Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jeratan Cinta CEO Diktator

Jeratan Cinta CEO Diktator

Zahra Mayeesha

5.0
Komentar
204
Penayangan
10
Bab

Andra Azfer Edelberto, seorang pengusaha yang harus berjuang mencari dalang dibalik kecelakaan orang tuanya. Kekejaman dan sifat dingin yang ia miliki membuatnya ditakuti oleh banyak orang. Kekayaannya membuat semua orang berlomba-lomba untuk menghancurkannya dengan cara licik. Hingga ia dipertemukan dengan seorang wanita yang selalu menentang semua perintahnya dan sialnya adalah kekasih dari saudara kandungnya sendiri. Liora adalah satu-satunya wanita yang berani menentang semua keputusan Andra dalam seumur hidupnya. Hari berlalu, begitu juga dengan kedekatan mereka hingga Andra memiliki niat untuk merebut Liora dari sang kakak. Tak pernah terpikirkan oleh Andra jika dalang dibalik semua musibah yang menimpa keluarganya adalah berasal dari orang terdekat Liora. Dapatkah Andra membuat hati Liora berpaling dari sang kakak? Dan apakah Andra bisa tetap mencintai Liora setelah mengetahui fakta mengejutkan itu?

Bab 1 Apa yang Anda Inginkan

"Halo."

Suara berat nan serak seorang pria terdengar di tengah ruangan bernuansa abu-abu. Kemeja putih yang menutupi seluruh bagian tubuh atasnya yang dilapisi jas hitam dengan dasi senada, terikat simpul sedikit longgar. Menggantung di lehernya yang sedikit terukir goresan benda tajam.

Kemeja lengan panjangnya ia gulung hingga memperhatikan tangan kekar dengan otot-otot indah yang menghiasinya.

"Tetap awasi tempat itu!" ucapnya dengan tangan yang terus membuka lembaran dokumen yang menumpuk di mejanya.

"Kirim semua bukti-bukti yang kau temukan kepadaku. Kutunggu sampai jam 12." Pria itu langsung memutuskan sambungannya. Sedikit senyum iblis terlihat saat layar laptopnya menampilkan bukti-bukti yang dipotret pada tempat kejadian.

"Cih! Merenggut nyawa orang lain hanya untuk mengalahkan kekuasaannya?" Kepalanya menggeleng pelan.

Ia benar-benar tak habis pikir dengan orang-orang di sekitar daddy-nya yang haus akan harta, namun mendapatkannya dengan cara kotor, tak memedulikan konsekuensi yang akan mereka dapatkan setelah melakukan pembunuhan itu.

Andra Azfer Edelberto, seorang pengusaha ternama yang terkenal oleh seisi dunia. Bisnis yang digelutinya membuatnya menjadi sosok miliarder sejak usianya masih 20 tahun, usia yang cocok untuk seorang pria yang baru saja dewasa untuk memegang sebuah tanggung jawab.

Kematian daddy-nya yang telah direncanakan membuat Andra dewasa melakukan penyelidikan.

Hari ini, ia sudah mendapatkan bukti-bukti berupa tangkapan gambar serta video yang merekam seluruh kejadian kecelakaan berencana yang dialami oleh daddy-nya. Terekam jelas di dalam video yang ditangkap oleh CCTV milik warga setempat yang belum di hack oleh pelaku tersebut.

Andra meraba meja kerjanya, mengambil handphonenya dan memanggil orang suruhannya.

"Berikan kompensasi 10 kali lipat kepada pemilik toko yang memiliki CCTV ini. Dan, berikan juga fasilitas agar tokonya semakin berkembang. Berikan 50 juta kepadanya, dan ganti CCTV toko miliknya dengan CCTV yang kita punya. Saya ingin melihat dengan jelas wajah pelaku yang telah berani mengambil nyawa Justin Edelberto!" ujarnya dengan wajah merah padam, menahan amarah.

Ruangan yang dipenuhi dengan AC tak memengaruhi emosinya yang semakin meninggi.

Tangannya terkepal kuat, memukul lemari dengan besi-besi runcing yang menghiasinya hingga membuat tangannya terluka. Luka di tangannya tak begitu menyakitkan dibandingkan dengan harga dirinya yang jatuh karena tak bisa melindungi orang tuanya.

"Awasi juga pemilik toko itu! Jangan biarkan dia pergi saat semua kesaksiannya bisa kita gunakan sebagai bukti," lanjutnya.

Andra membenarkan posisi duduknya. Matanya menatap lurus layar laptopnya yang membuat matanya bersinar karena terkena pantulan blue light.

Ia melirik sekilas kalender yang ada di mejanya. Matanya menyapu habis setiap tanggal yang diberi tanda lingkar berwarna merah hingga membuat dahinya mengerut.

"Jangan lengah! Hubungi asisten saya jika nomor ini tidak aktif."

Andra meletakkan sembarangan handphonenya. Ia mengambil kalender yang mencuri perhatiannya. Melihat setiap tanggal yang dilingkari, serta mencocokkannya dengan catatan yang ada di IPad yang mencatat semua jadwalnya.

"Kenapa tidak ada alarm pengingat?" gumamnya.

Matanya melirik sinis ke arah pintu yang langsung dibuka tanpa ketukan terlebih dahulu. Mata abu-abu miliknya menatap tajam seorang pria yang berdiri di depan pintu dengan kedua tangan yang membawa notebook berukuran besar.

"Selamat pagi, Tuan!" sapanya yang hanya dijawab gumaman oleh Andra.

"Mohon maaf atas keterlambatan saya, Tuan. Tadi, sedikit ada kendala saat perjalanan menuju kantor."

"Masuk! Jelaskan!" Andra menunjuk catatan jadwalnya kepada pria di depannya yang menjabat sebagai asisten pribadi.

Dika duduk di depan kursi kebesaran Andra. Mata tajam mereka beradu tatap beberapa detik, hingga akhirnya Dika membuka mulut, menjelaskan semua yang terjadi kepadanya sehingga membuat dirinya telat beberapa menit datang ke kantor.

"Ada beberapa mobil yang menghalangi jalan saya, Tuan. Mereka mengajak saya berkelahi, tapi saya tidak sadar jika perkelahian itu hanyalah jebakan."

Dika melanjutkan ucapannya, hingga membuat suara tawa sinis Andra terdengar, "Mereka membuat ban mobil saya kempes, sehingga saya harus menunggu beberapa jam kedatangan tim darurat kantor."

"Harimu menyenangkan."

Andra langsung menunjukkan IPad yang ia pegang kepada asistennya. Meminta kejelasan atas tanggal dan jam yang tertera pada jadwal yang dilingkari di kalender iPad-nya.

"Apa ini? Kenapa kau tidak memberitahu saya jika siang ini kita memiliki rapat?" Raut wajah Andra merah padam, urat-urat di lehernya sedikit menegang. Emosinya masih belum stabil karena bukti-bukti yang dikirimkan orang suruhannya.

"Maaf, Tuan. Karena projects itu, saya tidak tidur dan melupakan rapat yang akan diadakan siang ini," kata Dika dengan rasa bersalahnya.

"Bukan urusan saya!"

Dika hanya bisa diam, menyadari kesalahannya yang tidak mengingatkan Andra akan jadwal bos-nya itu.

"Lupakan! Selesaikan saja projects itu. Biarkan seluruh dokumen-dokumen ini saya yang urus."

Andra kembali melanjutkan tugasnya, memeriksa semua dokumen penting yang harus ia urus untuk di bahas saat rapat nanti.

Handphone berwarna hitam milik Andra berbunyi sangat kencang hingga membuat konsentrasi Andra dan Dika terpecah. Mereka tak bisa mengabaikan nada dering ponsel Andra yang terus berdering walaupun sudah berusaha untuk mengabaikannya.

"Tuan, kenapa Anda tidak menjawab panggilan itu? Mungkin informasi penting." Dika memberanikan diri membuka mulut dan menyarankan Andra untuk menghentikan suara deringan ponselnya.

"Biarkan saja. Semua nomor orang penting sudah saya simpan. Nomor yang menghubungi saya itu tidak ada keterangan yang jelas."

Andra memasang earphone pada telinganya, memutar lagu dari laptop, tak ambil pusing dengan kalimat protes yang asistennya ucapkan.

Andra mengangkat kepalanya saat asistennya menepuk pundak disertakan memanggil namanya berkali-kali.

"Dengarkan ini sekali saja, Tuan." Dika mengulurkan ponsel Andra dan meminta Andra untuk mendengarkan semua yang diucapkan si penelepon.

Andra menggebrak mejanya. Matanya memerah setelah mendengarkan semua yang diucapkan si penelepon.

"Kita berangkat sekarang!" perintah Andra membuat asistennya terkejut.

"Siapkan semua keperluan. Keperluan pribadi saya, dan keperluan rapat."

Andra merapikan mejanya, mematikan layar laptopnya yang masih menyala, serta menaruh semua dokumen yang sudah ia tanda tangani ke dalam brankas, penyimpan semua dokumen penting miliknya, dan tanda tangan kontrak para karyawan yang bekerja di perusahaannya.

"Apa Anda berniat melangsungkan rapat di dekat lokasi itu, Tuan?" tanya Dika yang memahami jalan pikir Andra.

"Ya. Anda sewa restoran untuk kita rapat nanti. Sekalian kita makan siang bersama mereka," jawab Andra tanpa menghentikan aktivitasnya dalam menyusun dokumen penting.

"Menerima tawaran makan siang itu, Tuan?" tanya Dika dengan terkekeh pelan.

"Ya. Cepat, siapkan mobil!" Andra sedikit merapikan dasi yang melingkar longgar di lehernya. Membawa tas kerjanya, berjalan meninggalkan Dika yang masih menghubungi sopir pribadi Andra saat di kantor.

****

Andra langsung menghampiri orang suruhannya yang sudah menunggunya di depan pintu masuk.

"Selamat datang, Tuan." Mereka semua membungkuk hormat. Pintu masuk dipenuhi oleh bodyguard-bodyguard Andra yang bertugas untuk mengamankan sekitar mereka.

Andra memasuki toko, disusul oleh asisten, orang suruhan, dan beberapa bodyguard lainnya.

"Apa Anda adalah saksi mata dalam kecelakaan yang dialami oleh tuan Edelberto?"

Andra langsung memberikan pertanyaan kepada bapak yang memiliki umur kisaran 55 tahun yang duduk sopan di sofa yang telah disediakan.

Andra tak memerlukan kalimat basa-basi untuk bertanya kepada orang yang tidak ia kenal.

'Jika bisa langsung ke intinya, kenapa harus memerlukan kalimat basa-basi?'

Begitulah respons yang Andra berikan jika ada seseorang yang berani mengkritik sifat dan tingkah lakunya. Respons itu juga berlaku untuk keluarganya setiap mereka menegur dengan kritikan yang sama.

"Betul, Tuan. Saya bisa menjadi saksi mata atas kecelakaan yang dialami tuan Edelberto 3 tahun yang lalu," ujarnya. Memberanikan diri mengangkat kepala dan melihat dengan jelas wajah Andra yang menjulang karena tinggi badannya yang berbeda dari pria umumnya. Ia memiliki tinggi di atas rata-rata.

"Apa kalian sudah memeriksanya?" tanya Dika dengan mata melirik, mengamati setiap benda yang terpasang sempurna di badan pria yang menjadi saksi mata, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Sudah, Tuan. Kami sudah memeriksanya sebelum memberanikan diri untuk menghubungi tuan Andra. Tidak ada satu pun alat api dan benda pelacak lainnya yang terpasang pada tubuh pria ini. Semuanya aman. Jikapun dia mencoba menipu kami dengan berbagai cara tipu muslihat, kami sudah mempunyai aksesnya. Nyawa keluarga besar pria ini ada di tangan tuan Andra," ucap salah satu orang suruhan membuat mata pria saksi mata membulat, tubuhnya mengejang kaget saat kalimat yang transparan seperti ancaman terdengar oleh indera pendengarannya.

"Apa-apaan ini? Kenapa kalian melibatkan keluarga besarku dalam masalah kalian?"

Pria saksi mata menggebrak meja dengan keras, ia langsung bangkit dari duduknya, tangannya terkepal dengan kuat, matanya melotot ke arah Andra yang hanya diam dengan ekspresi datar saat menyaksikan aksi berontak yang ia tunjukkan.

"Jaga etika Anda, Tuan!" bentak Dika membuat pria saksi mata duduk kembali ke tempatnya dan membenarkan posisinya.

"Apa yang Anda inginkan?" tanya Andra membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Semua orang yang berada di ruangan itu bingung dengan pertanyaan Andra, termasuk asistennya yang juga tidak mengerti dengan pertanyaan Andra.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku