Hidup tentram dan damai adalah dambaan setiap orang, termasuk Daisy Deven Joyce, seorang gadis berusia 20 tahun. Dia dibesarkan oleh seorang mucikari sejak ibunya meninggal ketika dia berusia 10 tahun. Sekarang, Daisy menjadi gadis pemuas nafsu karena paksaan dari sang mucikari. Dia melakukan pekerjaan itu sampai akhirnya bertemu dengan seorang pria kaya yang sangat tampan bernama Alexander Maxwell. Siapa pun akan jatuh cinta pada pria termasuk dia, dan ternyata pria itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Alexander yang menunjukkan cinta padanya, membuat Daisy berharap untuk masa depan yang cerah. Namun siapa sangka, dia harus menelan kenyataan pahit ketika dia mengetahui bahwa Alexander yang dia cintai adalah milik orang lain. Fakta itu membuatnya mengingat masa lalu ibunya yang hanya tertipu sepenuhnya oleh cinta ayahnya. Mengetahui hal ini, Daisy memutuskan untuk pergi dan mengakhiri hubungannya dengan Alexander. Akan tetapi, melarikan diri dari Alexander tidak berarti akan bebas, karena dia malah ditangkap oleh pengawal mucikari dan kembali menjadi pelacur. Alexander, yang tergila-gila pada Daisy, merenggutnya dari mucikari dan mengurungnya di sebuah rumah mewah. Tetapi kelakuan pria itu sangat semena-mena, sehingga gadis itu merasa sakit dan tidak merasakan cinta lagi. Dia berusaha keras untuk melarikan diri sampai akhirnya berhasil. Alexander, yang tidak menerima kepergian Daisy, memerintahkan para preman untuk mencarinya. Pria itu melakukan segala yang dia bisa untuk mendapatkan gadis itu kembali karena dia merasa dia telah membayar harga yang sangat mahal dan pantas untuk memilikinya. Baginya, gadis itu adalah kesenangan yang telah dia beli yang seharusnya tidak pergi begitu saja. Akankah Daisy bisa terus lari dari kejaran Alexander? Akankah dia bisa menemukan kebahagiaan dan kebebasan, bahkan menemukan pria yang benar-benar menerimanya dengan tulus? Disinilah perjuangan Daisy akan tertulis sampai akhir....
Terdiam dengan tatapan kosong mengarah pada jendela sambil membuka sebagian gorden, itulah yang dilakukan oleh Daisy saat berada di dalam kamarnya yang bernuansa monokrom. Gadis cantik itu terlihat begitu murung, memakai gaun berwarna putih kecoklatan dengan pundak terbuka, lalu membiarkan rambutnya yang curly berwarna blonde tergerai begitu saja.
'Andai saat itu mama bisa pergi dari tuan Fernando, mungkin ibu masih hidup dan aku tidak pernah terlahir di dunia ini,' batinnya sedih, mengingat masa kecilnya bersama sang ibu yang telah meninggal, tepatnya saat dia berusia 10 tahun.
Flashback ...
Di dalam sebuah kamar yang bernuansa klasik yang didominasi oleh warna coklat tua, Daisy yang masih kecil, duduk di kursi dekat meja rias sambil menatap cermin, menatap pantulan dirinya dan ibunya yang sedang menghias rambutnya. Gadis kecil itu begitu cantik seperti princess memakai gaun berwarna putih keemasan dengan wajah yang dipoles menggunakan make up tipis, selalu memakai bando yang dibuat dari rangkaian bunga-bunga kecil.
"Ketika kamu bertemu dengannya, kamu harus bersikap sopan dan tunjukkan bahwa kamu adalah gadis yang baik dan patuh," ucap ibu Daisy yang bernama Deven.
"Apa dia akan membawa kita pergi dari sini?" tanya Daisy.
"Hmm... mungkin saja," jawab Deven dengan santai.
"Mungkin jika dia membawa kita pergi dari sini, ibu tidak perlu bekerja di cafe ... Aku juga tidak perlu menjadi pengamen jalanan," ucap Daisy.
Deven menghela napas, menatap Daisy dengan perasaan yang sangat sedih karena dia belum bisa memberikan kehidupan yang layak padanya. Wanita yang berusia sekitar 30 tahun itu, merasa telah gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa menjamin masa depan putrinya karena ayah dari putrinya memiliki istri dan anak di kota lain.
"Jika kamu tidak ingin jadi pengamen jalanan lagi, itu tidak masalah," ucapnya kemudian mencium kepala putrinya itu. "Biar ibu saja yang bekerja."
"Atau aku akan ikut ayah?"
"Jangan terlalu berharap," seru Deven dengan suaranya yang sangat lirih, seolah menunjukkan bahwa tidak ada harapan. Wanita itu berjalan menuju keluar kamar, membiarkan putrinya sendirian di sana.
Daisy menghela napas, terdiam dengan perasaan sedih karena ingin hidup yang lebih baik tapi ibunya tidak bisa menuruti keinginannya. Dia tidak bisa memaksa ibunya karena dia tahu bahwa ibunya cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka setiap hari.
Setelah hampir satu jam berada di kamar sambil memainkan bonekanya, Daisy keluar dari kamar dan melihat seorang pria yang sedang ngobrol dengan ibunya.
"Ayah," panggilnya.
Deven langsung beranjak dari kursi, menghampiri Daisy yang berdiri di dekat pintu kamar.
"Sayang, sebaiknya kamu masuk kamar lagi," serunya.
"Tapi aku ingin bersama ayah," sahut Daisy sambil melirik pria yang duduk di kursi yang menatapnya dengan tatapan datar.
"Kamu bisa bersamanya nanti, setelah kami selesai bicara," seru Deven dengan tatapan tidak nyaman.
Daisy mengabaikan perkataan ibunya. Dia langsung berjalan mendekati ayahnya yang bernama Fernando, yang langsung beranjak berdiri dan menatapnya dengan serius. Gadis itu terdiam dengan perasaan takut, karena tatapan ayahnya seolah menandakan bahwa dia memang tidak boleh mengganggu obrolan ayahnya dengan ibunya itu.
"Aku baca surat darimu setiap minggu," ucapnya lirih.
Fernando beralih melirik Deven yang langsung menundukkan kepalanya. 'Bahkan Aku tidak pernah mengirim surat selama ini,' batinnya.
"Ibu bilang, ayah punya rumah yang bagus di kota lain. Apa ayah akan mengajakku ke sana hari ini?" tanya Daisy dengan tatapan polosnya.
Fernando kembali melirik Deven.
"Jangan memarahinya," seru Deven takut.
Fernando kembali melirik Daisy, lalu meletakkan tangannya pada pundak kanannya. "Manis, sebaiknya kamu keluar. Tidak baik mendengar pembicaraan orang dewasa," serunya.
Dengan perasaan kecewa karena bukan jawaban yang dia dapatkan namun malah diusir, akhirnya Daisy keluar rumah.
Deven kembali mendekati Fernando yang melirik Daisy hingga tak terlihat karena sudah melintasi pintu utama rumah sederhana yang didominasi oleh warna coklat tua dan dengan perabot antik berbahan kayu.
"Jika kamu tidak bisa membawanya pergi dari sini untuk mendapatkan hidup yang lebih layak, lalu Apa tujuanmu ke sini?" tanya Deven, menatap Fernando yang tampak gagah memakai seragam berwarna biru gelap seperti tentara, karena ada beberapa title terpasang di bagian dada dan pundaknya.
Fernando memalingkan wajah sambil memasukkan kedua tangannya ke saku samping celananya. "Aku sama sekali tidak berniat untuk merubah nasib kalian. Jadi jangan berharap terlalu tinggi."
"Apa maksudmu?" tanya Deven dengan mengerutkan keningnya.
"Aku tidak akan melakukan apapun untuk kalian selain mengusir kalian dari kota ini karena aku tidak ingin gadis kecil sialan itu mengganggu kehidupanku bersama keluargaku yang akan pindah ke sini," jawab Fernando.
"Apa? Kamu dan keluargamu akan pindah ke kota ini, lalu kamu ingin aku dan Putri kita pergi dari kota ini? Apa kamu sedang tidak waras? Kenapa kamu berpikir begitu mudah, picik, apa kamu tidak memikirkan bagaimana nasib kami nanti?" Deven bertanya-tanya dengan perasaan kesal dan tatapan penuh kebencian pada Fernando yang tampak begitu angkuh.
Fernando langsung menatap Deven. "Kenapa aku harus memikirkan kalian? Bukankah sejak awal aku katakan bahwa hubungan kita tidak memiliki masa depan karena aku sudah punya istri dan juga anak? Di sini kamu yang bodoh karena kamu mempertahankan kehamilan mu hingga kamu melahirkan dia yang tidak pernah aku inginkan! Sekarang atau sampai kapanpun dia tidak akan pernah menjadi tanggung jawabku, Kenapa tidak pernah menginginkan dia. Dan masalah masa depannya itu bukan urusanku!"
Plakkk ....
Deven langsung menampar wajah Fernando dan menatapnya dengan penuh amarah dan nafas yang memburu karena emosi.
"Kamu rayu aku, kamu memberikan aku janji-janji manis lalu kamu mencampakkan aku saat aku hamil ... Lalu sekarang kamu ingin aku pergi dari sini supaya kamu hidup nyaman bersama keluargamu di sini ..." Deven mendorong Fernando dengan kesal. "Kamu egois, kamu penipu ... Kamu sudah menghancurkan hidupku!"
"Itu karena kamu bodoh!" seru Fernando, mendorong Deven hingga jatuh tersungkur di lantai dekat meja. "Aku sudah menegaskan bahwa kita tidak akan punya masadepan. Aku tidak akan pernah mengakui kamu sebagai cintaku, aku tidak akan pernah mengakui gadis kecil sialn itu sebagai putriku karena itu bisa menghancurkan hidupku!"
Deven menangis tersedu-sedu, tak kuasa menahan rasa sedih dan sakit hatinya karena perlakuan Fernando. "Kamu takut itu hidupmu hancur karena aku, tapi kamu sudah menghancurkan aku lebih dulu! Di mana belas kasihmu, Fernando? Kenapa kamu begitu tega pada kamu?"
Fernando memalingkan wajahnya. "Karena aku tidak pernah bersungguh-sungguh mencintaimu. Kamu hanya selingkuhan ku, dan sekarang itu sudah berakhir. Kamu dan gadis kecil sialan itu harus segera meninggalkan kota ini karena kau tidak ingin dia mengacaukan hidupku."
"Tapi, Fernando...."
"Aku akan memberi uang lumayan banyak supaya kalian bisa meninggalkan kota ini dan menemukan tempat baru. Setelah itu jangan pernah mencari aku atau mengingat aku ... Anggap saja kita tidak pernah bersama dan tidak ada anak diantara kita," ucap Fernando sebelum Deven menyelesaikan kalimatnya.
"Aku tidak mungkin melakukan itu ... Itu terlalu sulit. Menemukan tempat baru itu berarti harus menemukan pekerjaan baru," sahut Deven dalam tangis.
"Itu bukan urusanku karena yang terpenting kamu harus meninggalkan kota ini!" seru Fernando dengan tegas kemudian menunjuk ke arah Deven. "Jika kamu menolak itu tidak masalah. Tapi mungkin besok kamu akan melihat gadis sialan itu tidak bernafas lagi!"
Seketika mata Deven terbelalak, kemudian beranjak berdiri.
"Apa kamu akan membunuhnya?" tanyanya.
Fernando kembali memalingkan wajahnya, kemudian menghela nafas panjang. "Aku tidak punya pilihan lain."
Deven semakin merasa hancur dan kecewa, langsung mendorong Fernando ke arah dinding dan memukulinya dengan tangan kosong.
"Kamu jahat, Kamu adalah ayah yang jahat!"
Deven terus memukuli Fernando dengan tangannya sambil terus menangis. Fernando pun tidak tinggal diam, mencoba menghindari pukulan Deven hingga mendorongnya dan menamparnya berkali-kali sambil memakinya dengan suara yang keras.
Daisy yang berada di teras, tidak bisa memungkiri bahwa dia mendengar pertengkaran di dalam rumah. Dia menangis karena mendengar suara ibunya yang sedang menangis bahkan berteriak, suara pukulan-pukulan juga dia dengar. Itu membuatnya merasa ingin masuk dan menolong ibunya tapi dia sangat takut.
Bab 1 Sebab trauma
29/09/2022
Bab 2 Menginginkan kebebasan
29/09/2022
Bab 3 Kematian Deven
29/09/2022
Bab 4 Tidak ada kesempatan
29/09/2022
Bab 5 Dua pria menawan
29/09/2022
Bab 6 Kelembutan seorang Alexander Maxwell
29/09/2022
Bab 7 Richard Glen Constantine
29/09/2022
Bab 8 Ketertarikan Richard pada Daisy
29/09/2022
Bab 9 Keinginan mereka
29/09/2022
Bab 10 Mengharapkan kebebasan
29/09/2022