/0/15671/coverorgin.jpg?v=74d2f39c3fb4e4db67973a2933f899b5&imageMogr2/format/webp)
Kebanyakan orang bilang kalau wajah kita mirip dengan pasangan berarti tandanya jodoh. Kurasa hal itu tidak berlaku bagi kami. Karena sekarang Dwiyan meminta untuk mengakhiri hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun. Aku masih bungkam, tidak ingin menyuarakan pendapat, hanya melihat bagaimana ia terus-menerus berkata kalau semuanya percuma. Aku mengambil gelas berisi soda dingin dan meminumnya perlahan. Mencoba menyejukkan hatiku yang terasa panas.
Ia menyesap kopi hitamnya, lalu memandangku. Saat ini tidak lagi kutemukan pandangan meneduhkan atau kata-kata manis yang menenangkan. Dan juga bagaimana lengan kokohnya biasanya membingkai tubuhku, memberikan kenyamanan. Kafe tempat kami bertemu terletak tidak jauh dari rumahku.
Ada perasaan was-was kalau ibu sampai tahu. Letaknya di pinggir jalan Kebo Iwa. Berbeda dengan tempat kami biasanya bertemu, di sini sedikit lebih bising dan ramai pengunjung. Aku cukup menyukai salad yang dijual. Kami duduk pada meja di tengah ruangan. Dengan adanya patung ukiran kayu seorang petani memanggul cangkul.
Walaupun menyediakan menu kekinian. Seperti masakan Eropa dan Meksiko. Interior di sini lebih mirip pedesaan. Aku menyukai lukisan sawah yang membentang dan langit biru cerah dipajang di dekat meja kasir –terletak paling pojok kanan. Lagu-lagu yang diputar seluruhnya musisi lokal. Kata pegawai di sini, sengaja dibedakan untuk mengimbangi kemajuan jaman. Agar selalu ingat atas unsur-unsur budaya lokal meski pun menyukai makanan Eropa.
"Jadi, bagaimana keputusanmu?" Dwiyan kembali bertanya dengan alis tebal yang bertautan. Aku tahu, ia sudah tidak sabar mendengar langsung jawabanku. Kemarin saat meneleponnya, ibu tiba-tiba masuk ke kamar. Dan akhirnya mengetahui kalau kami masih berpacaran.
"Aku nggak bisa memutuskan hubungan kita. Kamu juga pasti tau alasannya," jawabku tegas. Kalau pun ada masalah, lebih bagus jika menyelesaikannya secara baik-baik. Bukan malah tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak. Dwiyan bukan pemuda tak memiliki hati yang mampu melakukan semua itu.
Tangannya menaruh cangkir kopi dan bersandar pada kursi kayu. Setelah itu, mengeluarkan ponsel qwerty dan memberikannya kepadaku, menunjukkan sebuah pesan singkat.
Aku terdiam dengan degupan jantung yang tidak beraturan. Lama aku berpikir. Ibu sudah memperingatinya. Haruskah kami tetap bertahan? Tiba-tiba aku merasa keramaian kafe menjadi sunyi. Aku tidak tahu kalau ibuku menyimpan nomor ponsel Dwiyan.
"Kamu lihat, bukan? Bahkan Ibumu masih belum merestui kita, Citra. Apa lagi yang diharapkan?" tanya Dwiyan dengan raut wajah kusut. Setelah diamati dengan baik, aku dapat menemukan kalau wajahnya semakin tirus. Rambut ikal itu juga berantakan. Bahkan, ia tidak mencukur kumisnya.
"Aku berharap kamu masih menunggu. Kita pasti bisa melewati ini. Tunggu sampai lulus kuliah dan bekerja. Ibu pasti merestui kita," jawabku masih kekeh pada keputusan awal. Kalau aku tidak akan pernah melepaskan Dwiyan. Banyak hal yang sudah kami lalui. Termasuk bagaimana sulitnya menjalani hubungan ini.
"Bukankah selalu begitu? Kalau menungguku sampai bekerja, perlu waktu lama. Dua tahun nggak singkat, Citra. Kamu mau menghabiskan waktu untuk menunggu yang nggak pasti?" tanyanya dengan sepasang mata yang menatapku intens. Sekarang aku berharap dapat membaca tatapan matanya. Aku yakin Dwiyan tidak akan melepaskanku semudah itu.
Dua tahun lalu, aku mengenal Dwiyan Septian karena Pentas Seni yang diadakan sekolahnya. Karena bosan berdiam diri di rumah, apalagi malam minggu. Aku memutuskan untuk menerima ajakan teman menonton. Riuh terdengar dari suara pukulan drum, petikan gitar, gitar listrik, dan tiba-tiba terdengar suara seseorang menyadarkanku. Ia berdiri memegang microphone lalu menyanyikan sebuah lagu yang terasa asing. Sejak hari itu, aku mulai terpikat pada pesonanya. Di atas panggung megah yang disoroti lampu-lampu pada setiap sudut.
Meski pun tampil bersama personil lain. Aku hanya mengamatinya. Melihat bagaimana Dwiyan tersenyum ketika bernyanyi atau sesekali menunduk untuk mengajak penonton bernyanyi.
"Aku yakin dengan keputusanku. Lagipula semua itu memang terjadi nantinya. Bukan hal nggak pasti. Selama kamu juga berusaha," jawabku penuh harap. Hanya saja sekarang tergantung dari pemuda di hadapanku.
Dwiyan memainkan kedua ibu jari. Kulihat ia menarik napas panjang sebelum mendekat dan menunjukkan sebuah cincin perak kecil polos. Aku masih terdiam. Dwiyan bangkit berdiri, kemudian duduk di sebelahku. Tangannya mengambil telapak tangan kiriku dan memakaikan cincin perak itu di jari manis. Lalu, menunjukkan cincin yang serupa tersemat di jari tangannya. Karena memikirkan masalah kami, aku bahkan tidak menyadarinya.
"Aku pasti berusaha. Tadinya ingin membuang cincin ini seandainya kamu lebih memilih mengakhiri hubungan kita. Di luar dugaan, kamu justru ingin berjuang bersama. Terima kasih, Citra," ucapnya menyunggingkan senyum jahil yang kurindukan.
"Bodoh.." gumamku pelan. Aku tidak bisa menahan perasaan haru. Ia memberikan cincin yang begitu indah. Seakan sebuah pembuktian kalau Dwiyan bersungguh-sungguh dengan hubungan yang dijalani.
Bulir-bulir air mata membasahi parasku. Membuat beberapa helai rambut menjadi lepek dan menempel di pipi. Aku sudah tidak peduli kalau orang-orang melihat dan menganggap hubungan kami telah kandas. Yang pasti Dwiyan tidak berniat meninggalkanku dan berjanji untuk berjuang demi kemajuan hubungan kami.
Melihatku menangis sesenggukan, membuatnya merengkuhku. Menyingkirkan jarak di antara kami. Aku kembali merasakan pelukan sehangat selimut di rumah. Juga aroma parfum yang manis seperti campuran jeruk dan leci. Tepukannya pada punggung mengisyaratkanku berhenti menangis. Tapi, hal itu tidak kuhiraukan. Justru semakin tersedu. Aku sudah ketakutan setengah mati seandainya Dwiyan menyerah dan meninggalkanku.
"Sudahlah, aku masih di sini. Tetap bersamamu."
Mendengar itu membuatku sedikit lega. Aku melepaskan diri dan menatap kedua mata sehitam malam miliknya. Dengan bingkai kacamata kotak biru tua, membuatnya terlihat semakin tampan. Aku masih ingat pertama kalinya berkenalan dengan Dwiyan.
Padahal aku tidak berkata sedikit pun mengenai ketertarikanku. Namun, teman sekolahku berinisiatif untuk memperkenalkan sesudah mereka manggung –temanku kenal dengan Dwiyan sejak SMP. Di hari aku bertukar nomor ponsel, ia selalu rajin mengirim pesan singkat.
"Benar, ya? Jangan lepaskan pegangan tanganmu meski pun banyak alasan yang mendasari untuk meninggalkanku," ucapku lirih.
/0/20613/coverorgin.jpg?v=e7393df6bc89b13824dc4bc6f65c7f6f&imageMogr2/format/webp)
/0/20514/coverorgin.jpg?v=cbae0145facc47724d4ece626a5abb5f&imageMogr2/format/webp)
/0/21468/coverorgin.jpg?v=b4f10ed7f590a8668d58329165d920e6&imageMogr2/format/webp)
/0/2803/coverorgin.jpg?v=ffa386ca456f3c3b81860a2d40b3605a&imageMogr2/format/webp)
/0/8061/coverorgin.jpg?v=877e8b98c52cdece8349e5f66363b790&imageMogr2/format/webp)
/0/25199/coverorgin.jpg?v=577f3c30b5c194d3127a7068a5bf8a09&imageMogr2/format/webp)
/0/16288/coverorgin.jpg?v=01c0e42e82c0a937b6fdd67c780e4615&imageMogr2/format/webp)
/0/27523/coverorgin.jpg?v=785dc1ae4488623a639c3d9874eafaf0&imageMogr2/format/webp)
/0/26512/coverorgin.jpg?v=20251202100039&imageMogr2/format/webp)
/0/28799/coverorgin.jpg?v=e7af3833ba6d68284e5eaeb3f44242e3&imageMogr2/format/webp)
/0/3465/coverorgin.jpg?v=9767702e9981d977baf1854fdb1d1a2b&imageMogr2/format/webp)
/0/22398/coverorgin.jpg?v=5da51303f22197156232dcfe79930993&imageMogr2/format/webp)
/0/24881/coverorgin.jpg?v=8b6a2f35ca2e80ac9be63a5b129ea426&imageMogr2/format/webp)
/0/26688/coverorgin.jpg?v=c4b3c2c782fc14e4cf02f18cc7392d82&imageMogr2/format/webp)
/0/20041/coverorgin.jpg?v=d3ae2b6c1b626d2e5ef8a039fdd81681&imageMogr2/format/webp)
/0/21578/coverorgin.jpg?v=f3b8007d6c41ca25e461ca7a6ea886f7&imageMogr2/format/webp)
/0/9732/coverorgin.jpg?v=42d3710d72f3408aadf7ce89a2a16ee2&imageMogr2/format/webp)
/0/14709/coverorgin.jpg?v=c5b24b78d6e49bacadb23bceb2d4086e&imageMogr2/format/webp)