Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DUDA MODAL DENGKUL

DUDA MODAL DENGKUL

Rubah Ekor9

5.0
Komentar
207
Penayangan
10
Bab

Siapa yang tidak kesal dengan Fathur? Duda melarat ini ditinggal istrinya karena muak dengan sifat malasnya. Kendati demikian, dengan percaya diri menyebut diri sendiri tidak memiliki kekurangan. Setelah bercerai dengan sang istri, Fathur dan putra semata wayangnya yang masih balita menjadi beban keluarga. Setiap hari hanya bermalas-malasan, hingga badannya gemuk seperti kerbau. Suatu hari, tetangganya baru saja ditinggal mati oleh suami. Janda dengan dua anak yang masih kecil-kecil tersebut rupanya ditengarai menerima pencarian jasa Raharja karena suami meninggal dalam kecelakaan. Fathur yang malas bekerja itu pun punya ide untuk mendekati sang janda demi mendapatkan uang belasungkawa tersebut. Berhasilkah Fathur menjadi the next crazy rich? Atau justru gagal total dan ambyar?

Bab 1 Pertikaian Tengah Malam

Balita satu setengah tahun itu terus menangis. Tidak, ia tidak sedang mencari ibunya, melainkan menginginkan sebotol susu sebagai pengantar tidur. Namun, toples susu bubuk itu telah kosong.

Sementara itu, pria berusia hampir kepala tiga tengah sibuk merebus secangkir beras untuk diambil tajinnya. Mengganti susu dengan air tajin, itulah yang saat ini ia bisa lakukan untuk menenangkan putranya yang sudah hampir dua bulan ini disapih karena istrinya memutuskan untuk bekerja.

Sang istri yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibu dari bayi laki-laki bernama Zian itu telah berangkat bekerja sejak petang tadi dan biasanya akan pulang saat tengah malam. Wanita yang hanya tamatan sekolah dasar tersebut bekerja sebagai LC di tempat karaokean dengan gaji yang kecil karena masih masa training. Pekerjaan yang kadang harus rela diraba-raba pria itu terpaksa ia jalani karena tak tahan hidup serba kekurangan. Tinggal di kosan sepetak, balita yang butuh susu, sedangkan suaminya sudah menganggur sangat lama. Setelah pertengkaran besar akhirnya didapat kesepakatan bahwa ia bekerja, sedangkan suaminya momong anak.

"Cup, Nak ... mimik ini dulu ya, Nak. Besok bapak kalau sudah punya duit beli susu untuk Zian," ujar Fathur, bapak dari balita satu setengah tahun itu sembari memegangi ujung botol susu yang tengah diminum oleh anaknya.

Bocah laki-laki itu akhirnya tertidur setelah air tajin di dalam botol berukuran 120 mili habis tak tersisa. Tak lama kemudian, terdengar suara motor berhenti di depan kosan. Ternyata sang ibu telah pulang dari bekerja diantar oleh teman sesama LC.

"Gue langsung balik ya, Flo," ujar gadis berpakaian ketat itu kepada Anita yang sering dipanggil Flora sebagai nama kerennya.

"Eh, mampir dulu!" pinta Anita pada temannya.

"Nggak, deh. Lain kali aja. Udah tengah malem gini juga, ntar anak elu bangun," tolaknya.

Begitu temannya tancap gas, Anita pun segera masuk ke dalam kosan yang hanya berukuran 4 x 6 itu. Sepi sekali dan gelap. Ia yakin pasti anak dan suaminya sudah tidur. Namun, ia terpaksa harus menyalakan lampu. Klik! Saat lampu menyala, suaminya duduk dengan tangan bersedekap di dada menatapnya tajam.

"Kukira sudah tidur, Mas?" tanya Anita kepada Fathur, suaminya.

"Zian nangis terus, susunya habis. Bawa uang nggak? Besok biar kubelikan susu Zian," jawab Fathur dengan mengesampingkan segala rasa kesal juga marah.

"Uang? Ini baru tanggal lima belas, Mas. Gajian masih dua Minggu lagi. Uang dari mana?"

"Kan, kamu bisa pinjem dulu ke temanmu. Masa kamu tega Zian minum air tajin terus?"

Keduanya tampak mulai dikuasai amarah jika sudah membahas soal uang. Menikah muda yang awalnya penuh dengan cinta akhirnya kalah dengan menikah dengan penuh uang. Cinta sudah tidak ada lagi jika hari-hari hanya meributkan tentang uang, uang, dan uang.

"Mas, pinjem duit ke siapa? Intan? Mas lupa udah berapa lama Mas nganggur? Selama ini memangnya beli sayur, beli lauk, bayar kosan dari mana? Intan, Mas, Intan. Udah numpuk utangku di tempat Intan. Sampai kapan harus begini, ha?!"

Anita menangis sesenggukan. Ia sendiri hanya berasal dari keluarga miskin dengan sebelas bersaudara. Awalnya dengan menikah semua beban hidup bisa dibagi dengan pasangan. Sayangnya, ia salah memilih pasangan hidup. Pria yang ia nikahi tak begitu berbeda dengan dirinya yang juga berasal dari keluarga miskin. Parahnya lagi, suaminya itu pemilih dalam pekerjaan karena malas dan sebenarnya juga tidak punya keahlian apa pun.

Hampir tiga tahun berumah tangga, Fathur hampir tak pernah menafkahi. Pria itu hanya sesekali saja bekerja bila sedang mood. Ia merasa dunia fotografer adalah keahliannya. Sayangnya job yang diterima begitu seret. Orang yang pernah memakai jasanya tak pernah memanggilnya kembali karena hasilnya sangat mengecewakan. Ya, Fathur sama sekali tidak berbakat di bidang fotografer. Ia hanya menyukai profesi tersebut agar terdengar keren saja. Prakteknya nol besar.

Sesekali diajak temannya untuk memotret. Itu juga karena kasihan. Biasanya ia hanya bertugas untuk angkat-angkat lampu atau menggulung kabel saat shooting acara hajatan pengantin. Uang yang didapat tidak seberapa, tetapi prinsipnya adalah habiskan hari itu juga, besok pikir nanti.

Anita yang malang. Kini, ia adalah tulang punggung. Suaminya sama sekali tidak dapat diandalkan. Bahkan, sebagai wanita bersuami ia tidak dilarang melakukan pekerjaan sebagai LC yang memiliki konotasi negatif di masyarakat.

Malam itu, setelah pertikaian dengan suaminya, Anita menelepon teman yang tadi mengantarnya agar menjemputnya. Ia pun segera memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas lusuh yang sudah dijahit dan ditambal.

"Mau ke mana?" tanya Fathur.

"Mau minggat," jawab istrinya.

"Minggat, minggat sana! Jangan bawa Zian!"

"Oke! Punya suami mokondo kayak kamu juga nggak ada gunanya!" seru Anita yang langsung membuat bocah laki-laki itu terbangun dan menangis.

Terdengar suara motor di luar sana. Anita sempat menggendong putranya berusaha agar tangisan bocah laki-laki itu berhenti. Namun, Fathur dengan kasar merebut balita itu dari gendongannya.

"Katanya mau minggat? Tuh, yang jemput udah datang. Sana minggat!" gertak Fathur pada istrinya.

Fathur yang sebenarnya hanya menggertak begitu yakin bahwa istrinya tidak akan jadi pergi karena tak tega melihat anak mereka menangis. Namun, Fathur salah. Wanita yang dipanggil ibu oleh putranya itu benar-benar pergi dari kosan derita yang sudah mereka tinggali selama hampir tiga tahun.

Mengusap air mata dengan kasar. Anita membuat tuli telinganya seolah tak mendengar tangisan balita itu. Ia segera membonceng ke atas motor dan menyuruh temannya bergegas meninggalkan tempat itu.

Keributan itu membuat penghuni kos lainnya terbangun. Mereka melihat ke arah pria yang kini tengah menggendong bocah laki-laki yang terus menerus menangis memecah keheningan malam. Ada rasa sesal di hati Fathur saat sang istri benar-benar telah meninggalkannya. Namun, dengan tidak tahu diri ia segera berpikir jika dalam dua atau tiga hari pasti istrinya itu akan kembali.

Keesokan harinya, Fathur menyisir seluruh sudut kamar kosan miliknya untuk mencari mana tahu ada uang yang terselip. Ia benar-benar tidak punya uang satu rupiah pun. Beruntung, masih ada beberapa liter beras untuk membuat tajin. Namun, anaknya butuh makan. Tidak mungkin hanya nasi dan garam saja. Akhirnya, karena tidak menemukan uang untuk ongkos. Ia memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah temannya yang berada di lain kecamatan dengan jarak hampir delapan kilometer. Ini adalah harapan satu-satunya jika tidak memperoleh pekerjaan, setidaknya bisa memperoleh pinjaman untuk menyambung hidup beberapa hari ke depan.

"Wei, Bro! Tumben main?"

"Nanti dulu tanyanya, Bro. Minta minumlah aku," jawab Fathur yang sudah sangat kehausan dan kelelahan. Ia segera meletakkan anaknya di atas lantai keramik di teras rumah temannya. Bocah laki-laki itu pun tampak menurut seolah memahami bahwa bapaknya sudah sangat pegal menggendongnya.

Sementara itu, Rizal si pemilik rumah segera meminta istrinya untuk membuat seteko minuman sirup dan es batu.

"Ngapain Fathur ke sini, Pa?" tanya istri Rizal saat keduanya berada di dapur.

"Main, Ma. Namanya teman ya wajar berkunjung," jawab Rizal.

"Halah, palingan mau minjem duit, Pa. Lihat saja mukanya kayak orang susah gitu."

"Hush! Jangan gitu, Ma. Kalau pun iya mau pinjem duit ya kita kasih aja, Ma. Mungkin lagi beneran butuh," ujar Rizal yang masih membela temannya di depan sang istri.

"Oalah, Pa ... Pa. Orang kayak Fathur itu semua juga tahu kalau utang mana pernah bisa bayar? Sudah miskin, malas, merasa paling menderita padahal nggak berusaha memperbaiki hidup. Kasian istri sama anaknya."

Rizal membawa seteko es sirup dan seloyang roti lapis meninggalkan istrinya yang terus mengkritik Fathur. Semua yang dikatakan istrinya memang benar adanya. Akan tetapi, Rizal merasa kurang etis jika bergibah tentang aib temannya sendiri. Apa lagi, saat ini orang yang dibicarakan sedang bertamu di rumahnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku