Alika duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat selimut tipis yang sudah lusuh warnanya. Suasana kamar itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang tak beraturan dan sesekali suara mobil melintas di jalan depan rumah. Tapi bagi Alika, keheningan itu lebih berat daripada ribuan kata yang bisa diucapkan. Ia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, seolah menunggu sesuatu-atau seseorang.
Hatinya terasa sesak, dan pikirannya berputar tanpa henti. Sudah hampir setahun ia menjalani rumah tangga dengan Daffa Ardhana, pria yang dulu selalu membuatnya tertawa lepas, kini menjadi sumber luka yang tak terlihat. Ia ingat hari-hari awal mereka menikah, ketika setiap senyum Daffa seolah menyinari seluruh dunianya. Tapi sekarang? Senyum itu nyaris tak pernah muncul, digantikan oleh keheningan yang menusuk dan tatapan dingin yang membuat Alika merasa asing di rumahnya sendiri.
"Alika..." suara itu akhirnya terdengar dari ruang tamu, pelan tapi tegas.
Alika menahan napas. Suara itu begitu familiar, begitu menggetarkan hati sekaligus menakutkan. Ia menutup matanya sejenak, mengumpulkan keberanian. "Aku di sini," jawabnya dengan suara pelan, tapi ada nada tegas yang tak bisa disembunyikan.
Pintu kamar terbuka perlahan. Daffa muncul dengan langkah lambat, matanya menatap Alika tanpa berkedip. Ada kerutan di dahinya, tapi bukan marah. Lebih pada kebingungan, atau mungkin rasa sakit yang sama seperti yang Alika rasakan.
"Kau... ingin bicara?" tanyanya akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Alika mengangguk, menelan ludah. "Iya... kita perlu bicara, Daffa. Tentang kita. Tentang rumah tangga kita."
Daffa menghela napas panjang, lalu duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari langit malam yang gelap. "Apa yang ingin kau katakan, Alika?"
Alika menunduk, menatap tangannya sendiri. "Aku... aku lelah, Daffa. Lelah menjalani semuanya sendirian. Aku merasa kita... kita sudah terlalu jauh berbeda. Aku sudah mencoba bertahan, mencoba mengerti, tapi sepertinya aku... aku tak mampu lagi." Suaranya mulai bergetar, tapi ia menahan tangis yang hampir tumpah.
Daffa menoleh, matanya menyipit. Ada sesuatu yang berubah di Alika, sesuatu yang membuat hatinya tersentak. "Alika, apa maksudmu?"
Alika menarik napas dalam-dalam, menegakkan tubuhnya. "Aku ingin mengakhiri ini... pernikahan kita, Daffa. Aku ingin kita berpisah."
Daffa terdiam, tatapannya kosong. Kata-kata itu seperti lemparan batu yang menghantam jendela hatinya, pecah menjadi ribuan kepingan kecil. "Berpisah... maksudmu... benar-benar berpisah?" suaranya gemetar, meski ia berusaha terdengar tenang.
Alika mengangguk, air matanya menetes tanpa bisa ia bendung. "Iya. Aku sudah memikirkannya panjang. Aku tidak bisa lagi terus hidup dalam kesunyian yang menyiksa, dalam perasaan yang hanya menimbulkan luka."
Daffa menunduk, wajahnya menutupi rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan. Ia ingin menenangkan Alika, ingin membujuknya untuk tetap tinggal, tapi hatinya sendiri juga sedang bergelut. Mereka menikah dengan cinta, bukan karena keterpaksaan. Dan cinta itu... dulu terasa nyata, kini nyaris memudar di antara kesalahpahaman, jarak emosional, dan harapan yang tak pernah sejalan.
"Alika... aku... aku tidak ingin kau pergi," katanya akhirnya, suaranya serak. "Tapi... aku juga merasa... aku gagal membuatmu bahagia."
Alika menatapnya, hatinya remuk mendengar pengakuan itu. "Daffa, bukan soal siapa yang gagal. Kita hanya... tidak cocok, itulah kenyataannya. Kita terlalu berbeda, dan aku merasa... aku tidak bisa lagi bertahan dalam hubungan ini."
Daffa menutup wajahnya dengan tangan, napasnya tersengal. "Aku... aku tidak menyangka kau akan berkata seperti ini. Aku selalu berharap kita bisa memperbaiki semuanya. Aku selalu berharap kau bisa memberiku kesempatan lagi."
/0/28886/coverorgin.jpg?v=990aa4b0743153405a92edba20938b8d&imageMogr2/format/webp)
/0/2673/coverorgin.jpg?v=01bcae8d5f147832ddb6f44dfb02cfa8&imageMogr2/format/webp)
/0/10504/coverorgin.jpg?v=70f46d2b7d1b54273dd655e97f0c6085&imageMogr2/format/webp)
/0/9741/coverorgin.jpg?v=20250122182521&imageMogr2/format/webp)
/0/3102/coverorgin.jpg?v=76cdab6514c48d7709f718a12f0b5bcc&imageMogr2/format/webp)
/0/23510/coverorgin.jpg?v=5edef706926659f99d3ed836d274efb0&imageMogr2/format/webp)
/0/15614/coverorgin.jpg?v=c418b1aaaf998551827b3d1ad249b85a&imageMogr2/format/webp)
/0/28056/coverorgin.jpg?v=8bb2c64f8027114d914612291d7422e8&imageMogr2/format/webp)
/0/5379/coverorgin.jpg?v=20250121174008&imageMogr2/format/webp)
/0/3782/coverorgin.jpg?v=20250122110220&imageMogr2/format/webp)
/0/14057/coverorgin.jpg?v=94c831b7f982301983c825857edf2680&imageMogr2/format/webp)
/0/16995/coverorgin.jpg?v=58c39fc3a5e3fe5313df237efab70edf&imageMogr2/format/webp)
/0/8464/coverorgin.jpg?v=bb2fa6976040b74967606847f472435d&imageMogr2/format/webp)
/0/19245/coverorgin.jpg?v=22b1f68eeefe2fcb98fb459b90630e51&imageMogr2/format/webp)
/0/15904/coverorgin.jpg?v=20250123121110&imageMogr2/format/webp)
/0/26695/coverorgin.jpg?v=9121bab7f13b66f9146bcffacfa3f719&imageMogr2/format/webp)
/0/17329/coverorgin.jpg?v=6d94525be778bf5cbcfd24242aae5160&imageMogr2/format/webp)