Mereka berdua sama-sama alien, pantas saja bisa cocok. Yang satu ceweknya cuek banget tapi kalau sudah perhatian bikin luluh para cowok. Yang satu cowoknya cemburuan, gak mau kalah pokoknya demi si cewek. Tapi masalahnya gimana para alien ini bisa mengaku kalau saling suka?
Pada akhirnya divisi kami bisa menghirup udara segar. Maksudnya, setelah kurang lebih dua tahun bekerja ekstra, tak pernah melakukan gathering atau outing bahkan outbond demi pemenuhan standar penjualan yang sempat mengalami nyaris bangkrut.
Ini disebabkan karena dua tahun lalu divisi kami terperosok dalam kerugian besar yang mengguncang perusahaan pusat. Demi perbaikan, pusat memberikan langkah dengan pemecatan manager operasional kami dan digantikan personil baru. Selama dua tahun ini, divisi kami dituntut untuk memperbaiki diri dengan dikepalai si orang baru tersebut.
Manager operasional baru kami masih sangat muda. Parahnya nyaris termuda diantara kami yang sudah bekerja lima tahun lebih di sini. Sungguh canggung ketika pertama kali kami mengenal manager kami ini. Kami ingat sekali, tanpa banyak kata dan ramah tamah, si bocah ini sudah langsung main perintah di hari pertamanya bekerja. Yah, mau tak mau kami harus mematuhinya.
Si Bos memang masih muda tapi sikapnya seperti orang tua kolot, seolah-olah pemikirannya saja yang paling benar. Tapi setelah akhirnya kami mencapai kesuksesan dengan penjualan furniture yang mencapai target, akhirnya mau tak mau kami mengakui jika si anak baru itu memang hebat. Si anak baru adalah tipe orang yang tidak mau bergaul dengan kami. Dia lebih sering berjibaku di dalam ruangannya. Lebih suka memanggil kami ke dalam ruangan untuk menginterogasi perkembangan pekerjaan kami. Setiap pagi briefing, satu atau dua kali dalam seminggu pasti ada jadwal rapat. Belum lagi interogasi yang mendadak. Benar-benar membuat kami sebagai karyawan lama menjadi tidak betah dan terus-menerus harus memporsir diri.
Sangat sulit menjelaskan betapa mengerikannya selama dua tahun perbaikan itu. Anggap saja seperti kerja rodi jaman penjajahan. Kerja lembur sampai malam tak terhitung bahkan karena tidak efektif tidak dapat diklaim oleh pihak HRD.
Kesukseskan itu hanya kami rayakan dengan mengadakan gathering. Pertama-tama kami makan siang bersama di restoran, berikutnya kami akan menonton pergelaran teater, dan selanjutnya kami akan barbeque di rumah salah satu karyawan. Sepertinya si bos satu pemikiran dengan kami yang menjauhi sebutan outing atau outbond yang menguras energi. Kami hanya ingin senang-senang, makan dan sebagainya.
Divisi furniture hanya berisi 10 orang termasuk bos. Aku, Via, adalah karyawan IT, nyaris tertua kalau tidak ada Pak Odin bagian Marketing. Dan bos kami bernama Adam. Karyawan lainnya adalah Owin dan Yayan bagian pabrik; Aya dan Krisna bagian quality; Jimmy bagian Exim; serta Farah dan Mitha bagian purchasing. Sayangnya Mitha sedang cuti melahirkan sehingga dia tidak ikut.
Karena kami sudah kenal lebih lama selama hampir tujuh tahun (kecuali Aya karyawan baru yang masuk satu tahun lalu) tentu sangat terasa keakraban di antara kami, kontras dengan si Bos, yang sangat jelas tampak terpaksa duduk di antara kami. Dia hanya makan dan minum, main game di ponsel, mendengarkan ketika namanya disebut-sebut, mengangguk seperlunya, menyahut seperlunya. Tapi nyaris tidak tertawa sama sekali ketika karyawan lain menceritakan hal lucu. Benar-benar Bos Alien. Ya, kami diam-diam menjulukinya Bos Alien.
"Coba si Via, paling pendek di antara kita tapi paling tua." Oceh Owin.
"Is, apa sih Mas Owin! Body shaming, tau!" aku melempar kacang ke mukanya.
"Kan malah bagus tuh, Bu Via jadinya keliatan awet muda." Aya membelaku.
"Awet muda apaan kan paling jarang dandan dia mah!" Lanjut Owin si rambut keriting.
Benar-benar si Owin ini padahal seumuran sama aku. Mentang-mentang dia sudah nikah dan punya dua anak. Huh, menyebalkan.
"Jodoh tuh nggak ada yang tahu di mana dan kapan, Mas, jangan gitu lah sama Mbak Via." Yayan menengahi dengan logat jawanya yang kental.
"Dengar tuh!" Kataku pada Owin.
"Abis ini kita ngapain?" tanya Farah. "Rasanya aneh nggak kerja di kantor."
"Huuu Farah nggak asik nih, inget kerjaan mulu!" sembur Owin.
Yang lain tertawa kecuali si bos. Dan kami mulai saling bercerita tentang keluh kesah kami selama dua tahun ini.
"Yang paling parah bagian IT ini," kata Jimmy. "Aku sama Via bolak-balik baikin sistem, habis kami berdua disemprot selama seminggu." Sepertinya dia lupa jika bos duduk tepat di sebelahnya.
"Wah itu parah banget, mana kita mau rapat besar lagi. Data masih berantakan Ditinggal bos lama. Itu awal-awal bos baru masuk ya." celetuk Owin.
Wah kalau ingat itu, memang parah sekali. Benar kata Jimmy, kami berdua disemprot habis-habisan sama Adam. Semingguan Adam melototi kami ketika bekerja. Ditanya sana sini, bahkan kami dimaki-maki langsung. Disebut sebagai karyawan lama yang tidak berguna segala macam. Aku nyaris mau mengundurkan diri waktu itu juga. Tapi syukurnya selama seminggu, aku, Jimmy dan Adam bekerja sama memperbaiki sistem, merapikan data, mencari data-data yang hilang akibat kegagalan sistem yang tidak terpelihara, akhirnya semuanya selesai. Sebenarnya hanya aku karyawan bagian IT dalam divisi itu, Jimmy mengurus bagian Exim - ekspor/impor, namun kerjanya bercabang ke IT. Dan Adam pun sangat mumpuni dalam perbaikan saat itu.
"Iya, Via nangis-nangis mulu tiap pulang, bilang mau keluar katanya," beber Jimmy dan aku langsung panik.
"Ya ampun, Jim!" seruku.
"Hahaha, iya, aku ingat itu, wajah Via setiap hari pucat kayak zombie!" Owin kembali senang meledekku.
"Wah, maklum sih, aku juga kalau di posisi Mbak Via juga bakalan kayak gitu." kata Farah dengan ekspresi bergidik. "Dari sekian kenangan kita cuma awal-awal itu aja yang menegangkan. Kan takutnya kalau kita nggak bisa ikut rapat pertama kita semua bisa langsung dipecat. Awal-awal juga Mas Adam mati-matian menyelesaikan masalah kita. Mana IT kita cuman Via. Jimmy aja kan sebenarnya bukan IT." Ocehnya.
Aku cuma menyengir hambar. Diam-diam aku melirik Adam. Apa yang akan ada dalam pikiran Adam setelah mendengar semua hal ini? Seharusnya mereka tidak membicarakan tentang pekerjaan. Dari kisah ini pun terbukti jika aku adalah karyawan paling lemah di sini, kinerjaku hampir-hampir tidak berguna. Untung lah ada Jimmy dan Adam sendiri. Masalah terbesarku pun selesai berkat bantuan mereka berdua.
Semua sudah terbiasa melihat aku yang dimarahi Adam, tapi mereka tidak mengetahui dengan detail jika Adam benar-benar pernah memakiku lebih parah dari yang disampaikannnya di depan yang lain. Tiap hari aku menangis dan begadang untuk memperbaiki data-data. Setiap hari aku harus mengingat ancaman Adam yang akan memecatku jika aku gagal.
"Jadwal kita nonton teater jam 1." Farah mengingatkan.
"Ayo, lama udah gak nonton beginian." Owin tampak bersemangat.
Kami sekantor memang punya hobi sama, suka nonton teater. Aku tidak ingat siapa yang mengajak lebih dulu, tapi setelahnya jika kami mendengar ada pergelaran teater dibuka, kami kompak akan menonton bersama.
"Yuk, takutnya telat nih." Jimmy sudah berdiri lebih dulu karena dia yang biasanya memimpin kami. Lupa jika ada bos di sini.
Kami semua pun segera berangkat dari restoran untuk menuju ke teater. Kami memang sengaja memilih restoran di dekat gedung teater sehingga kami hanya perlu berjalan beberapa meter.
"Walah, mendung nih!" kata Jimmy.
"Astaga, tasku ketinggalan di resto!" seruku teringat ketika gedung teater sudah di depan mata.
"Seriusan, Mbak?" tanya Aya dengan mata terbeliak.
"Iya ya ampun," keluhku.
"Tasku ketinggalan juga," kata Adam dan kami semua nyaris melongo memandangnya. Dari sekian kesempurnaan seorang Adam bisa lupa juga. Kelihatan owin nyaris akan meledekku, namun ia menelan kata-katanya segera setelah mendengar Adam juga lupa dengan barangnya.
"Aku aja yang ambil sekalian, Mas." kataku pada Adam. "Kalian duluan aja ya." Aku melambai kepada rombonganku sambil berjalan mundur.
"Oke, cepetan ya, Vi. Keburu hujan ntar." kata Odin.
"Oke, Mas." aku segera belari untuk kembali ke restoran.
Perlu waktu 10 menit untuk berjalan kembali ke restoran. Untungnya si pemilik restroan telah mengamankan tasku dan juga tas Adam jadi aku segera mendapatkan kedua benda tersebut tanpa berlama-lama. Mungkin ini karena pengaruh pekerjaan karena kami jarang keluar sambil membawa-bawa tas. Ke kantin saja kami hanya membawa uang lembar atau kartu jenis pembayaran.
Sialnya, di tengah jalan, langit mendadak runtuh, hujan lebat menerpa dengan ganas. Benar-benar lebat seperti tumpah begitu saja. Mana jalan menuju teater tidak ada apa-apa di kanan kiri. Seorang pria melambai di bawah pohon. Aku mati-matian berlari ke sana walau percuma karena tubuhku sudah basah total.
Ketika aku sampai di bawah pohon itu aku sangat terkejut karena pria itu adalah Adam yang juga sudah basah kuyup.
"Kok Mas Adam di sini?" tanyaku.
"Aku mau ngambil tasku sendiri. Takutnya kamu nggak ingat yang mana punyaku." Jawabnya.
Sumpah ni alien, sampai di luar kantor masih saja menganggapku bego.
Wajahku merah padam karena jengkel dan malu mengingat betapa begonya diriku di depan Adam selama ini.
"Nggak, Mas. Barang kita langsung disimpan sama pemilik toko. Dia kenal kita karena kita duduk di sana lebih dari dua jam." Jelasku, menahan nada jengkel.
Berteduh di bawah pohon percuma sekali. Hujannya terlalu lebat sehingga menembus dedaunan pohon. Aku mulai menggigil karena bajuku basah semua.
"Di sana ada pos satpam seingatku." kata Adam.
"Jauh, Mas."
"Daripada di sini, masih kena."
Aku berpikir keras. Tapi bajuku bisa lebih parah basahnya. Dan pandanganku tertutup dengan benda hangat yang dilempar ke kepalaku. Aku segera menyingkirkannya dengan kaget. Apa-apaan ini si bos main lempar jas seenaknya?! Eh atau....
"Jasku masih nggak terlalu basah. Pakai sana." katanya dengan nada memerintah yang sama seperti saat dia di kantor.
"Tapi, Mas..." ya ampun ini beneran ya, bukan kayak di drama-drama korea?
"Baju kamu sudah basah begitu." ujarnya lagi tanpa memandang ke arahku.
Aku menunduk memandang diriku sendiri, dan segera memasang jas Bos-ku ini ke badanku. Gila, aku lupa warna bajuku bisa semenerawang ini kalau kena air!