Greysa Amanda Xavier, artis dan model terkenal mengalami insiden kecelakaan tunggal. Gadis itu ditolong oleh sosok misterius yang memiliki sikap dingin dan cuek. Aku tidak mendengar suara lagi. Apakah dia sudah pergi, ya? Tidak terdengar suara langkahnya. Jangan-jangan dia melayang. Bulu kudukku langsung meremang. Kucoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Dengan gerakan slow motion aku menurunkan tangan. "Aaargh!" Ya, God. Sosok itu masih berdiri menjulang di depanku. Wajahnya tidak terlihat jelas terhalang gelap malam. "Berhentilah berteriak! Kamu membuat telinga saya sakit, Nona," sergah sosok itu. Aku terkesiap. Suara bariton itu apakah milik makhluk di depanku ini? Dia bisa berbicara bahasa manusia. "Ka-kau manusia atau setan?" Suaraku bergetar. "Tentu saja manusia! Apakah Nona tidak melihat kaki saya yang menginjak tanah, hah?!" tukasnya. "Aku tidak melihat apapun." "Terang saja kamu tidak lihat. Dari tadi Nona hanya menutupi wajah dengan tangan."
Malam kian larut, bermodacahaya rembulan menerangi langkahku. Rasa nyeri mulai menjalari kaki. Mungkin karena high-heels sialan yang kukenakan ini. Tapi mau gimana lagi, lebih baik tetap memaksakan memakainya daripada kakiku kotor. Lagi pula perawatannyakan mahal. Sayang kalau sampai lecet.
Kulihat lagi gawaiku, berharap ada signal agar bisa menghubungi asisten atau manager. Biar kutebak, mereka sekarang pasti pusing tujuh keliling mencari-cari. Salah sendiri. Sejak awal sudah aku katakan, aku tidak mau menerima kontrak kerja dengan laki-laki yang dulu pernah mengkhianatiku.
Dia memang aktor terkenal sedang naik daun. Bekerjasama dengannya tentu sangat menguntungkan, bisa mendongkrak rating filmku. Namun, itu semua tidak lantas membuatku menyetujui beradu akting dengannya. Biarkan saja jika mereka mengatakan aku tidak profesional. Toh, aku bisa saja menggandeng lawan main yang kuinginkan. Siapa yang tidak ingin menjadi lawan mainku?
Seorang Greysa Amanda, artis papan atas. Bahkan, aku sekarang sudah merambah karir untuk go internasional. Aku seorang artis sekaligus model terkenal. Wajahku sering wira-wiri di layar televisi. Siapa sih yang tidak kenal. Kalau ada yang mengaku tidak mengenak aku mungkin mereka hidup di hutan rimba atau di rumahnya tidak ada televisi.
***
Entah sudah berapa lama aku berjalan, rasanya kaki ini kebas. Hanya bermodalkan cahaya rembulan menyusuri jalan yang entah mengarah ke mana. Rasanya benar-benar pengen nangis
"Mami, Papi, takut!!"
Meski ingin sekali beristirahat, tapi tetap memaksa terus menyeret kakiku. Tidak peduli pada mobil yang menabrak pembatas jalan tadi yang membuatku harus berakhir di tempat antah berantah ini.
Andai saja saat ini fansku melihat tentu mereka akan menjerit histeris. Tidak rela idolanya menderita seperti ini, sampai berkeringat sebesar jagung.
Tiba-tiba aku mendengar suara ranting yang diinjak. Aku menoleh waspada, jangan-jangan ada yang mengikuti. Oh apakah aku akan mati di sini, malam ini?
Aku waspada, Tiba-tiba ....
"Aauw!" Aku berteriak kencang kala merasakan sesuatu yang keras menabrakku. Tubuhku terempas ke tanah dengan keras. Sakit sekali.
"Si-siapa di sana? Setan atau manusia?" Suaraku patah-patah. Kupeluk lutut yang gemetaran saking takutnya. Aku mengintip sedikit dari sela-sela jari. Dengan cahaya lampu dari gawai, kulihat sepasang sepatu, terus naik, saat sampai di wajahnya.
"Aaargh!" teriakku histeris.
Kulihat seseorang dengan wajah pucat berdiri tak jauh dariku terjatuh. Mataku sudah membola sempurna. Beberapa kali aku memerankan film horor, tapi aku tidak pernah merasakan seseram ini. Apa yang berdiri di depanku ini, manusia atau?
***
Dengan perasaaan ketar-ketir aku memikirkan sosok di depanku saat ini. Oh Tuhan semoga saja dia bukan lelembut penunggu hutan ini. "Tolong kasihanilah aku."
Diantara rasa takut yang menyerang hebat, aku mulai komat-kami. Dulu saat masih kanak-kanak, Mami dan Mbok mengajarkan. Bersyukur saat ini aku masih mengingatnya.
Jika makhluk di depanku ini adalah lelembut penunggu hutan, semoga dia segera pergi. Akan tetapi, jika dia adalah sosok manusia, semoga saja dia manusia yang baik. Tidak berniat jahat padaku. Entah apa jadinya kalau sampai dia berniat jahat, siapa yang akan menolongku di tempat ini.
Sekarang aku benar-benar menyesali keputusan konyol kabur dari asisten dan managerku beberapa jam yang lalu. Awas saja kalau nanti bertemu dengan mereka berdua, aku pasti mengomeli mereka habis-habisan. Kalau perlu potong gaji.
Dari dulu aku tidak suka bekerja dengan rasa terpaksa. Aku sangat selektif dalam memilih peran. Tidak semua tawaran dan peran langsung kuteken kontrak. Biasanya tawaran yang masuk akan kupelajari terlebih dahulu. Dan tentunya, meminta persetujuan Mami dan Papi.
Aku sudah menjadi model saat masih berusia sepuluh tahun. Diawali dengan menjadi model cilik. Kemudian jatuh cinta dengan dunia peran. Tawaran pertama kali datang saat aku mengikuti acara bedah buku Mami.
Aku tidak mendengar suara lagi. Apakah dia sudah pergi, ya? Tidak terdengar suara langkahnya. Jangan-jangan dia melayang. Bulu kudukku langsung meremang. Kucoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian. Dengan gerakan slow motion aku menurunkan tangan.
"Aaargh!"
God. Sosok itu masih berdiri menjulang di depanku. Wajahnya tidak terlihat jelas terhalang gelap malam.
"Berhentilah berteriak! Kamu membuat telinga saya sakit, Nona," sergah sosok itu.
Aku terkesiap. Suara bariton itu apakah milik makhluk di depanku ini? Dia bisa berbicara bahasa manusia. Wah hebat. Eh, apa hebatnya sih, ngaco deh. Ingat Greysa ingat, kamu sedang dalam bahaya.
"Kau ... manusia atau setan?" Suaraku bergetar.
"Tentu saja manusia! Apakah Nona tidak melihat kaki saya menginjak tanah, hah?!" tukasnya.
"A-aku tidak melihat apapun."
"Terang saja kamu tidak lihat, Nona. Dari tadi kamu hanya menutupi wajah."
Ah, benar juga. Perlahan aku menurunkan tangan. Pelan kuperhatikan dari bawah sampai ke atas sosok itu. Kemudian, pandanganku kembali lagi ke bawah. Berbekal cahaya bulan, sosok ini benar sedang berdiri dan menginjak tanah.
Hatiku bersorak riang. Setidaknya dia bukan setan. Tapi, tunggu dulu jangan terlalu senang Grey, bagaimana jika dia berniat jahat? Atau dia adalah penculik. Mulai pikiranku memikirkan hal buruk.
"Kenapa kamu di tengah hutan malam-malam begini, Nona?" Kembali suara baritonnya menyadarkanku.
"Emmm, aku tersesat," cicitku.
"Berdirilah!" serunya.
"Auw!" Kakiku terasa sakit. Aku meringis saking sakitnya
"Kenapa masih berdiam di situ, Nona?" Sosok itu kembali membalikkan badannya.
Aku bergeming. "Kita mau ke mana?" tanyaku agak ragu.
Aku tidak mau percaya begitu saja pada orang asing ini. Jangan-jangan dia penguntit atau psikopat, duh menyeramkan.
"Apakah Nona mau tetap di sini sampai pagi? Jika iya, diam saja di tempatmu itu," jawabnya ketus.
"Hey!" Kenapa dia jadi sewot. Aku kan hanya bertanya.
Apa dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Awas saja kalau nanti memohon minta foto dan tanda tangan. Jangan harap akan kuberikan.
"Tentu saja aku ingin keluar dari sini! Tapi kita mau ke mana?"
"Ke rumahku," jawabnya singkat.
"What?! Rumahmu?!"
Ya Tuhan bisa-bisanya laki-laki ini mengambil kesempatan dalam kesempitan! Memanfaatkan orang yang sedang kesulitan dan kesusahan seperti ini. Apa memang begini hukum di dunia ini. Istilahnya tidak ada makan siang gratis. Setiap apa yang dilakukan selalu dimintai balasan.
"Hey! Kau pria mesum. Dengar, ya, pergi jauh-jauh dariku!" Kuacungkan jari ke telunjuk ke arahnya. "Kau pikir aku dengan mudah termakan modusmu itu, hah?! Aku cukup pintar mengendus niat busukmu itu. Gini-gini aku sudah S2. Jadi jangan remehkan kemampuanku!"
Dadaku naik turun menahan emosi. Apa aku terlihat seperti murahan yang dengan mudahnya membuka paha? Lebih baik aku di sini sampai besok atau ada orang lain bersedia menolong dari pada menyerahkan diri kepada sosok licik dan kurang ajar itu.