Xander Adrienne, pria dingin dan kejam, kehilangan keluarganya dalam tragedi yang mengubah hidupnya. Dendamnya tertuju pada satu keluarga-keluarga Malvione. Dia berjanji akan menghancurkan mereka, dan langkah pertamanya adalah menikahi putri tunggal mereka. Vienna Malvione tidak pernah menyangka akan menikah dengan pria yang paling membencinya. Malam itu, dia dibawa paksa ke altar, di hadapan seorang pria yang tidak memberinya pilihan. "Bukan kau yang kupilih. Tapi keluargamu harus membayar, dan kau adalah harga yang harus mereka serahkan," ucap Xander dingin. Vienna tahu ini bukan pernikahan biasa. Ini adalah penjara tanpa dinding, di mana Xander mengendalikan segalanya. Tapi bagaimana jika kebencian Xander mulai berubah menjadi obsesi? Bagaimana jika di balik tatapan dinginnya, ada hasrat yang lebih tersirat? Saat Vienna berusaha melarikan diri, Xander semakin mengikatnya dalam dunianya. "Jangan pernah berpikir bisa lari dariku, Vienna. Kau milikku." Vienna sadar, satu-satunya jalan keluar dari pernikahan ini... adalah menghancurkan pria yang telah mengikatnya.
Vienna Malvione menatap pantulannya di cermin dengan mata kosong. Gaun putih yang melekat di tubuhnya terasa seperti terkurung. Hatinya berteriak, ingin menolak semua ini, tapi dia tahu tidak ada jalan keluar.
Di luar kamar, para penjaga berjaga ketat, memastikan dia tidak akan kabur.
"Kau harus menikah dengannya, Vienna. Kalau tidak, keluargamu akan hancur."
Ucapan ayahnya tadi malam terus terngiang di kepalanya. Sederhana, dingin, dan tanpa ingin untuk penolakan. Sejak kecil, Vienna tahu bahwa dirinya hanya catur dalam permainan keluarga Malvione. Tapi dia tidak pernah menyangka taruhannya akan sebesar ini.
Pintu terbuka. Seorang wanita masuk dengan langkah cepat.
"Sudah siap, Nona?" suara dingin itu milik Miranda, kepala pelayan yang sejak tadi mengawasi setiap gerak-geriknya.
Vienna menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pangkuannya.
"Apa aku bisa menolak?" tanyanya pelan, hampir berbisik.
Miranda menatapnya dengan pandangan penuh belas kasihan, tapi dia tetap tegas.
"Tidak."
Vienna menghembuskan napas panjang. Punggungnya tegang saat Miranda membantu memasangkan veil di kepalanya.
"Jangan membuat Tuan Xander marah," tambah Miranda pelan. "Dia bukan pria yang bisa anda lawan."
Vienna menatap wanita itu melalui pantulan cermin. Ada ketakutan di sorot matanya. 'Siapa sebenarnya pria yang akan dinikahinya?' gumamnya dalam hati.
Vienna berdiri di altar, berhadapan dengan pria yang baru pertama kali dilihatnya dalam jarak sedekat ini.
Xander Adrienne.
Dengan postur menjulang tinggi, tubuhnya tegap dengan jas hitam yang membalut tubuhnya yang sempurna. Garis rahangnya tegas, raut wajahnya dingin, dan matanya... seperti jurang tanpa dasar.
Mata yang penuh kebencian.
Jantung Vienna berdegup kencang saat pria itu menatapnya seolah dia hanyalah alat balas dendam.
Pendeta mulai berbicara, tapi Vienna nyaris tak bisa mendengarnya. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya melayang.
"Saya terima."
Suara Xander memecah keheningan. Tanpa keraguan, tanpa terbata-bata.
Vienna merasa napasnya terhenti. Saat tiba gilirannya, lidahnya terasa kelu.
"Vienna," bisik seseorang di belakangnya. Ayahnya.
Ucapan seperti ancaman itu tersirat jelas meskipun tak terucap.
Vienna menutup mata, lalu menghela napas dalam-dalam. "Saya... terima."
Malam itu, Vienna berdiri di depan pintu kamar pengantin mereka dengan tangan gemetar. Xander sudah ada di dalam. Menunggunya.
Dengan napas tertahan, dia membuka pintu perlahan.
Xander berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap Vienna. Dia tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah kehadirannya tidak berarti.
Vienna melangkah masuk, menutup pintu dengan hati-hati.
"Jangan pernah berpikir kita adalah suami-istri sungguhan," suara Xander terdengar dingin, membuat Vienna menegang. "Kau hanya berada di sini karena aku menginginkannya."
Vienna mengepalkan tangan mendengarnya. "Mengapa harus aku?" tanyanya pelan.
Xander berbalik. Mata hitamnya bertemu dengan mata Vienna, penuh dengan sesuatu yang tak bisa dia baca.
"Kau harga yang harus dibayar oleh keluargamu."
"Dan jika aku menolak?"
Senyum sinis terukir di bibir Xander. Dia berjalan mendekat, membuat Vienna tanpa sadar melangkah mundur hingga punggungnya menabrak pintu.
"Kau tak akan bisa menolak."
Vienna menahan napas saat Xander mengangkat tangannya, dengan mengangkat dagunya dengan satu jari.
"Mulai sekarang, kau adalah milikku, Vienna. Tak peduli kau suka atau tidak."
Dan malam itu, Vienna tahu... tidak ada jalan keluar dari neraka yang baru saja dimasukinya.
Vienna berdiri kaku di tempatnya, sementara Xander meneguk anggur dalam diam. Matanya yang tajam sesekali meliriknya, membuat udara di ruangan itu terasa mencekam. "Kau akan tidur di sini," katanya akhirnya, suaranya datar tanpa kehangatan.
"Aku bisa tidur di kamar lain. Rumah ini besar, Xander."
Xander tersenyum sinis, meletakkan gelasnya di atas meja dengan sedikit hentakan. "Dan membiarkan orang-orang di luar sana berpikir kita hanya menikah di atas kertas? Aku tidak sebodoh itu."
"Memang tidak ada yang perlu kau buktikan," balas Vienna, berusaha terdengar tenang. "Tidak ada yang peduli dengan pernikahan ini, kan?"
Xander menyipitkan mata, langkahnya lambat saat mendekat. "Jangan membuatku mengulang ucapan ini, Vienna. Aku tidak peduli kau nyaman atau tidak, kau tetap istriku. Dan seorang istri seharusnya tidur di ranjang yang sama dengan suaminya."
Vienna mundur selangkah. "Jangan paksa aku, Xander."
Pria itu tertawa kecil. "Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu. Aku hanya memastikan kau tetap pada posisimu. Kau hanya perlu diam dan memainkan peranmu dengan baik."
Vienna tahu tidak ada gunanya melawan. Pria ini adalah seseorang yang terbiasa mengendalikan segalanya. Jika dia melawan, dia hanya akan semakin terjebak dan mungkin mati.
Vienna berjalan menuju sisi ranjang dan duduk di ujung, menjaga jarak sejauh mungkin.
"Bagus," gumam Xander sebelum berjalan menuju kamar mandi.
Vienna menghela napas panjang, menggigit bibirnya untuk menahan gejolak di dadanya. Malam ini akan menjadi malam yang panjang.
Malam semakin larut, tetapi Vienna masih terjaga. Suara air dari kamar mandi berhenti, lalu tak lama kemudian Xander keluar, hanya mengenakan celana tidur dan kaus putih tipis yang memperlihatkan tubuh tegapnya.
Vienna menoleh, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Jangan menatapku seperti itu," sindir Xander sambil berjalan ke arah ranjang.
"Aku tidak menatapmu," sahut Vienna cepat.
Xander berdecak sebelum naik ke ranjang, tubuhnya bersandar santai di divan. "Kalau kau tidak bisa tidur, diamlah. Aku tidak suka berisik."
Vienna memutar bola matanya malas. "Jangan khawatir, aku juga tidak ingin berbicara denganmu. Malas sekali."
Tanpa menghiraukannya lagi, Vienna menarik selimut dan membalikkan tubuh, membelakangi pria itu.
Namun, baru beberapa menit berlalu, tubuhnya menegang saat merasakan ranjang bergoyang sedikit. Xander bergerak, tetapi bukan itu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Pria itu menarik pinggangnya, mendekatkannya dengan mudah seolah Vienna tidak punya bobot sama sekali.
"Xander!" Vienna berontak, tetapi genggaman pria itu terlalu kuat.
"Jangan banyak bergerak," gumam Xander malas, suaranya terdengar berat karena kantuk. "Aku hanya memastikan kau tidak kabur malam ini."
"Aku tidak akan ke mana-mana, lepaskan aku."
"Diam dan tidur."
Vienna terdiam, tidak punya pilihan selain pasrah dalam dekapan pria itu. Napas Xander yang hangat terasa di tengkuknya, sementara detak jantung Vienna semakin tidak karuan.
Keesokan paginya, Vienna terbangun dengan tubuh masih terasa lelah. Dia hampir tidak bisa tidur semalaman karena pria di sebelahnya tidur terlalu dekat.
Ketika matanya terbuka sepenuhnya, dia menyadari sesuatu.
Xander sudah tidak ada.
Vienna bangkit, matanya menyapu kamar yang kini kosong. Selimut di sisi ranjangnya berantakan, tanda bahwa pria itu memang tidur di sana tadi malam.
Namun, tidak ada jejaknya sekarang. "Pergi tanpa mengatakan apa-apa?" gumam Vienna.
Dia bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Langkahnya membawanya ke lantai bawah, tempat meja makan sudah dipenuhi oleh hidangan yang terlihat mahal.
Seorang pelayan wanita membungkuk saat melihatnya. "Nyonya, Tuan Xander sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia meminta kami menyiapkan sarapan untuk Anda."
Vienna sedikit terkejut. "Dia meninggalkan pesan?"
Pelayan itu menggeleng. "Tidak ada, Nyonya."
Tentu saja tidak ada, pikir Vienna. Pria itu bahkan tidak akan peduli apakah dia makan atau tidak.
Bab 1 1
02/03/2025
Buku lain oleh Miss PK
Selebihnya