingkaran hidupnya yang monokrom. Memberinya banyak rasa dan kenangan yang permanen menetap dibenaknya. Kemudian pergi begitu saja bersama cintanya yang semakin besar.
Hati yang dulu sudah mulai mencair kini kembali membeku dalam sekali hembusan angin. Dinginnya mengalahkan dingin di Kutub Utara. Mimpi yang mereka bangun setinggi Burj Khalifa pun hancur lebur dan rata bersamaan dengan tanah yang biasa mereka pijaki.
Sebenarnya dia yang ia sebut tidak benar-benar pergi. Hanya raga dan tubuhnya yang pergi, nyatanya kenangannya masih tertinggal disini bersama orang-orang terkasih yang ditinggalkan.
Ia tahu dia sudah lelah, justru itu dia pergi memilih untuk beristirahat panjang dan berharap bisa bangun kembali dengan tubuh dan jiwa yang sama. Namun, takdir yang berbeda atau biasa disebut dengan reinkarnasi. Tapi, yang menjadi masalah adalah ia yang belum bisa melepas kepergiannya begitu saja.
Dia yang menjadi alasannya untuk hidup telah pergi dan sekarang sudah berbaur bersama gugusan bintang yang menghiasi langit kelam. Pertanyaannya, bagaimana ia bisa hidup dengan tenang jika tujuannya untuk hidup saja sudah tidak ada lagi?
Bintang yang paling terang menurutnya itu mengerlipkan sinar yang tidak dapat membuatnya pangling. Menemani dirinya yang kesepian, menjadi penerang dalam kegelapan hidupnya, dan memberi harapan jika dia akan kembali.
Nyatanya tidak ada yang seperti itu di dunia ini. Semua yang diinginkan tidak akan pernah mudah di dapatkan jika hanya dengan berdiam diri, menengadah menghadap langit, dan berhalusinasi jika di sini adalah dunia fantasi di mana bintang dapat diraih dengan tali koboy.
Mustahil.
Di sini adalah dunia nyata, tidak ada hal-hal magic kecuali sulap yang penuh akan trik-trik manipulasi. Sang Pencipta terlalu menyayangi ciptaan-Nya, Dia tidak ingin ciptaan-Nya menjadi tamak dan serakah apabila keinginannya terkabul dengan begitu mudah.
Dunia benar-benar akan hancur dalam waktu singkat jika dihuni dengan manusia-manusia yang tidak memiliki jiwa kamanusiaan. Baik itu secara perlahan maupun secara langsung.
Harus ada niat, do'a, dan usaha keras agar keinginan tersebut dapat terkabul. Tetap bersabar meski memakan waktu yang cukup lama. Apapun yang di dapatkan dengan hasil keringat sendiri jauh lebih berharga daripada hanya menadahkan tangan berharap belas kasihan dari orang lain.
Kurva indah terbentuk di wajah yang tadinya hanya memandang kosong ke langit. Bak kanvas lukis yang baru saja dilukis sedemikian rupa dengan Dewa Yunani sebagai objek gambarannya.
Sempurna.
Namun, masih ada kekurangan dari lukisan tersebut. Tidak adanya binar kehidupan dari matanya, seolah-olah ia benar-benar lukisan yang tidak bernyawa. Padahal nyatanya ia adalah salah satu manusia yang masih berharap untuk bisa 'hidup' kembali.
Pemuda beratasan hoodie hitam itu tanpa sadar mengangkat tangannya ke udara. Memposisikan tangannya seolah-olah akan meraih Aldebaran yang tampak bersinar paling terang malam ini.
Tangannya terus terayun-ayun di udara, ibaratkan memanjat tebing terjal tanpa alat bantu yang tidak sampai-sampai. Tidak ada yang ia dapat selain angin berbentuk abstrak yang menari-nari di sekitar tangannya.
Pertahanannya runtuh, benteng pertahanan yang ia bangun kokoh roboh begitu saja. Usahanya untuk tetap terlihat baik-baik saja dikesepian yang menyiksa ini ikut roboh bersamaan dengan jatuhnya Aldebaran ke bumi bagian barat.
Ah~ ia baru ingat jika dunia tempat ia tinggal sekarang tidak sebaik itu untuk memberikan apa yang ia inginkan secara cuma-cuma.
Harus ada tumbal. Dan kebahagiannya adalah tumbalnya.
Kepalanya terasa penuh dengan beban-beban pikiran yang berkecamuk sehingga kepalanya tertunduk dalam, menyembunyikan wajahnya di lutut yang ditekuk. Tanpa menyadari jika kakinya sudah mati rasa.
Air mata mulai mengalir begitu deras, bak air terjun, mengaliri wajah tampannya. Tangannya yang tidak ada pekerjaan tidak tinggal diam, menambah pekerjaan dengan menarik rambutnya kuat-kuat.
Bagaimana mereka bertemu untuk pertama kalinya, ekspresi ketakutan dia saat mereka bertemu, berakhir dia yang lebih dahulu menyapanya dengan mengesampingkan rasa takutnya seperti yang ia harapkan.
Lalu mereka saling mengenal, mereka menjadi dekat, dia tidak takut lagi dengannya. Dia mulai berani melontarkan senyum manisnya dan membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertama.
Suara lembutnya, keusilannya yang membuat ia jengkel, tawanya yang membuat ia merasa damai, dan air matanya yang jatuh membuat ia ikut sakit.
Semua kenangannya bersama dia berputar layaknya kaset rusak dibenaknya, terus berputar tanpa peduli jika isi kepalanya sudah kusut.
Tarikan pada rambutnya semakin kuat sampai beberapa helai rambut tercabut dari kepalanya. Tidak ada sakit yang ia rasakan, melainkan ia merasa tenang.
Semakin kuat tarikannya, kepalanya semakin terasa ringan. Beban pikiran yang bersarang di kepalanya seperti ikut tertarik bersama helaian rambutnya.
'Jika suatu saat nanti kau merindukanku, menengadah lalu tataplah langit malam. Cari bintang yang menurutmu adalah yang paling terang karena itu adalah aku,' ujarnya waktu itu lalu mereka tertawa lepas.
Dia menganggapnya candaan, tapi ia menganggapnya sungguhan. Setiap detik ia merindukannya, langit malam adalah saksi bisu bagaimana jantungnya selalu berdetak kencang ketika ia menatapnya untuk melampiaskan kerinduannya.
'Aku merindukanmu, Harsha.'
***
Bersambung.