Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pesona Istri CE0

Pesona Istri CE0

Heri Satria

5.0
Komentar
14.1K
Penayangan
56
Bab

Neysa Ayudia, seorang mahasiswa ekonomi yang memiliki kehidupan yang rumit. Keduanya orang tuanya telah mengabaikannya sejak dia lahir, dan hanya tinggal bersama sang nenek. Wanita tua itulah yang selama ini mengurusnya hingga menjadi wanita yang anggun seperti sekarang. Keajaiban pun datang di hidup Neysa, setelah sahabat baik neneknya datang menemui dan memintanya menjadi istri cucunya yang merupakan seorang CEO. Tentu saja nenek Neysa menyetujuinya, meski Neysa membenci perjodohan dengan orang yang tidak dikenal. Akhirnya, Neysa bertemu dengan pria tersebut. Pria itu bernama Alby Delano Prabu, merupakan pewaris utama Prabu Group. Pertemuan pertama mereka meninggalkan kesan yang kurang baik, membuat Alby memikirkan berbagai cara untuk membatalkan perjodohan tersebut. Namun, semakin Alby melakukan aksinya, semakin membuatnya kalah. Ketika pernikahan telah terjadi, penderitaan Neysa pun dimulai. Ternyata bukan hanya suaminya, tetapi mertua, ipar dan keluarga besar Prabu tidak pernah menyukainya. Akankah Neysa bisa mengubah benci jadi cinta? Mampukah dia menjadi menantu idaman keluarga Prabu?

Bab 1 Sebuah Kenyataan Pahit

"Ya ampun, mampus gue!"

Kepanikan terlihat di wajah cantik wanita berusia dua puluh satu tahun bernama Neysa Ayunda. Dia akan menghadapi ujian pagi ini. Kalau telat, dia harus mengulang sendirian. Wanita berbola mata cokelat itu baru saja memakai pakaiannya. Penampilan sedikit berubah, tidak seperti biasanya.

Dia tidak lagi memakai kemeja dengan kaos di dalamnya. Penampilan Neysa sekarang terlihat sedikit lebih feminim dari sebelumnya, memakai jeans dan baju wanita sewajarnya. Wajahnya sudah sedikit diberi make up dan lipbalm untuk menambah kesegaran bibirnya.

Langkah kakinya terayun menuju meja makan. Wanita tua yang satu-satunya dia miliki di dunia ini telah menunggu kehadirannya.

“Maaf ya, pagi ini kita sarapan apa adanya. Dagangan nenek kemarin lakunya sedikit, jadi kita nggak bisa...”

“Iya, Nek. Nggak apa-apa. Apapun yang Nenek masak untukku, adalah menu terenak yang aku sukai. Jadi, nenek nggak perlu merasa bersalah ya,” ujar Neysa, mengembangkan senyumnya.

“Syukurlah, kamu memang cucu nenek yang paling baik.”

“Selalu dan selamanya, Nek,” ucap Neysa, seraya memeluk neneknya.

Setelah itu, dia mengambil posisi di depan neneknya. Lalu mereka menikmati sarapan yang apa adanya tersebut. Neysa menghabiskan sarapannya dengan cepat, karena dia harus segera ke kampus. Dia meneguk teh hangatnya dan berniat untuk beranjak.

“Neysa, kamu sehat, kan?” tanya sang Nenek.

“Emangnya kenapa, Nek?”

“Penampilanmu lucu,” ledek Mira.

Sebenarnya Mira lebih senang penampilan Neysa yang sekarang. Namun, karena ia baru melihatnya, sehingga ia merasa lucu melihat cucunya tampil feminim.

“Ih! Nenek apaan sih. Ngeledek deh,” keluh Neysa, tampak malu.

“Nggak jelek kok. Malah ini penampilanmu yang paling cantik. Kalau kayak gini, baru cewek namanya,” sahut Mira yang terlihat senang dengan perubahan cucunya. “Pasti karena Exel, kan?”

“Nggak karena siapa-siapa kok, Nek,” dalih Neysa. Dia mengembangkan senyumnya. “Exel itu baik, Nek. Aku berpenampilan gimana pun, dia tetap akan sayang aku, Nek,” sambungnya terkekeh.

“Masa sih,” ledek sang nenek lagi.

“Ihh, Nenek reseh deh. Udah ya, aku berangkat dulu.”

Wanita cantik itu lalu mengecup punggung tangan neneknya sebelum beranjak. Dia melangkah penuh semangat menuju motor matik pink kesayangannya.

Sebelum ia melajukan motor dan meninggalkan kediamannya. Lagu selow, turut menghiasi paginya seraya menikmati macetnya kota Jakarta pagi ini.

Imajinasinya pun melayang. Dia membayangkan jika kelak akan memakai gaun berwarna putih di acara pernikahannya, sangat romantis. Lalu diringi lagu “Beautiful in White” seperti yang dia impikan selama ini.

“Uhh, aku nggak sabar ingin menjadi nyonya Exel,” ucap Neysa.

Dia menyalakan motor, dan menarik gasnya dengan santai. Dia tidak ingin buru-buru mengemudi motornya, dan memilih menikmati setiap detik waktunya hingga tiba di kampus.

Di tengah perjalanan, sebuah mobil menabrak genangan air sisa hujan kemarin. Hingga membuat pakaian Neysa basah dan kotor. Emosinya meluap, langsung mengejar mobil sedan merah tersebut.

Sesampainya di depan sedan merah itu, dia menghentikan motornya di depan mobil yang tengah melaju itu. Dengan cepat mobil itu berhenti mendadak.

“Woy, bosan idup lo?” teriak seorang pria yang mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil.

Neysa tampak kesal, lalu melepas helmnya. Dia ingin membuat perhitungan dengan pria itu. Lalu menghampiri pemilik mobil itu dengan penuh amarah. Tanpa diduga, pemilik mobil juga keluar dari mobilnya.

“Napa lo? Mau marah?” tanya pria asing itu.

“Mobilmu udah membuat pakaianku kotor, ngerti!”

“Iya udah, marah aja sama mobilnya. Silakan!” seru pria itu dengan ekspresi yang menyebalkan.

Neysa benar-benar kesal dengan sikap pria di depannya. Bukannya minta maaf, malah memamerkan wajah yang menyebalkan.

“Kenapa? Lo nggak tahu caranya marah sama mobil?” ejek pria itu.

Neysa merasa buang waktu berada di tempat itu. Dia langsung menendang tulang kaki pria itu, hingga membuatnya menjerit.

“Mampus lo,” ujar Neysa, dan bergegas naik ke motornya.

“Woy, tunggu lo. Arghhh, sakit!” jerit pria itu.

Neysa tidak peduli dengan keadaan itu. Dia memilih meninggalkan pria tak tahu diri itu. Sepanjang perjalanan, dia menggerutu dan mengumpat-umpat pria sombong itu.

***

Neysa baru saja membuka ponselnya ketika tiba di parkiran kampus. Dia membaca pesan dari sang kekasih tercinta. Lantas bibirnya membentuk senyuman setelah tiga kalimat itu ia baca.

Segera ia membalasnya dengan perasaan bahagia. Jangan tanya sebahagia apa Neysa hari ini, tidak bisa dideskripsikan dengan apapun, sangat bahagia.

“Thanks ya! Gue seneng lo selalu menyapa pagi gue dengan kata-kata manis lo.”

Neysa membalas pesan kekasihnya. Ketika selesai mengetik pesan tersebut, dia lalu turun dari motornya dan melangkah menuju lobi fakultas. Tanpa diduga dua sahabatnya sudah menunggu Neysa.

“Ney, Wait! Wait!” panggil Linda.

Neysa pun berhenti melangkah. Dia menduga ada hal yang ingin disampaikan oleh sahabatnya. Tentu saja ratusan pertanyaan sudah siap dia terima dari dua sahabat yang super kepo ini.

“Cieee, yang udah nggak LDR lagi,” ejek Serly.

“Hemmmm! Katanya bosen LDR mulu,” ledek Linda lagi. “Sekarang udah enak dong endehoy-nya,” ledeknya lagi.

“Kalian apaan sih, pagi-pagi ghibahin orang aja. Exel juga lagi bahagia, kalian omongin. Entar dia gigit lidah sendiri, gimana?”

“Ah lebay lo. Percaya aja sama mitos,” kekeh Linda.

“Iya nih. Udah nggak ngaruh di zaman sekarang,” sambung Serly.

Mereka pun bergegas menuju kelas, karena akan ada mata kuliah semester bawah yang harus mereka ulang.

Namun tanpa diduga, di perjalanan mereka bertemu dengan Exel yang baru saja keluar dari ruangannya. Linda dan Serly pun memahami keadaan itu, dan bergegas meninggalkan Neysa sendirian.

“Kalian memang sahabat yang peka. Tahu aja kalo gue lagi ingin berdua sama calon suami,” gumam Neysa, dalam hati seraya mengedipkan mata melihat dua sahabatnya yang naik ke lantai dua.

Exel yang menyadari kehadiran Neysa. Langsung menghampiri wanita itu dengan senyum hangat terlukis di wajahnya. Jantung Neysa berdegup kencang menyambut calon suaminya yang super tampan itu.

“Ada kelas?” tanya Exel canggung. Padahal sudah 7 tahun hubungan percintaan mereka sejak SMA.

“He-em,” jawab Neysa, dengan sedikit gugup.

“Semangat ya. Kali ini lo harus lulus. Jangan ngulang lagi,” ujar Exel, bernada ejekan ke kekasihnya karena tidak lulus di semester sebelumnya.

Pria tampan itu lalu tersenyum lagi, dan mengacak-acak poni wanita cantik di depannya. Neysa mengembangkan senyumnya mendapatkan perlakukan manis itu.

“Lo tahu nggak?” tanya Exel dengan sorot mata yang menyenangkan.

“Apa?”

“Tiap kali lo senyum, gue merasa jadi manusia paling beruntung di dunia. Tolong, jangan pernah sedih di hadapan gue ya. Lo harus janji sama gue. Apapun yang lo hadapi, lo harus tetap bahagia sama gue,” pinta Exel.

Neysa hanya tersenyum mengangguk, ia berharap demikian sekalipun ia tidak pernah tahu bagaimana keadaannya nanti. Dia cuma bisa pasrah dan berusaha mempercayai janji yang pernah Exel ucapkan di depan sunset di kota Amsterdam kala itu.

Beberapa jam berlalu, Neysa yang tengah bersenda gurau bersama dua sahabatnya, tiba-tiba terhenti ketika suara ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor calon suaminya.

“Halo, sayang...”

“Maaf, Anda keluarganya?” potong seseorang yang Neysa tidak kenal. “Pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan maut!”

Deg!

Degup jantungnya seolah berdetak dengan cepat mendapat kabar buruk itu. Dia seperti mimpi di siang bolong.

“Exel, ini nggak benar. Ini hanya mimpi,” gumam Neysa mencoba memukul-mukul pipinya pelan. Hanya untuk memastikan kalau berita yang barusan dia dengar hanyalah sebuah mimpi.

Namun, ia merasakan perih di pipinya, yang menandakan kalau semua ini bukanlah mimpi. Kedua sahabatnya tampak bingung dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Neysa. Lalu Linda menyentuh bahu wanita itu, memastikan kalau wanita itu baik-baik saja.

“Ada apa, Ney? Apa yang terjadi?” tanya Linda, penasaran.

Neysa tidak menjawab pertanyaan itu. Dia langsung bangkit meninggalkan dua sahabat. Tentu saja Linda dan Serly langsung mengikuti Neysa yang melenggang pergi.

“Ney, ada apa dengan Exel?” tanya Serly.

“Dia kecelakaan, Ser,” jawab Neysa, sebelum menyalakan motornya.

Linda yang peka, langsung mengajak sahabatnya naik mobil bersamanya. Serly juga ikut dengan mereka.

Keduanya sangat sedih melihat Neysa yang menangis sepanjang perjalanan. Padahal ini merupakan bulan pertama yang Neysa dan Exel lewati semenjak Exel kembali dari Prancis.

“Semoga Exel nggak kenapa-napa ya. Lo tetap berdoa ya. Gue nggak mau lo mikir yang nggak-nggak sekarang,” pinta Linda seraya fokus menyetir.

Bukannya tenang. Neysa malah menangis dengan kencang. Tampaknya wanita itu tidak mampu lagi menangan kesedihan dan ketakutannya kalau sampai terjadi sesuatu dengan calon suaminya.

“Neysa, everything will be okay,” ucap Serly mencoba menenangkan sahabatnya.

Neysa malah terus menangis dengan keras.

“Bagaimana bisa gue nggak khawatir. Satu minggu lagi gue dan Exel mau nikah. Undangan udah tersebar. Dan kalau sampai Exel kenapa-napa, bagaimana nasib pernikahan kami,” lirih Neysa.

Kedua sahabatnya sangat memahami keadaan yang dihadapi oleh Neysa. Bukan situasi yang baik-baik saja sekarang. Apalagi waktu pernikahan sudah mepet sekali.

Di tengah perjalanan, Neysa menghubungi orang tua Exel yang ada di Bandung. Dia benar-benar rapuh dengan situasi itu.

Sesampainya di rumah sakit, Neysa bergegas menuju UGD tempat Exel berada. Dua sahabatnya mengekor dari belakang dengan langkah yang sangat cepat.

Karena tidak memperhatikan arah langkahnya, Neysa bertabrakan dengan seorang pria berjas hitam yang juga sedang buru-buru.

“Shit! Pake mata kalau jalan,” teriak pria itu.

Neysa tidak peduli, terus melangkah melewati pria itu.

“Jangan kabur lo!” seru pria itu menarik tangan Neysa, hingga membuat wanita itu terjatuh di lantai.

“Seenaknya udah nabrak, malah pergi-pergi aja. Minta maaf sama gue. SEKARANG!” titah pria itu.

Neysa merasa kesal, ketika melihat pria yang sama yang menabrak genangan air yang membuat pakaiannya kotor. Dua kali pria itu membuat masalah dengannya.

Serly dan Linda membantu sahabatnya bangkit. Lalu Neysa melangkah ke arah pria itu.

Plakk!

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Heri Satria

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku