Seruni Arkadewi merasa dunianya runtuh satu persatu, saat sebuah kecelakaan merenggut kesempurnaan indrawinya. Kedua kakinya yang sebelumnya kuat dan lincah, kini menjadi timpang. Dan ternyata kemalangannya bukan hanya itu saja. Dimulai dari penghianatan kekasih dan sahabatnya yang menjalin hubungan di belakangnya, hingga desakan ayah tirinya yang ingin menikahkannya dengan seorang bandot tua karena harta. Muak dengan stigma bahwa takdir seorang wanita adalah di dapur, di sumur dan di kasur, Seruni minggat dari desanya. Ia ingin membuktikan bahwa seorang wanita dengan segala keterbatasan fisiknya, mampu berdiri di atas kakinya sendiri jikalau mau berusaha. Sementara itu, Antonio Brata Kesuma--sang anak sultan klan Brata Kesuma, paling tidak bisa mentolerir segala bentuk ketidaksempurnaan. Baginya semua yang cacat, tidak akan masuk hitungan. Baik itu berupa barang, ataupun orang. "Saya tidak minta dikasihani. Yang saya pinta hanya satu. Jangan menjadikan ketidaksempurnaan saya sebagai alasan untuk menjegal semua impian-impian saya. Saya memang cacat, tapi saya tidak bodoh. Saya mohon, izinkan saya berjuang." -Seruni Arkadewi- "Kamu itu selemah-lemahnya manusia. Sudah cacat, perempuan lagi. Sudahlah, terima takdirmu dan diam saja di rumah. Jangan mempersulit diri sendiri. Dunia ini keras. Ketahuilah, tekad tanpa amunisi, itu artinya bunuh diri. -Antonio Brata Kesuma-
"Mas minta maaf ya, Uni? Semua ini Mas lakukan karena terpaksa. Mas sama sekali tidak tau kalau kedua orang tua Mas telah mengatur pernikahan ini. Sekali lagi, maafkan Mas ya, Uni?"
Seruni termangu. Biantara Sadewa, kekasihnya sampai beberapa menit yang lalu, seperti menjatuhkan bom di hatinya. Dan mantan pacarnya itu sukses besar. Hatinya hancur porak poranda tak bersisa. Tadinya Seruni mengira kalau Bian tiba-tiba menyambangi rumahnya karena kangen. Tapi ternyata mantan kekasihnya itu datang untuk mengantar surat undangan.
Tidak tau, tapi menerima. Apa itu bisa disebut terpaksa?
"Tidak apa-apa, Mas. Mungkin kita memang tidak berjodoh."
Walau langit serasa runtuh di depan matanya, Seruni mencoba tersenyum tegar. Ya, apalagi yang bisa ia lakukan bukan? Berteriak atau menangis meraung-raung? Maaf-maaf saja. Saat ia dicampakkan pun, ia akan berusaha menerima dengan anggun. Sayang sekali kalau harga dirinya ia jadikan keset wellcome bukan?
"Kamu... kamu... tidak marah pada Mas? Tidak ingin berteriak atau memaki-maki Mas misalnya?"
Sosok gagah di hadapannya tampak bingung. Beribu tanya terbias dari kedua bola matanya.
"Apa dengan Uni marah dan memaki-maki Mas, pernikahan Mas dengan Nastiti bisa dibatalkan?" ucap Seruni datar. Kepala laki-laki gagah yang selama lima tahun ini memacarinya, menggeleng gelagapan. Kegelisahan terlihat dari gerak-geriknya yang tidak bisa diam.
"Tidak bisa, Uni. Mas tidak mungkin mempermalukan kedua orang tua, Mas."
Tapi mempermalukan pacar, mungkin saja kan, Mas?
"Nah, Mas sudah menjawab pertanyaan Mas sendiri. Jadi Uni tidak perlu menjawabnya lagi," Seruni beringsut dari kursi teras rumahnya. Terlalu lelah untuk mendengar pembelaan diri dari laki-laki yang lima tahun lalu mengaku mencintainya lebih dari apapun di dunia. Lidah memang tidak bertulang. Janji yang dulu begitu lantang dikumandangkan, ternyata begitu gampang dilupakan.
"Kenapa harus dengan Nastiti?" tanya Seruni penasaran. Nastiti adalah sahabat karibnya sejak berseragam merah putih. Mendengar pacar sendiri tiba-tiba akan dinikahkan saja, hatinya bagai diiris-iris. Apalagi saat tau bahwa calon istrinya adalah sahabat sendiri. Seruni seolah-olah merasa ada pisau tak kasat mata yang sengaja ditancapkan di punggungnya.
"Mas juga tidak tau, Uni. Tapi menurut ibu, bapak berhutang budi pada keluarga Nastiti. Terpilihnya bapak sebagai kepala desa bulan lalu, itu semua atas campur tangan Pak Hasto dan Bu Sari. Makanya Bapak ingin membalas budi dengan meminang Nastiti sebagai menantu. Hanya itu yang Mas tau," guman Bian lirih. Selama bercerita, Bian tidak sekalipun menatap matanya. Dan itu artinya Bian sedang berbohong. Lima tahun menjadi pacarnya, cukup membuat Seruni mengenali karakter Bian.
"Baiklah. Selamat menempuh hidup baru ya, Mas? Semoga Mas berbahagia dengan wanita pilihan Mas, oh iya, wanita pilihan orang tua Mas maksudnya," ralat Seruni pura-pura salah berbicara. Merahnya pipi Bian mengindikasikan sesuatu. Bian tau bahwa ia memang bermaksud menyindir. Mereka terlalu mengenal kepribadian satu sama lain.
"Uni terima ini undangannya ya, Mas? Uni masuk dulu." Seruni menggeser dingklik. Bermaksud masuk ke dalam rumah.
"Tunggu sebentar, Seruni!" Bian yang merasa belum selesai berbicara, menyambar pergelangan tangan Seruni.
"Ketahuilah Uni, walaupun minggu depan Mas akan menikahi Nastiti. Tapi di sini, di hati Mas ini, hanya kamu wanita yang paling Mas cintai. Percayalah, Uni," sergah Bian putus asa. Seruni tersenyum masygul mendengar kerancuan kalimat Bian.
"Apa, Mas? Uni adalah orang yang paling Mas cinta? Lihat Mas, cacing tanah saja sampai ingin tertawa mendengarnya!" sembur Seruni seraya menepis kasar tangan Bian. Ia tidak habis pikir dengan sikap Bian yang begitu kekanakan. Bian seperti anak kecil yang sibuk membela diri karena dianggap menelantarkan mainan lamanya, demi sebuah mainan baru. Menyedihkan.
"Mas, cinta itu sejatinya tidak menyakiti. Tidak menghianati apalagi membodohi. Benar kan, Mas? Tapi mengapa cinta Mas mengandung ketiga unsur itu? Cinta model apa itu namanya, Mas?" sindir Seruni getas. Entah mengapa mendengar pengakuan cinta Bian tadi, membuatnya muak alih-alih bersedih. Ternyata cuma segini mental laki-laki yang kemarin masih ia gadang-gadang akan menemaninya seumur hidup. Lemah sekali!
"Satu hal yang harus Mas ketahui. Sekarang, Uni tidak lagi sedih Mas tinggal menikah dengan Nastiti. Tidak sama sekali. Mas tau kenapa?" cecar Seruni lagi. Bian menggeleng. Ia tidak tau lagi harus bersikap bagaimana menghadapi amukan Seruni.
"Karena hari ini, Uni telah melihat siapa diri Mas yang sebenarnya. Mas ini laki-laki yang tidak punya pendirian. Tidak punya tujuan dan tidak punya daya juang. Untung saja bukan Uni yang akan menjadi istri, Mas. Untung saja."
Seruni memuntahkan semua rasa marah, kecewa dan sakitnya pada Bian untuk terakhir kalinya. Ia berjanji, setelah hari ini, ia tidak akan pernah membiarkan sebutir pun air matanya jatuh untuk menangisi laki-laki ini.
"Tapi, Uni--"
"Pulanglah, Mas. Ingat baik-baik kata Uni ini. Mulai hari ini Mas jangan pernah menemui Uni lagi tanpa ada Nastiti di samping Mas. Uni bukan penghianat yang suka menikam dari belakang seperti beberapa orang. Uni masuk dulu."
Tanpa menunggu jawaban Bian, Seruni melangkah tertatih-tatih ke arah pintu. Membuka dan menutupnya sekaligus di depan hidung Bian. Selesai sudah. Tidak ada gunanya lagi ia menyesali masa lalu. Apalagi jika masa lalunya selemah itu.
"Jadi cuma begini akhir penantian lima tahunmu?" Sindiran tajam ayah tirinya membuat Seruni menghela napas panjang. Di ruang tamunya yang sederhana, ibu dan ayah tirinya duduk bersisian. Tidak perlu orang pintar untuk menebak maksud ayah tirinya yang tengah duduk manis menunggunya di sini. Tujuannya sudah pasti untuk mengejek nasib sialnya.
Jangan sekarang. Demi Tuhan, saat ini ia begitu capek saling berbalas sindiran untuk hal yang tidak lagi penting.
"Lima tahun kamu menunggunya berkarir di ibukota. Dan saat ia sudah berhasil jadi orang, kamu dicampakkan begitu saja seperti seonggok sampah. Begini ini laki-laki yang kamu gadang-gadang paling kamu cinta dan mencintaimu? Hah, cinta tah* kucing!"
Sabar Uni, sabar. Bagaimana pun kalimat itu memang pernah keluar dari mulutmu. Terimalah dengan besar hati.
"Lima tahun yang lalu memang begitulah kenyataannya, Yah. Mengenai mengapa Mas Bian sekarang berpaling hati, itu di luar kuasa Uni. Uni bukan Tuhan yang Maha membolak-balikkan perasaan seseorang," jawab Seruni datar. Beginilah hubungannya dengan ayah tirinya. Seperti anjing dan kucing. Mereka berdua memang tidak pernah akur.
"Kamu ini, setiap dinasehati orang tua, menyahut saja!" Ayah tirinya menggebrak meja. Wajahnya memerah karena emosi yang mulai naik.
"Menasehati? Menurut Ayah, bagian mana dari kalimat Ayah tadi yang mengandung nasehat? Uni tidak mendengarnya sama sekali." Gebrakan di meja bertambah kencang. Dan seperti biasa, ibunya menatapnya dengan pandangan menghiba. Isyarat tanpa kata agar ia mengalah saja.
Selalu begini. Lagi dan lagi.
"Sudah, jangan banyak bicara lagi. Berhubung kamu sekarang tidak mempunyai hubungan apapun lagi dengan Bian, sebaiknya kamu terima saja lamaran Pak Nyoto. Pak Nyoto 'kan tidak kalah kaya dengan si Bian. Kebun tebunya saja berhektar-hektar.
Dan istri-istrinya juga berjejer-jejer di sepanjang jalan desa!
"Kamu akan hidup senang seperti Siska, Dewi, Ratih, Tanti dan yang lainnya. Teman-temanmu yang dulunya melarat, kini sudah hidup senang semua karena menjadi istri konglomerat."
"Pak Nyoto usianya bahkan lebih tua dari Ayah. Uni tidak sudi hidup seperti Siska, Dewi, Ratih, Tanti dan yang lainnya seperti kata Ayah. Dibalik kemewahan hidup mereka, tidak ada ketenangan hidup di dalamnya. Mereka semua saling fitnah, saling tikung dan bermuka dua hanya untuk menyenangkan seorang bandot tua yang sudah bau tanah. Uni tidak semenyedihkan itu!" desis Seruni geram.
Alangkah dangkalnya pemikiran orang-orang seperti ayah tirinya ini. Hanya karena ingin hidup enak, mereka merendahkan diri menjadi benalu, alih-alih berusaha meraih kesuksesan sendiri. Kemalasan memang dekat sekali dengan kebodohan.
"Jangan sok jual mahal kalau hidup kamu masih melarat, Uni! Sudah bagus Pak Nyoto mau melamar kamu yang cacat. Selain Pak Nyoto, apa ada orang yang mau melamar kamu lagi? Si Bian saja lebih memilih Nastiti yang normal dari pada kamu yang cacat!" amuk ayah tirinya. Kali ini bukan hanya wajah ayah tirinya saja yang merah. Urat-urat di lehernya pun terlihat bersembulan. Ayah tirinya benar-benar emosi kali ini.
"Kalau memang Ayah sangat mengagumi Pak Nyoto, kenapa tidak Ayah saja yang menikah dengannya."
Bunyi kursi yang jatuh terdengar seiring dengan pedasnya pipi kanannya. Seperti biasa, jika ayah tirinya tidak bisa membalas ucapannya, maka tangannya lah yang berbicara.
"Didik anak perempuanmu agar tau sopan santun, Bu. Ibu lihat sendiri 'kan, betapa kurang ajar sikapnya pada Ayah. Dasar, pengkor!"
Setelah menamparnya, kemarahan ayah tirinya kali ini dilampiaskan pada ibunya. Dan seperti biasa, ibunya pasti akan membela ayah tirinya, walau ayah tirinya ini sudah mengkata-katainya.
"Ayah ke rumah Pak Nyoto dulu, Bu. Kalau terus di sini, bisa-bisa darah tinggi Ayah kumat lagi." amuk ayah tirinya pedas.
"Ayah tidak mau tau, pokoknya Ibu harus menatar anak Ibu ini agar bisa berbakti pada orang tua. Dan salah satu caranya adalah dengan menerima lamaran Pak Nyoto secepatnya."
Setelah mengucapkan ancamannya, ayah tirinya keluar rumah dengan membanting pintu. Sejurus kemudian suara motor tuanya terdengar meninggalkan halaman rumah. Syukurlah, setidaknya ia bisa sedikit tenang sekarang.
"Kamu jangan kurang ajar begitu pada ayahmu, Nak."
"Begitu? Tapi kalau ayah yang kurang ajar pada Uni, boleh Bu?" tantang Uni sinis. Ia capek terus disalahkan dan tidak sedikit pun diberi keadilan. Budaya patriaki telah begitu melembaga di negeri ini. Tidak ada secuil pun keadilan bagi kaum perempuan. Mengenaskan.
"Lihat pipi Uni ini, Bu? Ayah menampar Uni. Apa Ibu tidak sakit hati darah daging Ibu disakiti orang?"
"Itu karena ucapan kamu juga kurang ajar, Nak. Bagaimana pun, dia kan ayahmu. Sudah seharusnya kamu menghargai dan menghormatinya. Maksud ayahmu itu--"
"Bukan. Dia bukan ayah Uni. Dia cuma suami Ibu yang kebetulan Uni panggil ayah. Ayah Uni yang sebenarnya sudah meninggal bertahun lalu. Titik."
Kalimat terakhirnya sukses membungkam omelan ibunya. Ya, apalagi yang bisa ibunya bantah kalau apa yang dikatakannya memang sebenar-benarnya kenyataan bukan?
Dengan langkah tertatih-tatih Seruni melanjutkan langkah ke dalam kamar. Air matanya terancam ambrol karena tidak kuasa menahan kesedihan. Hatinya sakit saat ayah tirinya memukulnya dan mengkata-katainya pengkor, tetapi ibunya malah membela ayah tirinya. Sebegitu takutnya kah ibunya kehilangan cinta seorang suami, sampai-sampai ia melupakan perasaan terluka anak kandungnya sendiri? Mungkin inilah contoh kalau seorang perempuan telah menghambakan kebahagiaannya pada manusia lain yang kebetulan ia sebut suami. Mereka jadi tidak tau lagi mana yang salah dan mana yang benar secara akal sehat. Yang mereka ikuti hanyalah ajaran masa lalu. Ajaran yang menyatakan bahwa seorang istri harus berbakti, tanpa kata tetapi kepada suami. Bahwasannya kedudukan seorang istri, berada pada posisi yang lebih rendah dari pada suami. Konsep feodal Jawa kuno di mana seorang istri wajib memperlakukan suami layaknya seorang dewa. Suami harus dipuji, ditakuti, dihormati tanpa kecuali. Omong kosong!
Getaran ponsel di saku, menghentikan lamunan Seruni. Ia kembali menarik napas panjang kala melihat nama Nastiti di layar ponsel.
Demi Tuhan. Drama apalagi ini?
"Ya, Ti. Ada apa?" Hening sejenak. Sepertinya Nastiti sedang mengumpulkan alibi untuk membela diri. Manusia memang beginilah adanya.
"Uni, aku tahu kalau kamu telah mengetahui semuanya. Mas Bian bilang, ia sudah mengantarkan undangan ke rumahmu."
Jeda kembali.
"Uni, aku cuma mau bilang kalau aku juga terpaksa menjalani pernikahan ini karena--"
"Karena terpaksa menuruti keinginan kedua orang tuamu 'kan?"
"Benar, Uni. Soalnya--"
"Sudahlah, Ti. Kamu tidak perlu menjelaskan apapun kepadaku. Toh sekarang Mas Bian bukan apa-apaku lagi. Selamat menempuh hidup baru ya, Ti? Semoga jodoh kalian berdua tetap jodoh sampai maut memisahkan. Oh, ya ngomong-ngomong kamu tidak dalam todongan senjata kan saat dipaksa kedua orang tuamu untuk menikah?"
Jeda lagi. Sepertinya Nastiti kaget saat mendengar sindiran frontalnya.
"Kalau memang kamu merasa berat sekali menjawabnya, tidak usah dijawab. Toh, kita berdua sudah sama-sama tau apa jawabannya? Aku tutup dulu teleponnya ya, Ti? Tidak ada gunanya juga membicarakan masalah yang tidak penting. Buang-buang pulsa saja." Seruni langsung mematikan ponsel. Ia capek hati karena harus terus bermain sandiwara sedari tadi.
Seruni meletakkan ponsel di atas meja kayu sederhana. Menyeret langkah mendekati ranjang tuanya. Merebahkan tubuh lelahnya setelah seharian bekerja di pabrik. Saat tidur-tidur ayam, ia mendengar suara ketukan pintu diiringi panggilan adik tirinya. Setelah ia menjawab masuk, kepala mungil Andini yang masih berusia delapan tahun, muncul di ambang pintu.
"Dini boleh masuk, Mbak?" tanya adiknya ragu-ragu.
"Boleh dong, Dini. Ayo, sini tidur-tiduran dengan, Mbak." Seruni mengembangkan pelukan. Adik kecilnya langsung berlari kan memeluknya erat. Wajah adik kecilnya begitu murung. Seperti ada sesuatu yang membebani hatinya.
"Lho, Dini kok murung? Ada apa? Putra nakal ya?" tebak Seruni. Anak tetangganya itu memang kerap menjahili Dini. Namanya juga anak-anak. Kepala mungil Dini menggeleng.
"Bukan. Dini sedih karena kata Putra dan Desi, Mas Bian sudah tidak sayang pada Mbak Uni lagi. Kata mereka Mas Bian sudah tidak sayang karena Mbak sekarang pengkor."
Astaghfirullahaladzim!
"Dini cuma mau bilang kalau Dini akan tetap mencintai Mbak, walau Mbak itu pengkor atau pun tidak. Mbak jangan sedih lagi ya?" Air mata Seruni membanjir tak kala Dini memeluk erat lehernya. Setelah seharian dikecewakan, dihina dan dihianati oleh orang-orang yang mengaku mencintainya. Dukungan tulus Dini menghangatkan hatinya yang telah patah arang. Dukungan kecil ini membuatnya lebih bersemangat menghadapi hidup.
"Terima kasih ya, Dini. Mbak tidak apa-apa kok, Dek. Mbak ini walau pengkor kan tetap strong. Mbaknya siapa dulu coba?" Seruni mencoba menghibur adik kecilnya.
"Mbaknya Dini dong. Hehehe." Tawa ceria adiknya memberi sedikit semangat di hati Seruni. Sembari memeluk tubuh mungil adiknya, ia memanjatkan sepenggal doa. Semoga saja di hari-hari ke depan, hatinya akan tetap ikhlas menerima cobaan, dan punggungnya tetap kokoh dalam menerima segala beban. Karena ia yakin, bahwa hidup bukan tentang mendapatkan semua yang ia inginkan. Akan tetapi tentang mensyukuri apa yang ia miliki, dan sabar menanti yang akan menghampiri. Aamiin.
Notes.
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap wanita, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki serta menempatkan posisi wanita di bawah laki-laki.
Bab 1 Chapter 1
25/11/2021
Bab 2 Chapter 2
25/11/2021
Bab 3 Chapter 3
25/11/2021
Bab 4 Chapter 4
25/11/2021
Bab 5 Chapter 5
25/11/2021
Bab 6 Chapter 6
26/11/2021
Bab 7 Chapter 7
29/11/2021
Bab 8 Chapter 8
29/11/2021
Bab 9 Chapter 9
29/11/2021
Bab 10 Chapter 10
29/11/2021
Bab 11 Chapter 11
29/11/2021
Bab 12 Chapter 12
29/11/2021
Bab 13 Chapter 13
29/11/2021
Bab 14 Chapter 14
29/11/2021
Bab 15 Chapter 15
29/11/2021
Bab 16 Chapter 16
29/11/2021
Bab 17 Chapter 17
29/11/2021
Bab 18 Chapter 18
29/11/2021
Bab 19 Chapter 19
29/11/2021
Bab 20 Chapter 20
29/11/2021
Bab 21 Chapter 21
29/11/2021
Bab 22 Chapter 22
29/11/2021
Bab 23 Chapter 23
29/11/2021
Bab 24 Chapter 24
29/11/2021
Bab 25 Chapter 25
29/11/2021
Bab 26 Chapter 26
29/11/2021
Bab 27 Chapter 27
29/11/2021
Bab 28 Chapter 28
29/11/2021
Bab 29 Chapter 29
29/11/2021
Bab 30 Chapter 30
29/11/2021
Bab 31 Chapter 31
29/11/2021
Bab 32 Chapter 32
29/11/2021
Bab 33 Chapter 33
29/11/2021
Bab 34 Chapter 34
29/11/2021
Bab 35 Chaoter 35
29/11/2021
Bab 36 Chapter 36
29/11/2021
Bab 37 Chapter 37
29/11/2021
Bab 38 Chapter 38
29/11/2021
Bab 39 Chapter 39
29/11/2021
Bab 40 Chapter 40
29/11/2021
Buku lain oleh Suzy Wiryanty
Selebihnya